Membandingkan Kubur Tempayam Batu (stone Vats/stone jars) di Kawasan Megalitik Lore Lindu, Sulawesi Tengah dengan Tempayam Batu di Samosir, Sumatera Utara Oleh, Ambo Asse Ajis Staff BPCB Aceh

0
2375

Membandingkan Kubur Tempayam Batu (stone Vats/stone jars)  di Kawasan Megalitik Lore Lindu, Sulawesi Tengah dengan Tempayam Batu di Samosir, Sumatera Utara Oleh, Ambo Asse Ajis Staff BPCB Aceh

contoh Kalamba di Situs Wangka Megalitik  Tempayam Batu dari Samosir, Sumatera Utara 
Lore Lindu (Doc. Ambo Asse Ajis) )        (Doc. Balar Sumatera Utara

Periode megalitik di Nusantara meninggalkan bukti arkeologis yang kaya dengan kreativitas. Pada berkembanganya budaya megalitik, tinggalannya  dapat diklasifikasi atas tinggalan sakral (kepercayaan) dan profan (keseharian). Tinggalan sakral berfungsi untuk menjangkau dan mengkoneksikan diri mereka kepada “dunia lain” yang dikenal dengan sebutan dunia “animisme”, “magi” yakni suatu keyakinan dalam diri manusia dan komunalnya atas kekuatan yang ada di unsur-unsur alam yang mampu menguasai dan memberi dampak langsung pada kehidupan manusia, seperti kekuatan yang dimiliki gunung, tanah, air, api, langit, pohon, batu besar, danau, lautan, sungai dan lainnya. Unsur alam ini dipandang sebagai sumber energi yang diyakini mempengaruhi siklus kehidupan manusia saat itu. Tinggalan profan berisi tentang kehidupan sosial budaya keseharian, menyangkut aktivitas makan, minum, berburu, beternak, berburu dan sebagainya yang pada saat ini meninggalkan bukti arkeologis seperti umpak rumah, jalan batu, peralatan rumah tangga wadah dan non wadah dari gerabah, lumpang batu, pagar batu dan sebagainya.

Kemudian, pada suatu waktu, manusia menemukan teknik mengolah bahan baku alam tersebut seperti, gunung batu di pahat, batu besar di pahat,   kayu di pahat dan objek alam lainnya diolah dengan teknologi saat itu menjadi sebuah bentuk yang spesifik,—kemudian komunalnya menyukai dan memutuskan sebagai bagian dari tradisi mereka.

Salah satu objek alam yang dikelola sebagai bagian animisme di Nusantara, yakni pemahatan bongkahan batu besar (lepas dari batuan induk) untuk dibentuk sedemikian rupa oleh ahli pahat menyerupai bejana atau tempayam yang dalam bahasa lokal ada yang disebut Kalamba atau Tempayam Kubur (stone vats/stone jar). Selain dari batu, wadah kubur ini juga ada yang terbuat dari tanah liat bakar (tembikar).

Kalamba atau Tempayam Kubur (stone vats/stone jars) di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah masuk sebagai Kawasan Megalitik Lore Lindu. Dalam kegiatan Deliniasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, penulis bergabung dengan Tim Lindu yang beroperasi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Di kabupaten Sigi, ditemukan tinggalan Kalamba dengan kondisi yang “terabaikan” oleh pemerintah setempat. Lokasi Kalamba tersebut berada di Desa Watukilo, Desa Tomua dan Desa Wangka yang berada di Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.

Dari proses pengamatan dan wawancara, sepertinya tinggalan Kalamba di ketiga situs ini masuk dalam kategori dead monument atau objek yang sudah ditinggalkan fungsinya masyarakat setempat sebagai media penguburan.

