Identifikasi Nilai Penting Cagar Budaya di Pura Jaksan Sebagai Dasar Pelestarian Berkelanjutan

0
5957

Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari

Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

(dimuat dalam Buletin Sudamala Volume 04/1/2018)


Abstrak

Dalam proses penetapan warisan budaya menjadi Cagar Budaya, identifikasi nilai penting adalah suatu hal yang utama. Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha ingin mengungkap nilai penting Cagar Budaya yang tersimpan di Pura Jaksan, Bedulu, Gianyar. Nilai penting yang menjadi satuan pengamatan adalah nilai penting sejarah, Ilmu pengetahun, dan kebudayaan. Berdasarkan hasil studi ini bahwa sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan mengandung sejumlah nilai penting di dalamnya, diantaranya nilai penting arkeologi, antropologi, filsafat, estetika, dan publik. Nilai penting itulah hendaknya dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dari berbagai pihak. Kerjasama antar stakeholder sangat diperlukan, sehingga dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan dapat lestari secara berkelanjutan.

Pendahuluan

Menurut pengertian Cagar Budaya yang tertuang dalam Undang-undang Cagar Budaya Nomor 11 tahun 2010 bahwasanya suatu benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan sebelum ditetapkan menjadi Cagar Budaya harus memiliki nilai penting didalamnya. Nilai penting itu antara lain adalah nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Lebih lanjut Lipe (dalam Ardika 2015: 30-31) menyatakan warisan budaya atau tinggalan masa lalu memiliki nilai dan makna informatif, simbolik/assosiatif, estetis, dan ekomonis. Dikatakan memiliki nilai dan makna informatif karena warisan budaya memiliki sejumlah informasi yang terkait dengan sejarah, kapan dibangun, bagaimanana teknologi yang digunakan, dan lainnya. Sementara itu nilai assosiatif berkaitan dengan hubungan seseorang atau sekelompok orang dengan warisan budaya masa lalu. Nilai estetika berkaitan dengan seni yang terhimpun dalam warisan budaya, sedangkan nilai ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan warisan budaya tersebut.

Lebih lanjut warisan budaya pada umumnya dapat dilihat dari tiga cara pandang penilaian, yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai pilihan (optional value), dan nilai kegunaan (use value) (Darvill dalam Tanudirjo 2011, 241-242). Nilai keberadaan (existence value) berkaitan erat dengan perasaan puas atau senang jika benda cagar budaya itu dipastikan masih tetap ada, walau pun kegunaanya tidak dirasakan sama sekali. Pendukung nilai ini merasa puas kalau bisa mendapatkan kepastian bahwa sumber daya itu akan bertahan (survive) atau tetap eksis (in existence).

Nilai pilihan (optional value) lebih menekankan pada tekad untuk menyelamatkan benda cagar budaya sebagai simpanan untuk generasi mendatang. Asumsinya, kita harus menyisakan benda cagar budaya sebagai sumber daya budaya untuk masa mendatang, meskipun saat ini kita belum tahun akan kebutuhan di masa mendatang. Nilai ketiga, nilai kegunaan (use value) lebih menekankan pada bagaimana kita sekarang dapat memanfaatkan benda cagar budaya tersebut. Misalnya untuk obyek penelitian arkeologi atau bidang ilmu lainnya, sebagai sumber ilham karya seni, pendidikan sarana rekreasi dan wisata, membentuk citra (dalam iklan), memperkuat jati diri dan solidaritas, dan lain sebagainya.

Nilai-nilai penting yang telah dipaparkan di atas senantiasa melekat dalam setiap cagar budaya. Nilai penting itulah dapat dijadikan sebagai dasar bahwa cagar budaya perlu dilestarikan dan dipertahankan keberadaanya. Tulisan ini akan berusaha mengungkap nilai-nilai penting yang terkandung di dalam sumberdaya arkeologi yang berada di Pura Jaksan, Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar. Dengan menawarkan berbagai nilai-nilai itulah nantinya sumberdaya arkeologi yang berada di sana perlu mendapat perhatian/pelestarian demi kebertahanannya untuk masa yang akan datang.  Cagar Budaya yang berada di pura tersebut diletakkan dalam satu bangunan beratap. Hingga sekarang keberadaanya masih menjadi media pemujaan masyarakat setempat atau dengan kata lain fungsinya masih berlanjut sampai saat ini (living monument).

