KONTEMPLASI : SEDALAM APAKAH PEMAHAMAN KITA TERHADAP UU CAGAR BUDAYA?

0
2103

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya atau yang lebih sering kita kenal dengan UU Cagar Budaya saat ini sudah berusia hampir 5 (lima) tahun sejak disyahkan pada tanggal 24 November 2010 silam. Undang-undang ini merupakan suksesor atau pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992  tentang Benda Cagar budaya, setelah kurang lebih 18 tahun menjadi payung hukum pelestarian Cagar Budaya di tanah air.

Penggantian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memang sejalan dengan dinamika kemasyarakatan dan reformasi tata pemerintahan paska reformasi tahun 1998 khususnya spirit otonomi daerah atau desentralisasi. Sebelum reformasi tahun 1998 sistem pemerintahan kita bersifat sentralistik atau Jakarta sentris. Seluruh kewenangan dan kebijakan segala bidang pemerintahan secara absolut ada di tangan pemerintah pusat, sedangkan daerah tinggal mengikuti saja alias top down.

Angin segar reformasi mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang titik kulminasinya ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Yang mana undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah mendapat limpahan beberapa kewenangan dari pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut, fungsi dan peran pemerintah pusat selanjutnya adalah hanya sebagai mitra sekaligus fasilitator bagi pemerintah daerah. Dan salah satu kewenangan yang dilimpahkan adalah pengelolaan dan pelestarian Cagar Budaya di daerah. Inilah yang kemudian diakomodir dan dijabarkan dalam ketentuan pasal per pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya sehingga nafas undang-undang ini sangat kental dengan nuansa dan content otonomi daerah.

Kembali ke bahasan awal bahwa usia UU Cagar Budaya sudah hampir 5 tahun, itu berarti waktu kita, para pelestari Cagar Budaya, dalam berinteraksi dengan UU Cagar Budaya juga sudah hampir 5 tahun pula. Dinamika dan tantangan dalam pelestarian Cagar Budaya dilapangan sedemikian banyaknya, apalagi dengan aturan perundang-undangan Cagar Budaya yang baru yang didalamnya banyak perubahan dan perbedaan bila dibandingkan dengan aturan perundang-undangan Cagar Budaya pendahulunya.

Adanya peraturan baru, tentunya membutuhkan pemahaman-pemahaman baru agar bisa mengikuti apa yang dikendaki dan diatur didalamnya secara tepat, konsisten, dan holistik. Pertanyaannya adalah seberapa dalamkah pemahaman kita terhadap UU Cagar Budaya tersebut setelah kurang lebih 5 tahun kita berinteraksi dengannya?

Pengalaman selama ini memberikan gambaran bahwa pemahaman tentang UU Cagar Budaya diantara para pelestari sendiri masih belumlah sama dan satu. Masih terdapat perbedaan persepsi dan tarik ulur penafsiran. Perbedaan persepsi dan penafsiran tersebut, menurut hemat saya,  paling tidak disebabkan oleh 3 (tiga) hal yakni : Pertama, masih terbawa persepsi dan penafsiran lama, persepsi dan penafsiran UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang sentralistik, cenderung hanya mengakomodir kepentingan akademis dan idiologis semata dan menomorduakan kepentingan ekonomis  dari Cagar Budaya, untuk memahami dan mengimplementasikan undang-undang baru  yang bernafas desentralistik dan cenderung akomodatif secara berimbang terhadap 3 (tiga) kepentingan sekaligus : akademis, idiologis, dan ekonomis.

Kedua, tidak membaca, mempelajari, dan memahami aturan UU Cagar Budaya secara utuh dan integral.  Dalam hal ini adalah mengambil dan membaca aturan hanya sepotong-potong, satu pasal atau beberapa pasal saja dan meninggalkan pasal-pasal lain. Padahal pasal-pasal dalam UU Cagar Budaya tersebut saling berkorelasi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga akibatnya membuat rancu, inkonsisten,  dan keliru dalam penarikan premis maupun konklusi.

Ketiga, belum adanya peraturan pelaksanaan dari UU Cagar Budaya. Padahal penjabaran lebih lanjut dan detail dari aturan-aturan UU Cagar Budaya mengharuskan adanya peraturan pelaksanaan baik berupa peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen) sehingga pelaksanaanya di lapangan dapat terarah dan terpadu.

Beberapa contoh yang merupakan representasi dari belum sama dan satunya pemahaman para pelestari terhadap aturan UU Cagar Budaya diantaranya adalah :

  • Perbedaan persepsi dan penafsiran tentang siapa yang berwewenang untuk menetapkan Cagar Budaya. Apakah semata-mata domain pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 17 dan pasal 33-34 UU Cagar Budaya, ataukah boleh lansung pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam pasal 11 dan pasal 36 UU Cagar Budaya?
  • Perbedaan persepsi dan penafsiran dalam memahami pengertian dan urut-urutan antara penetapan dengan pemeringkatan Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam pasal 33 dan pasal 41-48 UU Cagar Budaya. Penetapan dulu baru pemeringkatan ataukah penetapan dan pemeringkatan bisa berjalan secara sendiri-sendiri tanpa saling tergantung satu sama lain dan kewenangan siapa?
  • Perbedaan persepsi dan penafsiran tentang perlakuan pelindungan terhadap benda, bangunan, struktur atau lokasi yang diduga merupakan Cagar budaya sebagaimana di atur pasal 31 ayat 5 UU Cagar Budaya. Apakah dilindungi sebagaimana Cagar Budaya dan sejak kapan perlakuan itu diberikan?
  • Perbedaan persepsi dan penafsiran tentang perijinan penelitian dan tindakan penelitian terhadap suatu Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat 2 UU Cagar Budaya.

Memang harus disadari, perbedaan pemahaman yang berangkat dari perbedaan persepsi dan penafsiran tentang aturan dalam UU Cagar Budaya adalah suatu kewajaran, bahkan suatu keniscayaan. Namun tentunya ini harus diminimalisir karena berimplikasi dalam implementasi UU Cagar Budaya tersebut di lapangan. Kasus perobohan bangunan Pabrik Es Saripetojo di Solo, sengketa pembangunan pabrik baja di Trowulan yang berujung digugatnya keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang penetapan Trowulan sebagai Cagar Budaya Nasional ke PTUN, dan polemik penelitian Gunung Padang kiranya menjadi pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga.

Mudah-mudahan dengan akan terbitnya peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah tentang pelestarian Cagar Budaya dan permuseuman disertai tekad kuat para pelestari untuk mau membaca, mempelajari, dan memahami aturan UU Cagar Budaya secara utuh dan integral, akan bisa memberikan solusi dan keterpaduan pemahaman dan langkah dalam implementasi UU Cagar Budaya ini.(Haryono).

Kontemplasi Pemahaman UU No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya