Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan lokasi Kompleks Makam Nahrisyah sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

0
1768

Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan lokasi Kompleks Makam Nahrisyah sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

Banda Aceh-Selasa (14/5). Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) merekomendasikan lokasi Kompleks Makam Nahrisyah sebagai situs cagar budaya peringkat nasional. Dasar rekomendasi mengingat nilai penting sejarah dari tokoh Nahrisyah itu sendiri.

                     Inskripsi pada makam Sultanah Nahrisyah 
                        (Sumber: Dokumen TACBN 2019)

Lokasi Kompleks Makam Sultanah Nahrisyah terletak di Gampong Beuring, Desa Meunasah Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara atau sekitar 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Di dalam kompleks makam terdapat empat kelompok makam yang ditandai dengan empat cungkup yang menaungi makam-makam tersebut dan sebagian lainnya berada di luar cungkup. Tiga cungkup yang berjejer dari sisi timur ke barat memiliki atap tumpang, sementara satu cungkup atapnya berbentuk perisai memanjang. Secara berurutan dari timur ke barat cungkup terdiri dari cungkup pertama yang menaungi 12 makam, cungkup dua menaungi sebelas makam, cungkup tiga menaungi sepuluh makam, dan cungkup empat menaungi 34 makam.

Nilai Penting Sejarah

Dalam sejarah disebutkan Nahrisyah adalah sultanah pertama di Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai sendiri merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri sejak Tahun 1267. Sultanah Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1416-1428 M.

Sultanah Nahrisyah merupakan penguasa perempuan pertama di Sumatera yang menunjukkan adanya konsep kesetaraan gender dalam bidang politik pemerintahan. Beliau naik ke tampuk pemerintahan menggantikan ayahnya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1408 dan hingga meninggal pada tahun 1428. Menurut

Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian MA, Ratu Nahrisyah dikenal arif dan bijak, memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428 M.

Bukti ketokohan Ratu Nahrisyah juga disebutkan dalam catatan sejarah Cina yang berisi laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Disebutkan perihal raja-raja yang berkuasa pada masa itu, antara lain adalah Ratu Nahrisyah. Berita itu dicatat oleh Ma Huan, seorang pelawat Cina Muslim yang ditugaskan oleh maharaja Cina untuk mengiringi Laksamana Cheng Ho dalam pelayaran muhibah ke negeri-negeri selatan.

Berdasarkan hasil penilaian TACBN disebutkan bahwa Lokasi Kompleks Makam Sultanah Nahrisyah memenuhi kriteria Pasal 5 dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang  Cagar Budaya, yaitu: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih, karena makam dibangun pada tahun 1428 M; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, karena ornamen pada badan jirat bermotif geometris, deretan “lampu gantung”, dan floral; c. memiliki arti khusus bagi sejarah dan kebudayaan, karena memberikan bukti adanya hubungan budaya antara Samudra Pasai dengan Gujarat; dan d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, karena merupakan bukti penguasa perempuan dalam masa perkembangan kesultanan di Indonesia.

Lokasi Kompleks Makam Sultanah Nahrisyah juga memenuhi kriteria Pasal 9 (a) mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya, karena mengandung Struktur Cagar Budaya makam; dan (b) menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu, karena tempat dimakamkannya penguasa perempuan pertama dari masa kesultanan di Indonesia.

Demikian juga memenuhi pasal kriteria Pasal 42 (a) Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, karena gaya ornamen nisan Makam Sultanah Nahrisyah merupakan salah satu dari sedikit jumlahnya yang ditemukan di Indonesia; dan (b) bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas Negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat, karena mencerminkan hubungan budaya antara Samudra Pasai, Gujarat, dan Timur Tengah yang intensif di masa lalu. Ambo