Nampaknya penelitian terhadap cagar budaya di Pura Jaksan belum banyak dilakukan oleh kalangan ahli arkeologi maupun ahli lainnya. Padahal sumberdaya arkeologi yang ditemukan cukup beragam. Salah satunya adalah arca Ganesa dengan sikap berdiri, temuan Ganesa berdiri ini sangat jarang ditemukan di Bali. Justru yang banyak ditemukan ialah Ganesa dengan sikap duduk bersila. Masih banyak temuan lainnya yang nantinya di paparkan secara singkat pada bagian bab selanjutnya.

Hasil dan Pembahasan

Sumberdaya Arkeologi di Pura Jaksan

Pura Jaksan terletak di Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar yang berdiri di tengah-tengah permukiman warga. oleh sebab itu, tidak heran apabila kebersihan dan keterawatan tinggalan arkeologi yang tersimpan disana cukup baik. Sumberdaya arkeologi tersebut secara ringkas diuraikan sebagaimana berikut ini.

1. Arca Durga Mahisasuramardini, arca ini mempunyai tinggi sekitar 100 cm dengan lebar 55 cm. Identifikasi sebagai Durga Mahisasuramardini dapat dilihat melalui tangan yang berjumlah 8 dan kedua kaki menginjak seekor kerbau. Arca digambarkan dengan sandaran di belakang (stella) dengan beralaskan padma yang sedang mekar. Wajahnya sudah tidak jelas, karena kondisinya sudah aus. Ciri ikonografi lainnya yang masih terlihat adalah kepala memakai mahkota (kiritamakuta), kedua telingga mengenakan anting-anting (kundala), beberapa tangan masih terlihat mengunakan gelang (kankana), hiasan pinggang (kancidama) terlihat agak samar-samar, dan kain yang dipakai hanya sebatas lutut.

Gambar 1. Sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan

2. Arca Siwa Mahaguru, arca tersebut memiliki tinggi sekitar 110 cm dengan lebar 50 cm. Arca dengan sikap berdiri ini digambarkan dengan sandaran di bagian belakang (stella), berperut gendut, kedua mata terpejam, dan mempunyai jenggot. Mengenakan mahkota (kiritamakuta), leher dihiasi dengan kalung (hara), tangan kanan terlihat mengenakan gelang (kankana) dan kelat bahu pada lengannya (keyura), dan kain yang dipakai sebatas lutut menyisakan kain pada bagian tengah dengan dibentuk sedimikian rupa hingga menyentuh telapak kaki. Tangan kanan membawa tasbih (aksamala), sedangkan tangan kiri sudah rusak. Sebelah kanan kepala terlihat senjata trisula, yaitu laksana dari Dewa Siwa.

3. Arca Ganesa, arca bercirikan sebagai perwujudan ganesa berjumlah tiga buah, dua arca dengan sikap berdiri sedangkan satu arca bersikap duduk dengan kedua telapak kaki bertemu (kurmasana). Secara umum ketiga arca tersebut diarcakan berperut gendut, memiliki belalai walapun sebagain sudah hilang, bertangan empat (catur hasta), dan memiliki sandaran (stella).

4. Siwa Mahakala, arca mempunyai tinggi sekitar 70 cm, dengan lebar 50 cm. Arca digambarkan berdiri dan menyatu dengan stella. Raut wajahnya sudah agak samar, rambutnya terlihat keriting, telingga memakai anting-anting (kundala), leher berhias kalung (hara), tangan kanan membawa gada dan memakai kelat bahu (keyura), tangan kiri membawa sejenis tameng yang berbentuk cembung pada bagian luar, berikat pinggang (kancidama), dan kain yang dikenakan cukup pendek hanya sebatas paha.

5. Dua miniatur candi, dikatakan demikian karena memang bentuk artefaknya mirip dengan bangunan candi, yaitu memiliki tangga pada bagian tengah dan berbentuk persegi. Kedua artefak tersebut bagian atasnya sudah hilang, sehingga tidak dapat diidentifikasi bentuk dari tubuh dan atapnya. Namun salah satu miniatur candi pada bagian pintu semu-nya masih terlihat.

6. Yoni, tingginya sekitar 60 cm. Kondisi yoni tersebut relatif masih utuh, terbukti bagian-bagian dari brahma-bhaga (berbentuk segiempat), wisnu-bhaga (berbentuk segi delapan), dan siwa-bhaga (berbentuk bulat lonjong) masih terlihat dengan jelas. Pada bagian siwa-bhaga terlihat garis horizontal, yang umumnya disebut dengan cerat.

7. Artefak lainnya, adalah fragmen bangunan, kemuncak bangunan, dan fragmen arca. Fragmen bangunan tersebut sukar ditelusuri berasal dari bagian bangunan sebelah mana. Kemuncak bangunan salah satunya berbentuk perpaduan persegi panjang pada bagian bawah dengan bulat lonjong di bagian atasnya. Sementara itu fragmen arca hanya tersisa setengah badan, sedangka leher hingga kepala sudah tidak ada.

Identifikasi Nilai Penting Sumberdaya Arkeologi

Dalam melakukan penilaian terhadap sumberdaya arkeologi bukan perkara yang mudah karena nilai yang terkandung di dalam sumberdaya arkeologi merupakan sesuatu yang tidak riil dan sangat subjektif sifatnya. Terdapat dua macam cara yang dapat ditempuh untuk menilai suatu sumberdaya arkeologi, yaitu penilaian dengan skala angka dan penilaian dengan pernyataan. Penilaian dengan skala angka dilakukan dengan cara memberikan bobot berdasarkan kriteria tertentu pada tinggalan budaya. penilaian dengan pernyataan dilakukan dengan cara memberi argumentasi yang bersifat subjektif tetapi dinamis, dapat berubah seiring dengan waktu dan ruang serta tergantung pada konteks pemaknaan yang diberikan kepada sumberdaya arkeologi tersebut (Helianto, 2007: 57).

Oleh karena sumberdaya arkeologi yang berada di Pura Jaksan telah ditetapkan sebagai cagar budaya, maka identifikasi nilai penting yang menjadi satuan analisis dalam tulisan ini mengacu pada Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Pada Bab I, pasal I, ayat I menguraikan definisi Cagar Budaya, definisi tersebut dikutip sebagaimana berikut ini.

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetepan (Bab I, Pasal I, Ayat I).

Pada Undang-Undang di atas disebutkan bahwa Cagar Budaya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih di dalam analisis nilai penting, maka dalam tulisan ini mengunakan unsur utama nilai penting yakni sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut.

Nilai Penting Sejarah

Sumberdaya arkeologi yang terdapat di Pura Jaksan jelas memiliki nillai sejarah yang tinggi. Keberadaan tinggalan-tinggalan tersebut sangat erat kaitannya dengan suatu masa tertentu. Memang agak sukar apabila diletakkan dalam kerangka waktu atau periodesasi kapan tinggalan arkeologi tersebut dibuat. Stutterheim pernah menyampaikan bahwa seni arca yang berada di Bali dapat dikategorikan dalam tiga pembabakan waktu yakni Hindu-Bali (8-10 M), Bali kuno (11-13), dan Bali Madya (14-15 M). Ketiga pembabakan seni arca tersebut memiliki langgam dan karakter masing-masing, ciri penting seni arca Hindu Bali yakni memiliki wujud yang kaku dan sederhana, pengaruh tradisi prasejarah masih kental. Seni arca Bali Kuno secara umum wujudnya dipengaruhi oleh gaya arca pada Masa Singahasari, yakni digambarkan secara naturalis. Sementara itu seni arca Bali Madya banyak dipengaruhi oleh gaya arca pada Masa Majapahit, yakni terdapat sinar yang keluar dari arca dan digambarkan kurang naturalis.