No. Situs Ukuran
Diameter (cm) Tinggi(cm) Kedalaman Lubang (cm) Tebal(cm) Jenis Batu
1 Kalamba Watukilo 215 110 35 43 Skish
2 Kalamba Tomua 140 80 112 16 Skish
3 Kalamba Wangka 155 112 12 24 Skish

Dari aspek keletakan, terlihat dimensi keruangannya, yakni: kalamba Watukilo berada di lereng bukit, kalamba Tomua berada di puncak bukit dan kalamba Wangka berada di kaki bukit. Variasi keletakan kalamba ini bisa jadi mengisyaratkan adanya perspektif independen atas keletakan optimal antara permukiman satu dengan lainnya di masa itu. Dan, atau bisa juga ini menandakan evolusi pemahaman keletakan kalamba yang mengambil jarak waktu  berbeda antara satu situs dengan yang lainnya.

Hal yang sama dari ketiga keletakan kalamba di atas adalah adanya indikasi keletakannya tidak berada di  dalam areal permukiman mengingat hasil survei tidak ditemukan unsur pemukiman disekitarnya, seperti umpak, batu dakon, lumpang batu dan sebaran gerabah sebagai penanda bahwa Kalamba di areal ruang inti permukiman.

Tempayam Kubur (stone vats/stone jars) di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara

Di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara juga ditemukan tinggalan megalitik berupa tempayam kubur yang terbuat dari batu sejenis tufa dan batu pasir (sands stone). Temuan tersebut dicatat dengan sangat baik oleh Tim Balai Arkeologi Sumatera Uitara dan digambarkan bahwa keletakan tempayam (stone vats/stone jar) Kabupaten Samosir berada di areal permukiman yang sampai hari ini masih digunakan meski kini sangat terbatas.

Tim Balai Arkeologi Sumatera Utara bersama Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabuaten Samosir, mencatat ciri umum tempayam batu adalah umumnya tempayan batu tidak berhias. Adapun yang berhias biasanya ada pahatan berbentuk  antropomorfik, setengah lingkaran (sisik ikan) dan sulur-suluran. Melihat ukuran lubang pada bagian wadah dengan diameter maksimum sekitar 50 cm, maka tempayan batu ini agak sulit digunakan sebagai wadah penguburan Primer, lebih memungkinkan untuk penguburan kedua (sekunder). Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa suatu tempayan bisa memuat tulang- tulang lebih dari dari satu individu. Tempayan batu umumnya terbuat dari batuan tufa dan batu pasir. Tempayan batu biasanya dikuburkan di dalam tanah dan pada masa sekarang banyak yang telah dipindahkan dan ditempatkan di atas kubur baru/tambak. Ada kalanya tempayan sudah dikosongkan dan isinya telah dipindahkan ke kubur baru lewat upacara adat, tetapi di kala lain, tempayan tidak dikosongkan dan hanya dipindahkan tempatnya untuk memudahkan pemeliharaan.

No. Situs Ukuran
Diameter Tengah (cm) Diameter bawah (cm) Tinggi

(cm)

Jenis Batu
1 Tempayam Samosir Antara 130-150 Antara40 – 50 Antara70 – 165 Tufa

Jejak Persamaan dan perbedaan Kalamba di Kawasan Megalitik Lore Lindu (Kabupaten Sigi) dan Tempayam Kubur Samosir

 Persamaan utama Kalamba di Kabupaten Sigi dengan Tempayam Kubur di Samosir adalah fungsinya sebagai wadah kubur. Walaupun belum ada hasil ekskavasi yang menegaskan fungsi Kalamba di Kabupaten Sigi adalah wadah kubur, tetapi dipercaya fungsin sebagai wadah kubur dapat dilihat dari situs pembanding di Situs Tadulako (Doda), Lembah Behoa, Sulawesi Tengah dimana ditemukan tulang-tulang manusia dan telah di uji DNA yang digolongkan sebagai sekuens modern yang termasuk dalam suku bangsa Austronesia (Yuniawati, 2000).

