Mendorong Bawomataluo sebagai Warisan Dunia Oleh, Ambo Asse Ajis Staf BPCB Aceh

0
2047

Artikel

Mendorong Bawomataluo sebagai Warisan Dunia  oleh Ambo Asse Ajis Staf BPCB Aceh

Sumatera Utara memiliki Bawamataluo yang fenomenal. Sebuah maha karya manusia Nias Selatan yang memadukan kecerdasan dalam beradaptasi dengan lingkungan, memproduksi nilai kearifan lokal dengan mengelola lansekap perbukitan menjadi sebuah permukiman yang menawan. Mahakarya masyarakat Bawomataluo, Nias Selatan ini merupakan salah satu simbol kecerdasan manusia Nusantara.

Permukiman tradisional Bawomataluao merupakan satuan ruang geografis Bawômataluo yang dikenal sebagai suatu perkampungan tradisional yang menempati perbukitan dengan ketinggian mencapai sekitar 270 meter di atas pemukaan air laut. Letak lokasinya di antara jalan menuju Pantai Sorake dan Teluk Dalam. Saat anda berada di jalan tersebut, anda hanya butuh berbelok ke kiri bergerak sejauh 4 km melalui jalan berkelok yang tidak lain dari jalan desa dengan kualitas kelas 4.

Perkampungan tradisional Bawömataluo merupakan wilayah yang memiliki potensi arkeologis terutama berupa deretan rumah-rumah tradisional beserta tinggalan tradisi megalitik yang merupakan satu kesatuan. Wilayah Bawomataluo ini memanfaatkan bentang lahan dengan maksimal, terletak di punggungan bukit sehingga dinamai dengan Bawömataluo yang berarti “bukit matahari”.

Latar Heroisme di balik “Bukit Matahari”

Sejarah berdirinya Desa Bawõmataluo tidaklah bisa dipisahkan dari sejarah berdirinya Desa Orahili Fau sebagai cikal bakal Desa Bawõmataluo. Menurut catatan sejarah yang ditulis oleh Rappard, TH.C. Controleur B.B., Het eiland Nias en zijne bewoners, 1908, S’Gravenhage.Hlm 615-617, pada tahun 1855, 1856, 1859, Desa Orahili Fau yang telah berdiri pada abad ke-17 telah melakukan perlawanan dan penyerangan hebat terhadap tentara Kolonial Belanda yang hendak menguasai wilayahnya. Tercatat ada tiga kali peperangan, dan di setiap peperangan Desa Orahili Fau selalu berhasil memukul mundur tentara Belanda dan merampas persenjataan dan harta benda mereka. Baru pada serangan tentara Belanda yang ke-4 dengan didukung  600 orang serdadu, 27 orang perwira dan 4 unit meriam dibawah komando Mayor H.J. Fritzen pada awal Juni tahun 1863 berhasil menaklukan Desa Orahili Fau. Wilayah desa itu dibumihanguskan.

Atas kekalahan tersebut dibawah pimpinan Owatua dan anak-anak (Lahelu’u, Bofõna, Fõna Oli’õ, Tuha Geho) dan cucu-cucunya, penduduk Desa Orahili Fau menyelamatkan diri ke daerah Mazinõ. Mereka tidak terlalu lama tinggal di daerah Mazinõ. Pada tahun 1886 mereka pindah lagi ke daerah bernama Barujõ Sifaedo yang letaknya di antara Desa Hili Nawalõ Fau dan Hili Nawalõ Mazinõ. Mereka tinggal di situ selama lima tahun. Karena kesulitan mendapatkan sumber air bersih, jauh dari laut dan dikelilingi oleh jurang terjal, maka pada tahun 1871 mereka pindah ke bukit Fanayama (sekarang tepat berada di belakang Puskesmas Bawõmataluo). Mereka bermukim di situ selama tiga tahun. Pada tahun 1873, atas saran dari Gere (Imam Besar: dipercayai memiliki kemampuan melihat kejadian-kejadian dimasa depan/meramal dan menjadi perantara doa mereka kepada arwah leluhur) bahwa pemukiman bukit Fanayama tidak memungkinkan untuk menampung perkembangan penduduk dimasa depan, maka mereka melakukan orahua (musyawarah desa) dan memutuskan untuk pindah ke puncak bukit Hili Soroma Luo yang sekarang dikenal dengan Desa Bawõmataluo. Mulai pada saat itu keempat bersaudara anak Owatua ( Lahelu’u, Bofona, Fona Oli’õ dan Tuha Geho) mulai membangun dan menata Hili Soroma Luo (Desa Bawõmataluo). Sampai saat ini keturunan dari keempat bersaudara anak Owatua itulah yang menjadi pewaris tahta Si’ulu (bangsawan) di Desa Bawõmataluo. (Nara Sumber : Tuha Ilawa Niha (Milyar Wau), Ariston Manao, Bazamaoso Fau (Tuha Somasi Niha)

Ruang Geografis Bawomataluo yang menawan

Satuan ruang geografis Bawomataluo yang berada di wilayah Kabupaten Nias Selatan memiliki tipe rumah berbeda dengan wilayah utara. Desa-desa yang terdapat di bagian selatan (termasuk Desa Bawomataluo) merupakan desa-desa yang besar dan canggih yang telah berkembang dalam keharmonisan dengan beberapa desa yang telah terencana, dan di sana dibangun rumah-rumah besar dengan rancangan persegi-panjang dan atap pelana di mana bagian pelananya melekat pada rumah di sampingnya. Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, terdapat sebuah wilayah yang disebut Gomo yang dianggap sebagai asal-usul suku-suku dalam mitos Nias yang berlokasi di tengah-tengah Pulau Nias, oleh karena itu rumah-rumah di sana telah mengombinasikan fitur-fitur daerah utara dan selatan. Pada umumnya pemandangan di sana adalah sebuah lapangan persegi dengan jajaran pilar-pilar batu dikelilingi oleh sebuah pemukiman beserta sebuah rumah terpisah yang terdiri dari 2 unit dengan rancangan oval dan sayap kedua rumah tersebut saling menempel.

Untuk memasuki wilayah Bawömataluo terlebih dahulu harus melalui susunan tangga batu yang dibangun pada bagian depan desa, tepatnya sebelum memasuki gerbang desa. Tangga batu ini pada mulanya memiliki sebanyak 80 buah anak tangga, namun saat ini hanya tersisa 78 buah anak tangga.

Di bagian terbawah tangga sebelah kiri terdapat batu megalit berupa batu salawa setinggi 140 cm, berdampingan dengan daro-daro (meja batu) yang terbuat dari 3 buah lempengan batu yang telah ditopang dengan semen sebagai kaki. Di sisi kanan teras pertama terdapat batu darodaro ni’otumba setingi 80 cm berdampingan dengan darodaro yang terdiri dari 2 buah lempengan batu yang telah direkatkan dengan semen sehingga memiliki bagian kaki. Darodaro ni’otumba di masa lalu berfungsi sebagai tempat untuk mengeksekusi orang yang bersalah menurut adat, sedangkan batu salawa berfungsi sebagai tempat meletakkan topi atau mantel para tamu. Tangga ini juga diapit oleh sepasang patung lasara yang merupakan binatang mitologi yang dipercayai oleh masyarakat Nias Selatan. Gerbang terdapat di bagian atas tangga yang diapit oleh sepasang batu penanda yang disebut sebagai batu bawagöli.

Objek megalitik di perkampungan ini berupa patung batu yang diletakkan secara horizontal (tidur) dan vertikal (sendiri). Patung dalam posisi horisontal disebut daro-daro sedangkan yang dalam posisi vertikal disebut naitaro. Posisi dari patung itu berkaitan dengan jenis kelamin masing-masing. Penggambaran patung berupa manusia bergaya antropomorfiks; adapun jenis fauna yang digambarkan berupa ular, kadal, monyet, buaya, cecak, dan hewan lainnya. Masing-masing patung digambarkan berhias atau polos. Objek bertradisi megalitik lain adalah menhir berhias dan polos yang diletakkan di depan rumah. Selain itu terdapat motif-motif geometris pada dinding rumah atau lantai pekarangan.

Pada satuan ruang geografis ini terdapat banyak tinggalan megalit yang seluruhnya berada dalam wilayah pemukiman tradisional Desa Bawomataluo. Pola pemukiman pada satuan ruang geografis ini berdenah bentuk huruf T dan menyatu di sebuah hamparan batu segiempat besar di depan rumah utama (omo sebua) yang merupakan rumah raja/kepala suku  dan juga menjadi pusat kegiatan masyarakat. Komposisi dasar pola pemukimannya yaitu dua deretan rumah dibangun di sepanjang jalan utama/lapangan secara paralel. Kedua ujung garis sumbu (deretan rumah) dipergunakan sebagai jalan akses ke pemukiman-pemukiman.

Bawomataluo dan Nilai Universal

Warisan dunia adalah pusaka (heritage) budaya dan alam yang menunjukkan pengaruh/signifikansi dalam konteks global yang merujuk pada konvensi 1972, serta memiliki ‘nilai universal istimewa/luar biasa (Outstanding Universal Value)’, sehingga dikukuhkan pada daftar warisan dunia oleh World Heritage Committee UNESCO. Konvensi 1972 adalah syarat utama setiap negara dapat mengusulkan warisan dunia. Sampai tahun 2017 sudah ada 193 negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia sudah meratifikasi pada tahun 1989.

Setiap situs atau kawasan dapat menjadi warisan dunia asalkan memiliki 3 azas tercantum di bawah ini, agar dapat dinilai sebagai Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value) / OUV, diantaranya: (1) memenuhi satu atau lebih kriteria OUV warisan dunia, (2) memenuhi kondisi keaslian dan keutuhan, dan (3) memenuhi syarat pelindungan dan pengelolaan (Najamuddin Ramly, 2018).

Berdasarkan  ketiga syarat yang disebutkan di atas maka sesungguhnya Bawomataluo telah memunuhi unsur tersebut, dimana salah satu kriterianya “represent a masterpiece of human creative genius” telah terpenuhi dimana Bawomataluo merupakan karya kecerdasan masyarakatnya dalam berinteraksi dengan lingkungan serta reaksi atas kondisi sejarah yang mereka hadapi disaat itu. Sebuah situasi yang menjelaskan pengetahuan tradisional, sikap pertahanan dan kecerdasan memanfaat ruang geografis serta dipadukan keputusan kolektif untuk menghuni bukit matahari, merupakan perpaduan dinamis yang sangat langka pada masa tersebut, khususnya di Nusantara dan umumnya di dunia.

 Apa yang dibutuhkan Bawomataluo saat ini

Bawomataluo adalah bukti kecerdasan manusia Nusantara dalam menghadapi tantangannya.  Meski penduduk pembentuk Bawomataluo dalam situasi terdesak oleh kolonialisme, mereka tidak berhenti mencari jalan keluar dan justru situasi tersebut melahirkan kreatiftas komunal yang disebut dikenal dengan sebutana “reperasentasi kecerdasan kolektif manusia.” Atas dasar kecerdasan inilah, Bawomataluo mendapatkan standing ovation dan diakui sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi umat manusia

Lalu, persoalannya kini, Bawomataluo telah masuk dalam tentativ list (daftar sementara) UNESCO sejak tahun 2009 bersama objek lainnya di Indonesia, seperti: Muara Takus Compound Site, Muarajambi Temple Compounds, Prehistoric Cave Sites in Maros Pangkep, Tana Toraja Traditional Settlement dan Trowulan Former Capital City of Majapahit Kingdom—status tersebut belum beranjak dan masih betah dalam tentativ list.

Pertanyaannya kemudian mengapa belum beranjak dari posisi tentativ list? Apa yang menjadi kendalanya?

Sebuah uraian yang cerdas datang dari seorang  Nadjamuddin Ramly (Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pada acara pembekalan Kegiatan Deliniasi Kawasan Megalitik Lore Lindu yang diselenggarakan Balai Pelestarian cagar Budaya Gorontalo tahun 2018 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Beliau menjelaskan probelm Bawomataluo dalam materi berjudul “Megalitik Lore Lindu Menuju Warisan Budaya Dunia UNESCO”  dimana ada komponen yang dibutuhkan jika hendak dalam mendorong bergerak majunya sebuah daftar tentatif list menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO.

Diantara penjelasan beliau, yaitu: pertama, objek tersebut harus berstatus Cagar Budaya Nasional; kedua,  objek masuk dalam Rencana Tata Ruang setempat dalam kawasan lindung atau kawasan pelestarian cagar budaya, dan sejenisnya; ketiga, kesediaan menanggung pembiayaan; keempat, kesepakatan antar pemangku kepentingan; dan kelima, sudah ada delineasi (termasuk zoning yang bisa mengakomodir kepentingan pelestarian).

Untuk yang pertama, faktanya, negeri  Bukit Matahari, Bawomataluo sedang dalam proses penetapan statusnya sebagai Cagar Budaya Nasional oleh Tim Ahli Cagar Budaya Nasional. Hal yang kedua tentang masuknya Bawomataluo kedalam Rencana Tata Ruang dalam kawasan pelestarian cagar budaya Provinsi Sumatera Utara sedang dalam perumusan pemerintah Sumatera Utara. Mengenai yang ketiga,  kesediaan menanggung pembiayaan proses mendorong Bawomaraluo menjadi warisan dunia belum sepenuhnya selesai. Soal ini butuh pembicaraan serius tentang pembiayaan antar stakeholder di daerah, provinsi dan pusat. Hal keempat, belum ada kesepakatan antara pemangku kepentingan terutama dalam pengelolaan proses hingga pengololaan saat jadi warisan budaya dunia belum bulat menghasilkan kesepakatan bersama. Sementara untuk deliniasi, kegiatan ini telah diinisiasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh.

Tentu saja persoalan yang disampaikan di atas memerlukan solusi konstruktif, cepat, akurat dan realistis. Karenanya, kehadiran aparatur bangsa dari Bangsa Indonesia untuk mengambil inisiatif men-duduk-an para pemangku kebijakan sangat diperlukan guna  memecah problematika yang menghalangi Bawomataluo “Negeri Bukit Matahari” menuju warisan dunia.

Mengapa peranan negara dibutuhkan, karena Bawomataluo bukanlah milik orang Nias Selatan saja, atau orang Sumatera Utara Saja atau tanggungjawab Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh saja, tetapi Bawomataluo itu milik Bangsa Indonesia. Bangsa yang kita kenal lahir dari akar keberanian dan patriotisme. Dan,  saripati  heroisme tersebut juga dimiliki oleh Bawomataluo. Karenanya, kehadiran aparatur negara dengan kekuasaan, harta, kewibawaannya sangat dibutuhkan meng-icebreaker problematika yang sudah bertahun-tahun menghalangi Bawomataluo jadi warisan dunia.

Sebagai penutup, diperlukan konsolidasi yang akurat antara seluruh pemangku kebijakan. Semoga segera terlaksana dengan baik dan pada akhirnya, Bawomataluo, “negeri bukit matahari” menjadi milik dunia dan menjadi warisan dunia. Insha Allah

Referensi:

  1. BPCB Aceh
  2. Balai Arkeologi Sumatera Utara

Ucapan Terima kasih kepada:

  1. Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, 2018.
  2. Balai pelestarian cagar Budaya Gorontalo, 2018.
  3. Bapak Nadjamuddin Ramly (Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), 2018.
  4. Narasumber Kegiatan Deliniasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, 2018.