SUTANTO,TOKOH DI BALIK LIMA GUNUNG

0
2241

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

Lahir di Magelang 5 Februari 1954, Sutanto yang akrab dipanggil Tanto Mendut terus menekuni dan berakrab dengan kesenian yang ada di sekitar Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah.

Pada usia 20-25 tahun, ia belajar di Akademi Musik Indonesia, Yogyakarta. Setelah itu, menjadi guru SD, SMP, SMA, SPG, seminari, dan pesantren.

Tahun 1989 Tanto Mendut mendirikan Studio Mendut dekat Candi Mendut untuk kegiatan budaya lintas disiplin khususnya bagi warga desa, daripada keluyuran ke desa-desa gunung. Tak terduga itu menjadi embrio Komunitas Lima Gunung (desa-desa dari Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh). Kegiatannya campur aduk: tari, musik, tradisi, kontemporer, kolaborasi, ritus-ritus desa, respon pada letusan Merapi, gempa bumi, tsunami Aceh, acara HAM, heritage, pemikiran, dialog sosial, dan lain-lain. Secara aktif menggerakkan masyarakat desa di seputar lima gunung untuk menjadikan nilai-nilai setempat mereka sebagai daya hidup.

Komunitas ini melahirkan sekian buku, event, produk kerajinan, kegiatan multidisiplin, yang hampir semuanya mandiri, dibiayai sendiri, tanpa dana dari pihak luar. Di samping Studio Mendut, setidaknya setiap gunung memiliki gedung kesenian sendiri, yang produktivitasnya bisa diteliti dan dipertimbangkan. Salah satu kegiatan yang masih berjalan adalah Festival Lima Gunung yang pada 2014 ini memasuki tahun ke-13, juga didanai masing-masing oleh dusun yang biasa melibatkan seribuan seniman dan ribuan penonton. Komunitas ini juga sudah mengundang ratusan seniman urban nasional maupun internasional, mengerjakan beberapa proyek film bersama Garin Nugroho dan Arswendo Atmowiloto.

Sebagai komunitas dengan label “ desa gunung”, memenuhi undangan pentas di Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Denpasar, Lombok, juga di Festival Asia-Pasific New Zealand, memberi workshop di Wina, Austria dan undangan banyak lainnya. Jaringan dan relasi personil meliputi seniman dari banyak negara, dalam berbagai forum. Kegiatan lain, di antaranya menulis untuk media, menjadi pembicara diskusi, dan enam tahun terakhir mengajar Eksplorasi Bunyi di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta setiap semester ganjil.

Sutanto menikah dengan Mami Kato, pelukis asal Jepang dan memiliki tiga anak: Shiki Raya (27 tahun), Shakayou Samadyo (24 tahun), dan Shuko Sastra Gending (21 tahun).