Persamaan kedua, yaitu Kalamba di di Kawasan Lore Lindu ada yang berfungsi sebagai secondary burial dan Tempayam Kubur di Samosir juga berfungsi sebagai secondary burial.  Namun demikian, di catatan yang lain ada juga Kalamba sebagai primary burial khususnya di Situs Wineki yang berada di Lembah Behoa, diketahui merupakan kubur komunal yang mempunyai sistem penguburan primer, hal ini dibuktikan oleh temuan posisi rangka yang masih utuh dalam keadaan terlipat (dalam posisi seperti bayi di dalam kandungan).

Sementara itu, perbedaan mendasar antara Kalamba, di Kabupaten Sigi dengan Tempayam Kubur, di Kabupaten Samosir, antara lain: pertama, di ketiga situs Kalamba di Kabupaten Sigi di atas sepertinya letaknya di luar permukiman di masa lampau. Sementara di Samosir, keletakan Tempayam Kubur berada di permukiman. Kedua, dari segi bahan pembentuk, bahan batuan kalamba dari jenis batuan skis sementara di Samosir tempayam kubur terbuat dari batuan tufa dan sand stone. Variasi ini Ini bisa dipahami sebagai pengaruh dari adaptasi lingkungan dan ketersedian sumberdaya batuan. Dan, ketiga, budaya penggunaan kalamba saat ini sudah dalam kategori dead monument sementara tempayam kubur masih digunakan sebagai wadah kubur di Samosir.

Kesimpulan

Tinggalan Kalamba di Kawasan Megalitik Lore Lindu, Sulawesi Tengah  dengan Tempayam Kubur di Samosir, Sumatera Utara, dipercaya memiliki hubungan di masa lampau sebagai akibat proses migrasi manusia pendukungnya. Hal ini dilihat dari kesamaan tinggalan berupa wadah kubur menunjukan adanya hubungan budaya hingga dugaan keterkaitan DNA pendukung megalitik sebagai suku bangsa Austronesia.

Di Kawasan Megalitik Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah selain tempayam batu yang dikenal dengan sebutan Kalamba, para peneliti telah memiliki 15 (lima belas) variabel bentuk tinggalan megalitik, seperti arca batu  (megalith statue), menhir, monolit, dolmen berkaki, dolmen tanpa kaki, batu temu gelang, batu dakon, lumpang batu, palung batu, pagar/benteng batu, umpak batu, batu bergores, punden berundak, tempayan kubur dari tanah liat. Namun di kawasan budaya megalitik yang terdapat pada perbatasan daerah Lembah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan ini tidak semua permukiman yang ditemukan mempunyai secara lengkap ke-15 variabel tersebut (Yuniawati 2014, 2016).

Demikian juga di Samosir saat ini, terdapa varian tinggalan megalitik penguburan primer yang dicirikan dengan penguburan langsung di dalam tanah baik dengan menggunakan wadah kubur maupun tidak menggunakan wadah kubur serta penguburan sekunder, yaitu penguburan yang dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan proses penguburan primer, untuk kemudian tulang-tulang si mati diangkat dari dalam tanah  dengan upacara mangokal holi dan dipindahkan ke dalam wadah kubur.

Penguburan jenis ini masih dilaksanakan sampai sekarang oleh sebagian masyarakat Batak Toba dan Karo. Wadah kubur yang dahulu dibuat dari batu, seperti sarkofagus, tempayan batu, peti batu, dan kubus batu– sekarang sudah dibuat  dengan bangunan dari batu dan semen yang sering  disebut dengan tambak.

Sebagai penutup, penulis menyarankan bahwa jika saat ini Kawasan Megalitik Lore Lindu sedang di dorong sebagai warisan cagar budaya dunia maka Megalitik di Samosir, Sumatera Utara juga sangat layak diperlakukan sama sebagai Kawasan Megalitik warisan dunia mengingat kedudukan sejarah, tinggalan arkeologis dan kaitannya yang luas dengan situs lain di Indonesia.

Referensi:

  1. Ketut Wiradnyana dan Taufikurrahman, 2013. Jejak Peninggalan Tradsisi Megalitik di Kabupaten Samosir
  2. Yuniawati 2014, 2016

Ucapan Terima kasih kepada:

  1. Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo
  2. Tim Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah