Kadek Yogi Prabhawa, SS, M.Si
(dimuat dalam Buletin Sudamala Volume 04/1/2018)
Abstrak
Komodifikasi merupakan fenomena menarik untuk diwacanakan pada era kekinian karena menghadirkan sesuatu yang unik sehingga menjadikannya berbeda dibanding era sebelumnya. Produksi dalam komodifikasi situs Pura Goa Gajah terjadi sesuai dengan teori komodifikasi mencakup produksi, distribusi, dan konsumsi. Sebagai salah satu objek wisata, Situs Pura Goa Gajah memiliki tanda-tanda yang dikemas ke dalam paket wisata kemudian ditawarkan dan dijual kepada wisatawan. Adapun tanda-tanda atau bentuk-bentuk produk yang dijadikan komoditas terdiri atas (1) Pura Goa Gajah, yang dilengkapi uraian tentang sejarah pura yang panjang yang berdasarkan tinggalan arkeologis berasal dari abad ke-11, struktur pura dengan tri mandalanya, fungsi pura sebagai tepat suci, dan status pura sebagai cagar budaya; dan (2) warisan budaya berbentuk seni arca, prasasti, estetika arsitektur, dan lain-lainnya.
Latar Belakang
Menurut Khaldun (dalam Mulyanto, 2012: 12) produksi adalah proses mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan manusia dengan memanfaatkan daya yang ada. Tanpa curahan kerja, segala daya yang ada di alam tidak akan bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Tanpa upaya, daya sekedar potensi. Begitu pula tanpa daya, upaya menjadi sia-sia. Sesuai dengan batasan yang diberikan oleh khaldun bahwa inti produksi adalah mengubah sesuatu merujuk kepada perubahan bentuk. Bila dikaitkan dengan produk-produk komoditas di Situs Pura Goa Gajah adalah berupa warisan budaya, maka pengertian merubah yang dimaksudkan dalam produksi tidak mengubah bentuk, tapi mengubah penampilannya. Artinya, bentuk benda-benda warisan budaya yang dijadikan komoditas daya tarik wisata tetap utuh, akan tetapi dikemas agar tampilannya menarik sehingga dapat memberikan kepuasan kepada yang melihatnya.
Warisan budaya (heritage) dewasa ini telah mendapat perhatian yang luas. Tumbuhnya kesadaran tentang perlunya penyelamatan benda budaya yang merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi pariwisata yang memanfaatkan benda budaya tersebut, melahirkan berbagai upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat. Jika benda-benda tersebut dikelola secara baik dan profesional, sebagai bagian dari suatu kebudayaan, pusaka budaya bisa menjadi alat pemberdayaan bagi pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah selaku pemegang kebijakan politik, pengusaha dalam bidang ekonomi, dan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan (setiawan, 2011: 2).
Pusaka budaya yang merupakan sebagian dari kebudayaan masa lalu, juga merupakan hasil tanggapan manusia pendukungnya terhadap lingkungan alam dalam usahanya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Bagi bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa lalu yang gemilang, tentu pusaka budaya yang telah melahirkan kepribadian bangsa akan menempati kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan yang berakar pada sejarahnya sendiri.
Bali mempunyai potensi yang besar di bidang pusaka budaya. Keindahan alam dan budaya telah menjadi image kepariwisataan daerah ini. Pemerintah Daerah Bali telah mencanangkan bahwa pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai potensi dasar, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik yang serasi, selaras, dan seimbang antara pariwisata dan kebudayaan.
Terkait dengan pengembangan pariwisata budaya, Bali atau Gianyar khususnya, sesungguhnya sangat beruntung karena sejak lama telah mendapat citra yang positif. Citra itu ternyata memiliki sejarah, yaitu sebagai kreasi orang-orang Barat yang pada akhirnya diambil alih oleh orang Bali sendiri. Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali menyebutkan Bali sebagai surga dunia yang terakhir (1972 : 14). Gianyar adalah salah satu di antara delapan kabupaten di Provinsi Bali. Masyarakat Gianyar mempunyai sejarah masa lalu yang amat panjang, seperti terbukti dari tinggalan purbakala/arkeologi dalam jumlah dan ragam yang sangat banyak, bahkan terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali. Oleh karena itu, Gianyar, khususnya Desa Bedulu dan sekitarnya sering disebut sebagai desa “museum hidup”. Tinggalan arkeologi cukup padat di Kabupaten Gianyar merupakan pusaka budaya yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Gianyar salah satunya ialah Situs Pura Goa Gajah. Situs Pura Goa Gajah memiliki ciri khas dan keunikan bila dibandingkan dengan tinggalan budaya lainnya, sehingga sangat menarik minat wisatawan, lebih-lebih didukung dengan tetap difungsikannya sebagai tempat suci, tempat persembahyangan umat Hindu (living monument). Tidak mengherankan, situs Pura Goa Gajah merupakan sebuah daya tarik wisata yang cukup banyak menyerap pengunjung dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, selain Tirta Empul dan Gunung Kawi.
Sebagai salah satu objek wisata, Situs Pura Goa Gajah memiliki tanda-tanda yang dikemas kedalam paket wisata kemudian ditawarkan dan dijual kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Adapun tanda-tanda yang sangat menarik adalah sejarah Pura Goa gajah, arsitektur bangunan pura, artefak sebagai tinggalan arkeologis, dan fasilitas pendukung lainnya yang dapat menunjang wisata budaya di pura Goa Gajah Desa Bedulu.
Hasil dan Pembahasan
Situs Pura Goa Gajah Sebagai Tempat Peribadatan Umat Hindu
Goa Gajah adalah goa buatan yang berfungsi seperti tempat ibadah. Gua ini terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali. Dalam kitab lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M terdapat literatur Lwa Gajah (Lwa atau Lwah/Loh) yang berarti sungai gajah. Sungai yang terletak di depan candi yang sekarang dikenal dengan Sungai Petanu.
Penemuan Goa Gajah berawal dari laporan pejabat Hindia Belanda, LC. Heyting pada tahun 1923 yang menemukan arca Ganesha, Trilingga serta arca Hariti kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut di tindak lanjuti oleh Dr. WF. Stuterhiem untuk mengadakan penelitian lanjut pada tahun 1925. Pada tahun 1950 Dinas Purbakala RI melalui seksi-seksi bangunan purbakala di Bali yang dipimpin oleh J.L Krijgman melakukan penelitian dan penggalian pada tahun 1954 sampai tahun 1979 dan ditemukanlah tempat petirtaan kuno dengan 6 buah patung wanita dengan pancuran air di dada dan sampai sekarang keberadaanya bisa dipercaya bisa memberikan vibrasi penyucian aura bagi pengunjung. Pada tahun 1931 Mr. Conrat Spies menemukan pula peningalan yang cukup penting di komplek “tukad pangkung” berupa stupa bercabang tiga yang terpahat pada dinding batu yang telah runtuh tergeletak didasar tukad pangkung.
Dari data yang ada di lapangan dapat dikemukakan situs Goa Gajah merupakan tempat suci sebagai pusat kegiatan agama Hindu dan Buddha pada masa pemerintahan Dinasti Warnadewa dari abad X-XIV masehi. Dewasa ini Situs Pura Goa Gajah sebagai tempat suci agama Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain itu Kompleks Goa Gajah terdiri atas 2 bagian utama, yaitu kompleks bagian utara merupakan warisan ajaran Siwa, dengan bukti adanya Trilingga dan patung Ganesha di dalam goa, merupakan tempat umat Hindu melakukan persembahyangan. Komplek sebebelah selatan Goa Gajah yakni area Tukad Pangkung, berupa stupa Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitabha bersusun 13 stupa dan stupa bercabang 3 yang dipahat dibatu besar. Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat. Ketergantungan masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib telah ada sejak zaman purba bahkan sampai kezaman modern saat ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Mengadakan upacara-upacara pada hari-hari tertentu, pada suatu tempat juga berlangsung sejak lama hingga zaman modern ini. Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sakral juga ciri khas kehidupan beragama. Demikian juga adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama. Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan beragama merupakan gejala universal yang ditemukan dalam kehidupan individu dan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997: 228-229).
