Serat Angger Pradata Awal Dan Pradata Akir Di Kraton Yogyakarta

0
3710
Buku Serat Angger Pradata Awal Dan Pradata Akir Di Kraton Yogyakarta

Serat Angger Pradata Awal Dan Pradata Akir Di Kraton Yogyakarta

Oleh :

Endah Susilantini

Dwi Ratna Nurhajarini

Suyami

 

Dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Jawa sistem hukum yang berlaku berpusat kepada seorang raja. Dari seorang raja muncul sebuah aturan dan juga hukum. Dalam prakteknya peraturan dan hukuman itu memiliki lembaga yang mengatur jalannya sebuah hukum. Lembaga tersebut adalah sebuah pengadilan, dan pengadilan memiliki sebuah kitab hukum yang dipakai sebagai acuan dan melihat delik-delik hukum.

Hukum yang berlaku di tanah Jawa khususnya di Kasultanan Yogyakarta merupakan modifikasi dari hukum atau peraturan yang berlaku pada masa Kerajaan Mataram. Hal itu terlihat dari Serat Anggerr Pradata Awal dan Angger Pradata Akir yang ternyata sudah ada sejak masa Kerajaan Mataram. Hal itu mengacu pada pada masa tersebut sudah ada Pengadilan Pradata di Kerajaan Mataram. Produk peraturan kerajaan tersebut terus berlaku dan wilayah yuridiksi masing-masing raja. Namun demikian Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun lamanya (1825-1830) membuat beberapa perubahan dalam tata politik dan pemerintahan di praja Kejawen termasuk Kasultanan Yogyakarta.

Kerajaan Kasultanan Yogyakarta lahir karena adanya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755. Perjanjian tersebut dilakukan oleh penguasa Kasunanan Surakarta Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi juga dengan pihak Kompeni yang diwakili oleh Nicholaas Hartingh. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kedua kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta) kemudian mengembangkan sistem hukumnya sendiri dengan mengacu dan memperbarui peraturan yang telah ada sebelumnya. Peraturan atau hukum tersebut tertuang dalam Angger-anggeran (undang-undang), Pranatan (peraturan), maupun perintah. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh raja diberlakukan untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Berbagai peraturan tentang tata kehidupan masyarakat baik yang menyangkut pinjam meminjam, gadai, tolong menolong, pencurian, pagelaran seni (tayub) tertuang dalam sebuah Serat Angger, yang secara khusus ada dalam Serat Angger Pradata Awal dan Angger Pradata Akhir. Serat Angger tersebut memuat tentang hukum material yang terkait dengan hak dan kewajiban subjek hukum. Selain itu juga berisi tentang hukum formil yang mengatur tentang tata cara mengadili. Hal lain yang juga tertuang dalam serat Angger Pradata Awal dan Akir adalah tentang perkara-perkara yang dapat diajukan dalam ranah hukum dan bisa dinaikkan menjadi delik hukum. Serat Angger Pradata Awal dan Akir juga memuat tentang perkara perkara yang berhubungan dengan masalah pidana dan perdata. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam serat Angger pradata Awal dan akir belum ada pemisahan perkara tentang tidak pidana dan perdata seperti yang ada dalam terminologi hukum Barat.

Di dalam sistem peradilan kerajaan, khususnya Kasultanan Yogyakarta terdapat tiga jenis lembaga pengadilan yakni, Pengadilan Pradata Pengadilan Surambi dan Pengadilan Balemangu. Selain menggunakan hukum kebiasaan Jawa atau peraturan yang dibuat langsung oleh raja (baik sunan maupun sultan), semenjak tahun 1847 di wilayah Kerajaan Jawa (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) juga resmi diberlakukan sistem hukum Belanda, bahkan ada beberapa hukum kebiasaan Jawa yang secara langsung digantikan dengan sistem hukum Belanda. Pergantian sistem hukum dari hukum kebiasaan Jawa ke Serat Angger 1865 sistem hukum Belanda diawali oleh adanya perjanjian antara pihak pemerintah kolonial dengan Susuhunan di Surakarta pada tahun 1847, yang mana isi dari perjanjian tersebut dimuat dalam Staatblad van Nederlands Indie tahun 1847 nomor 30. Di tahun yang sama juga keluar beberapa peraturan yang dikenal sebagai jaman Rengeringe Regleemen (RR) yang juga dimuat dalam Staatblad van Nederlands Indie tahun 1847 nomor 23 a.1 tentang Rechterlijke Organisatles (Organisasi Badan-badan Peradilan), pemberlakuan Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), yang dengan keluarnya peraturan tersebut maka resmilah diberlakukannya sistem hukum Belanda menggantikan sistem hukum setempat. Selain itu dengan berlakunya sistem hukum tersebut membuat Angger Pradata Akhir sudah tidak diberlakukan lagi di Kerajaan Jawa. Namun demikian tidak sepenuhnya kemudian berhenti atau tidak berlaku sama sekali karena masih ada kekososngan antara pemberlakuan hukum Barat maka hukum-hukum yang berasal dari masa kerajaan masih dipakai.

