TENGKU NASARUDDIN SAID EFFENDY, Kita Harus Kembali Ke Jatidiri Bangsa

0
742

Budayawan dan sastrawan Tengku Nasaruddin Said Effendy atau yang lebih dikenal dengan Tenas Effendy mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Melayu. Omong budaya Melayu, Tenas Effendylah orangnya. Tidak heran, ia sering mendapat julukan “penjaga benteng” budaya Melayu.
Pada 2014, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberinya anugerah sebagai Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya. Penghargaan itu pantas untuknya. Selain mengadakan penelitian terhadap kebudayaan Melayu, ia juga aktif berkesenian mulai dari menulis puisi dan novel, membaca puisi, bermain teater, menggelar pameran seni rupa, serta sering tampil dalam berbagai seminar dan simposium.
Ketika masih aktif melakukan kajian kebudayaan Melayu, ia rela pergi sampai berbulan-bulan ke pelosok kampung. Keluarganya selalu mendukung aktivitasnya tersebut. Hasil-hasil penelitian ini terutama yang berkenaan dengan sastra lisan direkamnya dalam bentuk kaset yang terkumpul lebih kurang 1.500 rekaman.
Dari perjalanan panjangnya berkecimpung dengan kajian kebudayaan dan aktivitasnya dalam menulis, Tenas berhasil mengumpulkan lebih kurang 20.000 ungkapan, 10.000 pantun, dan tulisan-tulisan lain mengenai kebudayaan Melayu. Kepiawaiannya dalam menulis dan pengetahuannya yang mendalam tentang kebudayaan, menarik minat banyak institusi untuk berbagi pemikiran dalam berbagai seminar, simposium, dan lokakarya di Malaysia, Singapura, Brunei sampai Belanda.
Ia telah menulis banyak buku dan makalah. “Saya tidak tahu sudah berapa jumlah buku yang saya tulis. Orang lain menghitungnya, lebih dari 200 judul buku. Belum lagi makalah-makalah yang saya tulis,” ujar pria yang kini menikmati masa tuanya di rumah Melayu yang lapang dan penuh buku di Pekanbaru, Riau. Bahkan ia sempat membagi sejumlah buku kepada tim verifikasi dari Kemendikbud yang datang dalam rangka penghargaan tersebut.
Soal buku, sangat penting bagi Tenas. Ia selalu mengatakan kepada anak-anaknya, jika suatu saat ajal menjemputnya, maka bukan harta yang ditinggalkannya, melainkan kekayaan berupa buku-buku dan bahan-bahan tentang adat istiadat dan kebudayaan Melayu Riau. Untuk mengembangkan budaya Melayu, ia mendirikan Yayasan Tenas Effendy Kepri.
Menghadapi globalisasi, Tenas berpendapat diperlukan budaya yang tangguh untuk melandasi sikap dan perilaku masyarakat pendukungnya agar menjadi manusia tangguh. Oleh karena itu, budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai luhur yang Islami yang sudah teruji keandalannya, harus dikekalkan dengan menjadikannya sebagai “jatidiri” bagi masyarakatnya. Nilai-nilai budaya ini diyakini mampu mengangkat marwah, harkat dan martabat kemelayuan dalam arti luas.
“Sekarang ini sedang terjadi krisis politik, ekonomi, dan banyak krisis lainnya. Tetapi yang intinya kita sedang mengalami krisis moral. Saya percaya, kalau krisis moral kita dapat atasi, maka krisis-krisis yang lain akan dengan mudah ditangani. Persoalannya, dunia pendidikan kita sudah tidak mengajar etika. Akibatnya, intervensi budaya asing dibiarkan masuk sampai kamar tidur kita,” kata Tenas prihatin. Akibatnya, korupsi merajalela, budaya kekerasan merebak, narkoba di mana-mana.
Menurut Tenas, untuk menghadapi keadaan itu, bangsa Indonesia harus menanam nilai. “Saya dari dulu berjuang mengangkat jatidiri kita, moral kita. Saya senang memakai ungkapan, mari kita melayukan orang Melayu, kita jawakan orang Jawa, kita minangkan orang Minang, kita batakkan orang Batak. Artinya, kita harus kembali ke jatidiri kita, budaya kita. Dan ini yang tidak kita lakukan,” katanya sedih.
Budayawan ini khawatir dengan budaya kekerasan yang ditampilkan di televisi. Orang berkelahi, orang berdemonstrasi dengan menggunakan kekerasan ditampilkan. Kebudayaan sangat sedikit dihadirkan. “Yang ditayangkan di televisi kita adalah estetika saja, bukan etikanya. Banyak anak kita menonton televisi,” paparnya dengan suara sendu.
Tenas melihat sekolah dan keluarga bisa ikut memainkan peran penting dalam membangun karakter. Namun, ia rada pesimistis dengan peran sekolah. Dalam pandangannya, wibawa guru sudah tidak besar lagi. Dulu murid sangat segan terhadap guru. Sekarang jangan-jangan guru takut kepada murid. Situasi berubah. Kebanyakan orang tua sibuk bekerja, pergi pagi saat anak masih tidur, dan pulang sore dan sudah lelah untuk mengurus anak. Lalu, orang tua menyuruh anak menonton televisi.
Kondisi itu bukannya tidak bisa diatasi. Menurut dia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat pada pemimpinnya. Mereka selalu mencontoh apa yang dibuat pemimpin. Karena itu pemimpin harus bisa memberi teladan. Persoalannya, banyak pemimpin tidak bisa memberi teladan, justru terlibat kasus korupsi. Lalu apa yang harus kita lakukan lagi?
“Nilai-nilai asas kita ada dalam kebudayaan. Mengangkat jatidiri, maka kebudayaan itu harus dikukuhkan. Memang tergantung pendukung, pertama apakah masih merasa memiliki atau tidak, kedua apakah masih rasa bangga atau tidak, dan ketiga, apakah mampu menjabarkan dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Tenas.
“Itu yang harus kita lakukan dengan kebudayaan kita. Bukan menangani kebudayaan hanya sambilan sifatnya. Pendidikan harus menjadi bagian dari kebudayaan. Di dalam pendidikan, apa yang diajarkan adalah kebudayaan dan nilai-nilai,” kata Tenas yang setuju adanya Kementerian Kebudayaan dan perlunya UU Kebudayaan.