Annabel Teh Gallop: Penjaga Manuskrip dan Cap Kuno Indonesia dari Inggris

0
1686

Annabel Teh Gallop adalah kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library, London, Inggris. Dia menyelesaikan pendidikan di Bristol University dan School of Oriental and African Studies (SOAS), London University, di mana dia mendapatkan gelar doktor (PhD) pada 2002 dengan disertasi Malay Seal Inscriptions: A Study in Islamic Epigraphy from Southeast Asia. Minat utama penelitiannya adalah manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Al-Quran di Asia Tenggara.

Di antara publikasinya—bersama Venetia Porter adalah Lasting Impressions: Seals from the Islamic World (Kuala Lumpur: Islamic Arts Museum Malaysia, 2012); “Islamic Manuscript Art of Southeast Asia” dalam James Bennett (ed), Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation from Southeast Asia (Adelaide: Art Gallery of South Australia, 2005: 156-183); The Legacy of the Malay Letter/Warisan Warkah Melayu (London: British Library, 1994); dan Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia/Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia (London: British Library; Jakarta: Lontar, 1991). Dia juga menjabat ko-direktur proyek penelitian yang didanai British Academy (2009-2012): Islam, Trade and Politics Across the Indian Ocean: Investigating Ottoman Links with Southeast Asia.

Annabel menjelaskan, naskah-naskah itu teridenti kasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Seluruh naskah berjumlah lebih dari 1.200. Semua tersimpan rapi di 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Di tempatnya bekerja tersimpan berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari masa abad ke-15. Bahan-bahan itu kerap dimanfaatkan para peneliti Barat dan Indonesia.

Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies (SOAS). Di kedua tempat itulah para arkeolog, sejarawan, dan lolog dari seluruh dunia—termasukdari Indonesia—seringmelakukan riset kepustakaan. “British Library memiliki koleksi Nusantara sebanyak 600-an naskah. Naskah Jawa paling banyak, kira-kira 300-an naskah, Melayu 100-an naskah, Bugis 40 naskah, Makassar 10 naskah, Batak 40 naskah, dan Bali 40 naskah. Tugas saya sebagai kurator untuk mengetahui sedikit banyak isi naskah tersebut dan dimuat dalam katalog dan membantu para peneliti yang membutuhkan data atau memahami naskah,” kata Anabel, dosen yang mengajar di SOAS, University of Oxford, dan King’s College London.

Wanita kelahiran 5 Agustus 1961 ini mengatakan, pihaknya berperan membuat versi digital agar dapat diakses oleh siapa saja dan gratis. Sebelum naskah-naskah itu benar-benar hilang dan tidak bisa diakses lagi, demikian Annabel, diperlukan sebuah upaya penyelamatan melalui pengkajian dan penelitian naskah yang masih bisa ditemukan. “Yang menjadi kendala untuk dilakukan digitalisasi adalah apabila naskah secara sik sudah rusak, tulisan sudah pudar dimakan rayap dan tidak bisa dibaca. Namun kebanyakan naskah Indonesia dalam keadaan cukup baik, kecuali yang ditulis di daun lontar,” paparnya.

Di dalam naskah-naskah kuno tersebut, lanjut Annabel, terkandung aturan adat, kearifan lokal, serta batas-batas wilayah masyarakat di suatu daerah. Untuk bisa mengkaji naskah kuno itu setidaknya dibutuhkan tiga kemampuan dasar, yakni lologi untuk mengkaji isi naskah, kodikologi untuk mengakaji sik naskah, dan pengetahuan terhadap konteks sosio-budaya masyarakat pemilik naskah. ”Jika penyelamatan naskah melalui penelitian seperti ini tak segera dilakukan, maka aturan lokal yang tercantum di dalam naskah tersebut akan hilang dan tidak bisa memberikan manfaat kepada masyarakat di masa yang akan datang,” katanya.

Ternyata Annabel tidak hanya berfokus pada isi naskah- naskah kuno, tetapi juga semua unsur luaran dalam naskah tersebut. Sosok wanita yang masih memiliki garis keturunan dari Malaysia inimenegaskan, banyak informasi sejarah yang dapat digali dari sebuah cap peninggalan masa lalu, lebih-lebih lagi cap raja-raja lokal yang pernah berkuasa di Nusantara, karena cap tersebut pada hakekatnya representasi dari diri orangnya sendiri. Dari kajian mengenai cap ini, Annabel berhasil menyelesaikan gelar doktornya pada 2002 dengan disertasi berjudul Malay Seal Inscriptions: A Study in Islamic Epigraphy from Southeast Asia.

“Dalam mengkaji mengenai surat, saya sangat tertarik karena di dalamnya mengandung banyak fakta sejarah yang sangat penting. Tapi bukan hanya surat, juga hiasannya, kaligra nya, dan stempel atau capnya. Jadi, sebetulnya saya ingin sekali menekuni semuanya, akan tetapi saya memutuskan untuk memfokuskan mengkaji pada cap. Disertasi saya mendalami surat-surat raja dan hiasan-hiasannya yang indah dengan cap-capnya dari seluruh Nusantara, yang sudah digunakan selama 300 tahun,” jelas wanita yang lahir di Inggris akan tetapi dibesarkan di Brunei Darussalam ini.

Kecintaannya pada Indonesia membuat Annabel tertarik mendalami manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Al-Qquran yang ada di Indonesia. “Hal yang sangat berpengaruh pada saya adalah karena saya pergi ke Indonesia pada umur 17 tahun dan menghabiskan satu tahun di Lembang, Bandung. Ketika itu saya benar-benar jatuh cinta dengan Indonesia. Dan, ketika saya mendalami Indonesia di University of London, dari sini saya berubah sama sekali, saya semakin cinta dengan Indonesia,” papar Annabel yang juga telah membuat catatan dan mengangkat karya- karya S Rukiah sebagai bahan disertasinya.

Annabel berharap generasi muda di Indonesia mau mengkaji manuskrip, surat, dokumen dan cap di Nusantara ini yang masih banyak membutuhkan penelitian atau kajian yang baru. Apa yang sudah ia lakukan merupakan tahap permulaan untuk membuka pintu bagi orang lain untuk mengkaji lebih banyak dari warisan budaya Indonesia yang kaya. “Sebenarnya ini adalah suatu bidang yang begitu menarik karena masih banyak yang belum dikaji, banyak sesuatu yang baru. Misalnya tentang cap atau stempel dengan tulisan aksara Arab, tapi banyak juga cap Jawa. Saya hanya menganggap diri saya pada tahap permulaan, dan semoga membuka pintu bagi orang lain untuk mendalaminya. Masih banyak sekali yang belum disentuh dan dibaca,” kata Annabel.

“Indonesia memiliki warisan kebudayaan yang begitu kaya, begitu banyak, dan begitu membanggakan bagi setiap orang Indonesia. Dan karena begitu banyak, kadang-kadang kita perlu membuka mata, melihat, menilai, mendalami, dan mengapresiasikannya. Saya begitu senang menjadi orang yang pertama membuka karya buku atau naskah yang belum pernah diteliti selama 100 tahun dan belum pernah dihargai. Saya kira untuk anak muda Indonesia, di lingkungan sekitar mereka pasti ada sesuatu yang indah dan bersejarah tapi belum dihargai dan mendapat penghargaan sepatutnya. Maka, fokuskanlah pada hal yang indah itu dan buat hal itu menjadi sumber belajar,” pesan Annabel.