Apabila melihat tinggalan arkeologi berupa Ganesa dengan sikap berdiri nampaknya dapat dibandingkan dengan Ganesa di Karangkates, Jawa Timur (Masa Singhasari). Kedua sikap Ganesa tersebut sama-sama berdiri, apa mungkin Ganesa di Pura Jaksan juga dibuat pada Masa Singhasari (12 M). Dugaan tersebut didukung pula dengan sumberdaya arkeologi yang terdapat di Pura Kebo Edan, yang ditafsirkan berasal dari abad ke 12 M. Bersandar atas pernyataan itu dapatpula sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan berasal dari masa yang sama (abad 12 M), jika berpatokan dengan pendapat Stutterheim maka dapat dimasukkan dalam kategori seni arca Bali Kuno.

Nilai Penting Ilmu Pengetahuan

Nilai ini menekankan pada potensi sumberdaya arkeologi untuk dikaji lebih lanjut dari berbagai disiplin bidang ilmu dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu.

  • Arkeologi

Telah dipaparkan pada bagian awal bahwasanya sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sudah barang tentu Cagar Budaya tersebut telah berumur 50 tahun. Dan telah dijelaskan pula Cagar Budaya di Pura Jaksan kemungkinan berasal dari sekitar abad 11 – 13 M. Dengan begitu benda-benda tinggalan masa lalu tersebut sangat berpeluang untuk diteliti dari displin ilmu arkeologi. Nilai-nilai informasi masa lalu yang terakumulasi didalamnya perlu diungkap, sehingga dapat membantu menjawab masalah-masalah yang masih buram mengenai kehidupan masa lalu.

Sumberdaya arkeologi seperti yoni, durga mahisasuramardini, ganesa, siwa mahakala, dan siwa mahaguru, nampaknya memperlihatkan aspek kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pendukung saat itu. Temuan tersebut sangat erat hubungan dengan pemujaan terhadap Siwa, yaitu salah satu wujud dari Tuhan dalam agama Hindu. Yoni merupakan simbol dari Parwati (sakti Siwa), yang biasanya selalu berpasangan dengan lingga (simbol siwa). Kedua bentuk tersebut banyak kita jumpai pada kepurbakalaan di Indonesia, dalam artian simbol ini banyak digunakan oleh masyarakat masa lalu untuk memuliakan Dewa Siwa. Durga mahisasuramardini merupakan wujud seorang dewi yang digambarkan sedang bertarung dengan seekor kerbau (mahisa), dan berakhir dengan kemenangan Durga. Dikisahkan ketika para dewa diganggu terus menerus oleh para asura yang dipimpin Mahisasura, dan pada akhirnya berpuncak dengan kemarahan Siwa dan Wisnu. Atas kemarahan itulah muncul sesosok dewi yang diharapkan dapat menaklukkan Mahisasura (kerbau raksasa) (Redig, 2016: 324). Dewi Durga juga dianggap sebagai perwujudan dari Parwati dalam bentuk ugra (menyeramkan).

Sementara itu, ganesa dalam beberapa karya sastra India ia dianggap sebagai anak dari Siwa dan Parwati. Sedangkan Siwa Mahakala adalah bentuk Siwa dalam aspek ugra, sesuai dengan fungsinya sebagai dewa pembinasa (Ratnaesih, 1984: 69). Siwa mahaguru atau sering disebut dengan agastya, adalah murid siwa yang taat. Dalam sebuah bangunan suci keagamaan biasanya Siwa dan Parwati (lingga yoni) diletakkan di ruang dalam bangunan (garbhagrha), durga mahisasuramardini bertempat di sebelah relung utara, agastya relung sebelah utara, dan pada bagian belakang (timur atau barat) diletakkan arca ganesa. Penempatan seperti ini mungkin saja bersumber dari kitab tantu panggelaran.