Berdasarkan karakteristiknya, Situs Pura Goa Gajah termasuk pura teritorial dan disebut juga Pura Kahyangan Desa. Pada zaman dulu Pura Kahyangan Desa ini disungsung oleh umat (krama) desa adat atau pekraman Desa Bedulu yang ada pada wilayah yang bersangkutan. Namum saat ini masyarakat Hindu dari luar pekraman Desa Bedulu juga melakukan pemujaan keagamaan di sini. Pemujaan keagamaan yang dilaksanakan yaitu pada haru raya Hindu selain itu juga dilaksanakan pada hari purnama, tilem, kajeng kliwon dan pada hari piodalan-nya yaitu pada hari purnama kapat.
Situs Pura Goa Gajah sebagai memiliki struktur bangunan layaknya tempat suci lainnya di Bali, yang memiliki struktur pembagian halaman pura dengan konsep Tri Mandala yaitu nista mandala atau jaba sisi, madia mandala atau jaba tengah, dan utama mandala atau jeroan. Nista mandala merupakan areal di sebelah selatan Pura Goa Gajah untuk melakukan kegiatan yang mendukung pada saat upacara keagamaan berlangsung, misalnya sebagai tempat hiburan, tempat berdagang, MCK, dan lain sebagainya. Madia mandala adalah halaman tengah pura sebagai tempat melakukan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan upacara seperti mejejahitan. Pada halaman jaba tengah terdapat bangunan suci/palinggih yang merupakan peninggalan dari masa Hindu Siwa Pasupata dan Hindu Siwa Siddhanta. Pelinggih yang terdapat di Pura Goa Gajah yaitu Limas Catu, Limas Mujung, Pura Gedong, Pelinggih Dewi Laksmi/Betara Rambut Sedana, Pelinggih Pengaruman, Bale Gde, Bale Panjang, Bale Peselang, Wantilan, Balai Pelindung arca kuno, dan kolam petirtaan. Utama mandala adalah areal yang paling suci, setiap orang yang memasuki mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian seperti tata cara berpakaian yang semestinya, tidak dalam keadaan kotor/cuntaka. Areal di dalam Goa Gajah merupakan utama mandala di Situs Pura Goa Gajah.
Situs Pura Goa Gajah Sebagai Tinggalan Arkeologi
Peninggalan purbakala Goa Gajah baru dikenal masyarakat luar pada tahun 1923 melalui laporan L.C. Heyting, seseorang pejabat pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja. Berdasarkan pada studi ikonografi dan analisis dua tulisan Kediri Qwadrat pada dinding sebelah timur pintu masuk goa yang berbunyi “Kumon” dan “Sahy(w)angsa” diperkirakan Situs Goa Gajah telah berdiri pada abad ke-11 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Namun terdapat juga peninggalan yang bersifat Budhisme di Situs Pura Goa Gajah berupa Arca Dyani Budha Amitaba yang memiliki persamaan dengan Arca Dyani Budha pada Candi Borobudur dari pertengahan abad ke-9 Masehi, sehingga disimpulkan kemungkinan Situs Pura Goa Gajah telah berdiri jauh sebelum masa pemerintahan Anak Wungsu yang diperkirakan fungsi awalnya sebagai tempat ibadah agama Budha dan Hindu
Tinggalan budaya yang terdapat di Situs Pura Goa Gajah dikelompokkan menjadi empat komplek, yaitu:
- Komplek goa dan tinggalan arkeologi di dalam goa. Goa dipahatkan pada dinding batu padas keras yang menjorok keluar dari dinding kira-kira 5,75 meter. Tampak depan di bagian atas mulut goa dipenuhi dengan pahatan berupa sulur daun-daunan, batu karang, kera, babi, dan raksasa. Mulut goa diperkirakan memiliki tinggi 2 meter dengan lebar 1 meter. Pada dinding timur lorong goa terdapat tulisan baris atas berbunyi kumon dan baris bawah berbunyi sahy(w)angsa, dilihat dari bentuknya tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-11. Didalam goa terdapat ceruk yang berjumlah 15 buah ceruk. Beberapa ceruk di dalam goa terdapat arca yaitu arca Ganesha di ceruk ujung barat, arca Trilingga terletak di ceruk ujung barat lorong yang membentang ke timur dan barat, dan fragmen arca terletak disalah satu ceruk di dinding utara.
- Komplek kolam petirtaan terletak 11 meter di sebelat selatan goa, petirtaan berada 3 meter di bawah permukaan tanah pelataran pura. Air pada petirtaan ini berasal dari sumber air yang berada 100 meter disebelah timur goa. Kolam petirtaan ini ditemukan dan digali oleh Kriygsman pada tahun 1954, ketika menjabat sebagai kepala kantor Purbakala di Bali. Tinggalan arkeologi pada komplek petirtaan ini terdiri dari 3 buah kolam yang masing-masing dipisahkan oleh tembok yang rendah dan terdapat arca pancuran yang berjumlah 6 buah.
- Tinggalan arkeologi didepan goa. Di depan Goa Gajah terdapat beberapa artefak yang dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu peninggalan yang ada di kiri kanan mulut goa dan ditempatkan pada sebuah palinggih di sebelah barat goa. Tinggalan arkeologi yang terdapat di kiri kanan mulut goa yaitu arca Ganesha pancuran, arca penjaga/Dwarapala, dan batu silinder sedangkan tinggalan arkeologi pada bangunan palinggih di sebelah barat goa yaitu arca raksasa (arca jongkok), arca Ganesha, dan arca Dewi Hariti.
- Tinggalan arkeologi dikomplek tukad pangkung. Komplek lembah tukad pangkung berlokasi di sebelah selatan kolam Petirtaan ke arah bawah menuju sungai petanu. Tinggalan arkeologi dilokasi ini menunjukkan tinggalan untuk pemujaan oleh penganut agama Budha pada masa lalu, berupa fragmen bangunan yang sebelumnya merupakan bagian dari pahatan di dinding/tebing, dan dulunya diperkirakan sebagai candi tebing. Disebelah barat fragmen bangunan tukad pangkung terdapat sebuah ceruk pertapaan, bangunan ini ditemukan oleh Mr. Conerat Spies pada tahun 1931. Adapun tinggalan arkeologi berupa fragmen di lokasi ini yaitu relief paying susun tigabelas, relief stupa bercabang tiga, dan fragmen arca Budha.
Situs Pura Goa Gajah Sebagai Daya Tarik Wisata
Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata budaya. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain dibelahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumber daya budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009: 75).
Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatkan suberdaya budaya sebagai modal utama dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga bangunan bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai kekayaan atau keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus tentanag suatu objek budaya (Setiawan, 2011: 132-133).
Warisan budaya yang berstatus cagar budaya (CB) menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, menurut pasal 73 tentang zonasi pada ayat 1 disebutkan sistem zonasi mengatur ruang pada cagar budaya, baik vertikal maupun horizontal. Pada ayat 3 disebutkan sistem zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat terdiri atas: zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona penunjang. Pada pasal 85 ayat 1 disebutkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata (Undang-undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010). Sehubungan dengan itu, pemerintah republik Indonesia memberikan kebebasan kepada pemiliknya untuk memanfaatkan cagar budaya sebagai objek dan daya tarik wisata. Dengan kata lain, warga masyarakat pemilik cagar budaya dapat memanfaatkan benda warisan budaya tersebut sebagai sumber daya meningkatkan kesejahteraan hidup.
Seiring dengan arah pembangunan pariwisata Bali yang berwawasan budaya dan warisan budaya merupakan salah satu produk komoditas yang dapat dijadikan objek atau daya tarik wisata, selain keindahan alam, pantai, pegunungan, danau, adat istiadat, upacara keagamaan, dan sebagainya. Bali memiliki berbagai keunikan, sehingga segala sesuatu yang menarik bagi wisatawan walaupun awalnya bukan produk komoditas dapat diubah menjadi komoditas daya tarik wisata (Raka, 2015: 231).
Situs Pura Goa Gajah dewasa ini selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Seperti diketahui bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik. Para wisatawan yang mngunjungi Situs Pura Goa Gajah sudah tentu berharap mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan dan ciri khas dari keunggulan mutu cagar budaya yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat memperoleh kesan mendalam mengenai lingkungan pura yang bersih, nyaman, dan khas, serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang ditemukan di dalam pura.
Wisata budaya secara umum bertujuan mendekatkan bangsa-bangsa, baik pada dimensi kultural maupun kemanusiaanya. Sudah tentu dari segi penyelenggara pariwisata sendiri yang penting adalah keuntungan yang dapat diperoleh. Namun untuk menjamin kepercayaan konsumen atau wisatawan, maka kualitas layanan merupakan prasyarat yang tidak dapat dianggap remeh. Sebagai salah satu daya tarik unggulan di Kabupaten Gianyar, Situs Pura Goa Gajah sebagai salah satu sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap wisatawan yang berkunjung diharapkan tetap mentaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Bedulu yang menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Puseh Desa Batuan adalah sebuah tempat suci umat Hindu.
Dewasa ini situs Pura Goa Gajah telah menjadi salah satu daya tarik wisata budaya unggulan di Kabupaten Gianyar. Mengingat sifatnya sebagai cagar budaya, maka objek tersebut pertama harus dihargai sebagai sumber ilmu pengetahuan, sumber belajar, sumber informasi, sumber budaya, dan bukan sebagai tempat hiburan. Kalaulah harus memiliki kualifikasi sebagai tempat rekreasi, maka haruslah rekreasi yang bermanfaat dan terjaga tingkat akurasi informasinya. Perlu diketahui bahwa wisatawan tidak hanya semata-mata terdiri dari orang-orang yang hanya sekedar rekreasi mencari hiburan. Tidak sedikit dari wisatawan itu tergolong sebagai special interest tourist yang berpergian keluar dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan pengetahuan baru yang mendalam tentang suatu kebudayaan.
Menurut penjelasan Bourdieu (dalam Barker, 2005), kekayaan budaya seperti itu oleh masyarakat pemiliknya dapat dijadikan modal budaya (cultural capital). Masyarakat Desa Adat Bedulu telah mencoba mentransformasikan modal budaya (Pura Goa Gajah) menjadi modal ekonomi (economic capital) dalam pengembangan pariwisata budaya. Kawasan pariwisata berbasis cagar budaya di Desa Bedulu sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa komponen industri pariwisata untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu produksi dalam komodifikasi Situs Pura Goa Gajah berkaitan dengan situs Goa Gajah sebagai tempat peribadatan umat Hindu, dari data yang ada di lapangan dapat dikemukakan situs Goa Gajah merupakan tempat suci sebagai pusat kegiatan agama Hindu dan Buddha pada masa pemerintahan Dinasti Warnadewa dari abad X-XIV masehi. Sebagai tempat peribadatan umat Hindu pada masa kini situs Pura Goa Gajah juga menyimpan tinggalan arkeologi yangbersifat budhisme pada abad ke-9 dan bersifat Hinduisme dibangun pada abad ke-11. Melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2010, Pura Goa Gajah dikomodifikasi sebagai produk wisata budaya dan dikembangkan sebagai objek daya tarik wisata budaya sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa komponen industri pariwisata untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat.
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik (terjemahan : Tim Kunci Cultural Studies Centre). Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Pustaka).
Koentjaraningrat. 1997. Metode Wawancara”. Dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Mulyanto, Dede. 2012. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book.
Pitana, I Gde dan Diarta Suarya, I Ketut. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi
Raka, Anak Agung GD. 2015. “Komodifikasi Warisan Budaya Sebagai Daya Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng Gianyar”. Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Setiawan, I Ketut. 2011. “Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global. Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali.
Suantra I Made, dkk. 2006. Pura Pegulingan, Tirtha Empul, dan Goa Gajah Peninggalan Purbakala di Daerah Aliran Sungai Pakerisan dan Petanu. Gianyar. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT.