Interaksi Penghuni Asrama Mahasiswa Dengan Masyarakat Sekitar
Oleh :
Ernawati Purwaningsih
Sindu Galba
Christriyati Ariani
Yogyakarta sering disebut sebagai “Indonesia mini” karena sebagian besar sukubangsa yang ada di Indonesia, ada juga di Yogyakarta. Keberagaman sukubangsa yang ada di Yogyakarta ini, di satu sisi menjadi keunikan dari Yogyakarta. Namun di sisi yang lain, keragaman sukubangsa tersebut menjadi potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak apabila tidak dijaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Citra Yogyakarta sebagai kota budaya, kota wisata, dan kota pendidikan, membawa konsekuensi banyaknya pendatang dari berbagai daerah di luar Yogyakarta dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada yang datang ke Yogyakarta hanya sekedar berwisata, ada yang mencari nafkah, dan ada pula yang menimba ilmu. Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan didukung oleh sejarah pendidikan di Yogyakarta. Keberadaan lembaga pendidikan yang cukup banyak, dari jenjang pendidikan paling rendah hingga jenjang paling tinggi, serta dengan kualitas yang cukup baik sehingga menjadi daya tarik para pelajar dari berbagai pelosok nusantara untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Konsekuensinya di Yogyakarta banyak dijumpai pelajar/mahasiswa dari berbagai daerah dan etnik yang berbeda.
Alasan para pelajar dari berbagai daerah di luar Yogyakarta bermacam-macam. Citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan menjadi salah satu alasan mereka datang ke Yogyakarta. Selain itu, beragamnya disiplin ilmu, meskipun termasuk kota besar, namun masih kental menjaga budayanya, masyarakat Yogayakarta sopan, santun, ramah, biaya hidup di Yogyakarta murah, sarana prasarananya lengkap, aman, dan nyaman.
Asrama tidak saja sekedar untuk menampung mahasiswa untuk sekedar bertempat tinggal, akan tetapi juga sebagai anjungan budaya, tempat bersosialisasi, perwakilan provinsi/kabupaten di Yogyakarta, serta tempat informasi. Keberadaan asrama mahasiswa daerah yang multfungsi tersebut dapat sebagai indikasi bahwa asrama mahasiswa daerah itu diperlukan. Apalagi apabila dalam kehidupan bermasyarakat, terjalin hubungan yang harmonis antara penghuni asrama daerah dengan masyarakat sekitarnya, maka dapat menjadi barometer untuk hidup dalam masyarakat yang beragam.
Citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan, membawa konsekuensi kepada banyaknya para pelajar dari berbagai daerah di Indonesia, datang ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Para pendatang dari berbagai daerah tersebut ketika datang ke Yogyakarta akan membawa budaya dari daerahnya. Tentu saja, ketika pertemuan etnis terjadi, akan ditemui konflik-konflik yang dikarena perbedaan budaya. Persepsi terhadap budaya lain yang berupa stereotipe, terkadang menjadi sumber konflik. Adapun persepsi pendatang terhadap budaya lain (dalam hal ini budaya Jawa, karena mayoritas penduduk Yogyakarta berasal dari suku Jawa) yang bersifat positif adalah orang Jawa (Yogyakarta) itu sopan, santun, ramah tamah, lemah lembut, sederhana, terbuka bagi pendatang. Adapun persepsi terhadap budaya Jawa yang bersifat negatif (stereotipe) yaitu orang Jawa seenaknya sendiri, etnosentris, penipu, membingungkan, tidak suka berterus terang. Meskipun persepsi negatif terhadap orang Jawa muncul dalam pemikiran mahasiswa dari daerah luar Yogyakarta, akan tetapi persepsi yang sifatnya positif lebih menonjol.
Walaupun ada penghuni asrama daerah yang pernah mengalami sikap dan perilaku orang Jawa yang tidak menyenangkan, namun pada umumnya persepsi tentang karakter orang Jawa yang diperoleh di daerah asalnya sesuai dengan kenyataan, yaitu orang Jawa berkarakter positif. Persepsi terhadap orang Jawa yang negatif bersifat individual (tidak mewakili orang Jawa secara keseluruhan). Oleh karena itu, meskipun ada persepsi yang negatif mengenai orang Jawa, akan tetapi tidak menyurutkan para pelajar dari luar daerah Yogyakarta untuk menimba ilmu di Yogyakarta.
Interaksi, baik antara penghuni asrama Rahadi Osman dan asrama lainnya maupun dengan masyarakat sekitarnya terjadi pada kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: hal-hal yang berkenaan dengan identitas diri, pertemuan warga dalam rangka memperingati hari ulang kemerdekaan Republik Indonesia (17-agustusan), kerja bakti, kepengurusan mesjid (At-Tauhid), peringatan hari ulang tahun asrama, dan lain sebagainya.
Interaksi antara penghuni asrama Sriwijaya dengan masyarakat terjalin dengan baik. Interaksi yang selalu dilakukan adalah kerja bakti, ronda malam, dan pertemuan warga. Namun, selain itu, karena asrama Sriwijaya mempunyai arena berupa aula yang dapat dipakai seluruh warga, maka interaksi mereka semakin terjalin. Aula dimanfaatkan untuk kegiatan memperingati HUT RI, tujuhbelasan, untuk tempat pemungutan suara (TPS), syawalan, natalan. Bahkan warga yang mempunyai hajat juga boleh menggunakan aula. Selain itu, aula yang juga untuk lapangan bulutangkis, menjadi arena interaksi antara penghuni asrama Sriwijaya dengan masyarakat sekitar asrama.
Interaksi antara penghuni asrama Bumi Gora NTB dengan masyarakat sekitar asrama terjalin melalui kerja bakti dan arisan. Selain itu, interaksi juga terjalin dengan para penyedia jasa. Demikian pula interaksi antara penghuni asrama mahasiswa dengan masyarakat di daerah lain di asrama Bukit Barisan dan Lansirang.
Jadi, interaksi asrama mahasiswa daerah bentuk interaksinya adalah cooperative (kerjasama). Interaksi yang berbentuk persaingan, apalagi konflik jarang terjadi. Kalaupun terjadi, tidak sampai membesar karena segera didamaikan oleh masing-masing pihak. Jika konflik terjadi antara penghuni asrama yang satu dengan asrama lainnya, maka para pengurus asrama yang mendamaikan. Jika konflik terjadi antara penghuni asrama dan warga masyarakat sekitarnya, maka tokoh masyarakat setempat (RT) dan pengurus asrama yang bersangkutan yang mendamaikannya.
Selengkapnya: Interaksi Penghuni Asrama Mahasiswa Dengan Masyarakat Sekitar, Oleh: Ernawati Purwaningsih, dkk., Cetakan I (vi + 144 hlm; 17 x 24 cm), Diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Tahun 2014.