  • Antropologi

Benda-benda arkeologi di Pura Jaksan tidak insitu lagi, artinya sudah terlepas dari konteks aslinya. Saat ini benda-benda itu ditempatkan pada sebuah bangunan di lingkungan tempat suci, oleh masyarakat dijadikan sebagai media pemujaan. Upacara-upacara lokal dalam waktu tertentu sudah pasti diselenggarakan ditempat ini. Dengan begitu arca-arca ini telah masuk dalam sistem budaya masyarakat saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Adeng Muchtar Ghazali (2011) bahwa peran agama dalam konteks budaya sangat menonjol, apalagi kebudayaan Bali yang senantiasa tumbuh dan berkembang dengan dijiwai Agama Hindu. Sehingga kajian etnoarkeologi dapat dilakukan dengan mengamati berbagai perlakuan masyarakat terhadap tinggalan arkeologi di Pura Jaksan.

  • Filsafat

Potensi kajian filsafat dapat dilakukan dengan memahami makna-makna yang terkandung di setiap sumberdaya arkeologi. Lingga yoni merupakan aspek penyatuan antara laki-laki dan perempuan. Penyatuan inilah nantinya menyebabkan suatu kelahiran atau penciptaan. Dalam pemahaman lain lingga yoni dapat pula dikatakan sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan. Dewa Siwa (lingga) dianggap sebagai penguasa kehidupan, keselamatan, kesuburan, dan kematian. Sementara itu saktinya Dewi Parwati (yoni) dianggap sebagai dewi keseburuan terhadap sawah dan ladang (Ardika dkk dalam Rema dan Sunarya, 2015: 86).

Nilai Penting Kebudayaan

  • Estetik

Nilai keindahan dalam sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan tampak pada penggarapan setia masing-masing arca. Keindahan itu dapat dilihat pada arca ganesa, durga mahisasuramardini, maupun agastya. Tingkat ketelitian, kerumitan, dan kedetailan sangat diperhatikan oleh si pembuat arca. Ditambah kesan halus yang terpancar dari dalam tubuh arca seolah menambah daya seni yang dimilikinya. Memperhatikan setiap lekukan-lekukan yang tertera pada bagian-bagian arca nampaknya si pembuat arca tidak mau membiarkan karya seninya cacat sedikit pun. Tidak jarang seorang pembuat arca memilih dan memilah hari yang baik ketika akan membuat arca, bahkan kadangkala melakukan tapa terlebih dahulu demi menghasilkan karya seni yang tidak hanya indah tapi benar-benar “hidup”. Sudah barang tentu penggarap arca pada masa lalu benar-benar ahli dalam bidangnya, agar karya yang dihasilkan memiliki nilai lebih dituntut untuk menguasai ilmu agama.

  • Publik

Nilai ini lebih menekankan pada potensi sumberdaya arkeologi ke arah pengembangan sebagai sarana pendidikan masyarakat tentang masa lalu, berpotensi menjadi tempat wisata, dan tempat fasilitas rekreasi. Dengan begitu dampak langsung kepada masyarakat sekarang dapat dirasakan. Sebenarnya potensi sebagai jelajah wisata religi terhadap tinggalan arkeologi di Pura Jaksan dapat dilakukan, oleh karena sebaran sumberdaya budaya di wilayah Bedulu-Pejeng sekarang ini sebagian besar telah menjadi objek daya tari wisata. Sehingga tidak akan kesulitan apabila membikin model pengelolaan yang sama, namun perlu diperhatikan mengenai pelestarian dan ancaman yang ditimbulkan.

Pelestarian Berkelanjutan

Setelah memahami akan nilai-nilai penting sumberdaya arkeologi di Pura Jaksan, maka langkah berikutnya adalah menyajikan nilai penting sumberdaya arkeologi tersebut dapat berarti nyata bagi masyarakat masa kini dan mendatang. Tanpa ada proses penyajian kepada masyarakat luas, nilai penting sumberdaya arkeologi tidak akan dikenali, diakui, dihargai, dan dilestarikan. Untuk itu, diperlukan suatu kajian tentang potensi dan kendala pengelolaan sumberdaya arkeologi tersebut agar tujuan menyajikan nilai penting itu dapat tercapai dengan baik. Secara umum kajian seperti ini seringkali disebt studi kelayakan (feasibility study). Kajian seperti ini penting dilakukan agar penyajian nilai penting dapat mencapai sasaran dan upaya mitigasi dampak dapat direncanakan dengan baik, sehingga pemanfaatan sumberdaya arkeologi dapat berkelanjutan (sustainable) (Tanudirjo, 2011: 243).

Dalam Undang Undang Cagar Budaya tahun 2011 telah diuraikan bahwa pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang telah berstatus Cagar Budaya dapat dimanfaatkan melalui penelitian, revitalisasi, dan adapatasi secara berkelanjutan. Adaptasi merupakan upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini. Sudah barang tentu tanpa mengakibatkan nilaip pentinyanya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Hal ini dapat dikatakan agar nilai-nilai penting itu dapat bermanfaat tidak hanya masa sekarang, namun dapat pula bermanfaat di masa mendatang. Sehingga pelestarian sumberdaya arkeologi secara kontinu dapat dilakukan.

Pada dasarnya sumberdaya arkeologi hingga waktunya nanti akan mengalami kerusakan ataupun kepunahan, begitu pun arca-arca di Pura Jaksan.  Lambat laut seiring berjalannya waktu, pergantian cuaca, dan terus menerus di pampang sinar matahari proses perusakan terhadap sumberdaya arkeologi tidak dapat dihindari. Lalu bagaimana dapat memperlambat proses kerusakan itu, tentunya dibutuhkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Baik pihak masyarakat, akademisi, atau pun pemerintah, sehingga warisan budaya tersebut dapat lestari secara berkelanjutan.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sumberdaya arkeologi yang tersimpan di Pura Jaksan, Bedulu, Gianyar mempunyai beragam nilai penting didalamnya. Nilai penting itu diantaranya nilai penting sejarah, nilai penting pengetahuan (arkeologi, antropologi, dan filsafat), dan nilai penting kebudayaan (estetika dan publik). Tentunya nilai penting lainnya dapat digali lebih jauh sesuai dengan data yang ada. Nilai-nilai penting inilah perlu dikelola sedimikian rupa, sehingga sumberdaya arkeologi beserta nilai yang melekat padanya dapat disaksikan bersama oleh semua lapisan masyarakat baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Tanudirjo, Daud Aris. 2011. “Warisan Budaya Majapahit dalam Perspektif Manajemen Sumber Daya Arkeologi”, dalam Laporan Penelitiaan Arkeologi Terpadu Indonesia I. Jakarta: Universitas Indonesia, halaman: 238-255.

Ardika, I Wayan. 2015. Warisan Budaya: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Udayana University Press.

Helianto. 2007. “Alternatif Penataan Kawasan dalam Upaya Pelestarian Pusat Kota Lama Messter Cornelis di Jatinegara”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Anonim. 2016. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor II Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Magelang: Balai Konsevasi Borobudur.

Redig, I Wayan. 2016. “Makna Ikonografi Durga dalam Kaitan Aktualisasi Peranan Ibu, dalam Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya: Menggali dan Memberdayakan Potensi Sastra dan Budaya Sebagai Peneguh Karakter Bangsa dalam Memaknai “Indonesia Emas 2045”. Denpasar: Universitas Udayana, halaman: 322- 329.

Ratnaesih. 1984. Ikonografi Hindu. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta.

Rema, Nyoman dan Nyoman Sunarya. 2015. “Lingga Berhias Padma Astadala”, dalam Forum Arkeologi Volume 28, No 2. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar, halaman: 79-88.