Di Yogyakarta sebagaimana telah disebutkan di atas telah ada “Rechtbank voor Criminele Zaken“ atau Pengadilan untuk perkara pidana, yang sebelumnya diurus oleh Surambi dan Pradata.

Dari dokumen yang ada tampak bahwa sejak awal abad XVIII telah ada intervensi dari pemerintah kolonial Belanda dalam sistem hukum di Kerajaan-Kerajaan Jawa. Beberapa putusan (antara lain hukuman mati) harus mendapat izin dari residen. Bahkan peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan oleh kerajaan juga harus disetujui oleh residen. Di samping itu, sesuai dengan konsep kekuasaan Jawa bahwa raja adalah pusat dunia, maka peraturan kerajaan yang dikeluarkan oleh patih tetap dinamakan “atas nama raja” yang berkuasa.

Sultan Hamengku Buwono VI sebagai penguasa kerajaan beberapa kali menyetujui hukum-hukum atau peraturan yang dibuat pemerintah kolonial yang jelas memihak kepentingan kolonial. Di samping itu, untuk Sultan juga membuat penyesuaian antara hukum kolonial dengan hukum yang keluar dari dalam kekuasaannya, sehingga pada masa pemerintahannya sultan juga mengeluarkan hukum baru terkait dengan penyewaan tanah dan pranatan bekel. Peraturan ini dibuat oleh Patih Adipati Danureja atas nama raja dan disetujui oleh Residen Belanda. Sultan Hamengku Bowono VI juga mengeluarkan perintah untuk membuat salinan berbagai undang-undang yang pernah ada dan juga yang masih berlaku di daerah kerajaan. Penyalinan naskah tersebut kemudian di kodifikasi dalam sebuah serat yang bernama Serat Angger. Kodifikasi hukum itu juga pernah dilakukan oleh para penulis Barat guna kepentingan ekonomi dan politik mereka di tanah Jawa.

Serat Angger Perdata Awal maupun Serat Angger Perdata Akir merupakan surat peringatan perundang-undangan tradisional yang dibuat oleh Sultan Hamengku Buwana VI. Surat tersebut diberlakukan setelah terjadinya perjanjian Giyanti Tahun 1755 dan tidak berlaku sebelum terjadinya palihan nagari. Surat perundang-undangan tersebut ditujukan kepada seluruh rakyat di wilayah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dilihat dari isinya ternyata Serat Angger Perdata Akir hanya sebagai pelengkap dari Serat Angger Perdata Awal. Meskipun ada perbedaan tetapi hanya sedikit, misalnya seperti adanya penambahan-penambahan dalam bagian-bagian tertentu yang tidak terdapat dalam Serat Angger Perdata Awal.

Hukum yang diberlakukan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI yang bertahta dari Tahun 1855-1877 adalah hukum Kadanurejan, hukum surambi, hukum perdata, dan hukum pidana yang diberlakukan di kraton Kasultanan Yogyakarta. Di samping itu, juga hukum mancapat mancalima, (perundangan di desa-desa) merupakan hukum yang diberlakukan di pedesaan. Hukum tersebut menangani masalah pencurian, pembegalan, perampokan, pembunuhan di dalam negeri maupun di luar negeri dan sejenisnya, perselisihan, kemudian pembagian warisan, gugat-menggugat dan lapor melaporkan yang terjadi di pedesaan, banyak dimunculkan dalam Serat Angger Perdata Akir.

Masalah kasus-kasus pemerkosaan, penggunaan obat terlarang, perjudian, melakukan pembunuhan juga disebutkan dalam Serat Angger Perdata Awal maupun Serat Angger Perdata Akir yang dilarang oleh Sultan. Bagi yang melanggar undang-undang tersebut akan dikenai sangsi berupa denda, baik denda berupa uang maupun denda berupa hukuman cambuk. Jika pelanggaran yang diperbuat seperti melakukan pembunuhan dan pemerkosaan dianggap berat pelaku dikenai denda, dihukum cambuk dan dibuang ke luar wilayah kerajaan. Khusus pelanggaran berupa melarikan istri orang atau melarikan wanita janda kembang, anak saudara atau gadis diserahkan ke pemerintah. Demikian juga jika diketahui seseorang melakukan pemerkosaan selain dikenai denda berupa uang juga mendapat hukuman cambuk. Oleh karena itu, siapa saja yang melanggar undang-undang juga mendapat sangsi berupa uang denda dan hukuman. Terlebih lagi bagi pelaku perkosaan dan perzinahan kecuali mendapatkan hukuman denda juga mendapat hukuman cambuk dan dibuang ke luar wilayah kerajaan.

Sultan juga membuat perundangan tentang masalah pelarangan perjudian seperti adu ayam, bermain dhadhu, keplek, kecer adu jangkrik dan sejenisnya. Apabila terjadi keributan dalam arena perjudian sehingga menyebabkan ada yang terluka atau meninggal harus dinaikkan ke perdata. Adipati Danureja mendapat mandat agar segera menyerahkan kejadian tersebut ke pemerintah. Demikian juga pihak yang mengadakan arena perjudian dikenai denda secukupnya

Bagi rakyat yang bermasalah dengan sesama atau pun dengan orang-orang kulit putih seperti Belanda atau pun Cina harus diselesaikan pada waktu kraton mengadakan Upacara Garebeg Mulut. Hal itu karena pada saat upacara garebeg dijadikan sebagai arena berkumpul, baik rakyat kebanyakan, pejabat pemerintah maupun para pejabat kerajaan. Dalam pertemuan tersebut rakyat diberi kesempatan oleh Sultan untuk bermusyawarah dan menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.

Masalah hutang-pihutang, pinjam-meminjam, gadai menggadaikan, titip-menitipkan harus dilengkapi dengan tanda bukti berupa pegangan surat, saksi dan cap. Bagi yang tidak mengindahkan peringatan tersebut jika sampai berperkara, sehingga terjadi perselisihan atau pertengkaran dan yang tergugat maupun yang menggugat saling berselisih, gugatan dianggap tidak sah. Apabila ada yang terluka bahkan meninggal dunia, dan ahli warisnya ada yang menggugat, gugatannya dianggap tidak sah atau gugur.

Sultan juga memberi sanksi kepada rakyat (orang desa) jika sampai membekukan kejadian penganiayaan atau membekukan kejadian pembunuhan tetapi tidak bersaksi ke perdata hingga melewati batas yang ditentukan, akan mendapatkan hukuman denda. Di samping itu, Sultan juga membuat surat peringatan ditujukan kepada para pejabat desa yang mendapatkan tanah pelungguh. Jika tanah pelungguh digadaikan, sebelum jabatannya berakhir surat harus ditebus untuk dikembalikan lagi kepada pemerintah apabila jabatannya telah berakhir. Pemberian tanah pelungguh hingga sekarang masih diberikan kepada perangkat desa seperti lurah dan dukuh. Peringatan perundang-undangan yang dibuat oleh Sultan hingga sekarang sebagian masih berlaku di pemerintahan. Contohnya lurah dan Dukuh mendapatkan gaji dari Sultan berupa tanah bengkok atau pelngguh, yang boleh dikelola jika mereka masih aktif sebagai perangkat desa.

Rakyat yang berlaku dagang, jika bermalam diseyogyakan untuk singgah di rumah perangkat desa, seperti di rumah lurah atau jabatan di bawahnya. Jika lurah sedang bepergian atau tidak berada di rumah, Kamituwa ditunjuk untuk menggantikan kedudukan lurah dan mempunyai tanggungjawab akan keselamatan rakyat yang menginap. Sampai sekarang meskipun tidak tertulis undang ini masih berlaku, di mana rumah dukuh maupun lurah menjadi tempat menginapnya orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Bagi rakyat yang memelihara binatang piaraan seperti kuda, kambing, lembu atau kerbau jika sampai terlepas dan menyeruduk orang hingga terluka atau meninggal, pemilik dikenai denda, jika tidak dapat membayar denda akan mendapatkan hukuman cambuk. Akan tetap, jika binatang piaraan diganggu orang hingga terlepas dari ikatan, kemudian menyeruduk orang hingga terluka atau mati, jika ahli warisnya menggugat gugatannya tidak disetujui karena kesalahannya sendiri. Binatang tersebut boleh diperebutkan secara beramai-ramai.

Larangan mengenai pertunjukan Tayub sudah dibuatkan undang-undang. Sultan tidak memperkenankan pertunjukan tayub diselenggarakan di malam hari. Jika dalam pertunjukan tersebut terjadi kegaduhan, saling berantem sehingga ada yang terluka atau meninggal, yang menanggap tayub dikenai denda. Pertunjukan tayub hanya diperbolehkan untuk meramaikan hajadan pernikahan, khitanan, nadzar atau menujuh bulan kehamilan. Selain itu pertunjukan dengan menanggap penari tayub tidak diperbolehkan, terlebih jika disertai dengan menenggak minuman keras dan sejenisnya.

Masalah hukum yang berkaitan dengan gugat-menggugat dan sejenisnya baik yang terdapat dalam Serat Angger Perdata Awal maupun Serat Angger Perdata Akir sudah dibuatkan undang-undang oleh Sultan. Barang siapa yang berani melanggar aturan hukum perdata, pindana, surambi dan Kadanurejan yang ada dan dijalankan tidak melewati jalan yang sudah ditentukan akan dikenai sanksi, baik sangsi berupa uang denda maupun sanksi berupa hukuman cambuk.

Dengan melihat isi dan pembukaan pada Serat Angger Pradata Awal dan Akhir, maka dapat dilihat fungsi undang-undang pada masa kerajaan. Fungsi tersebut adalah untuk membuat tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat berjalan sesuai aturan yang diidealkan. Hukum atau peraturan untuk berbuat adil diterapkan untuk semua lapisan masyarakat, baik rakyat, abdi dalem maupun sentana dalem. Orang yang melanggar peraturan akan mendapatkan sangsi atau hukuman baik berupa denda uang; tenaga; maupun hukuman fisik seperti dicambuk, atau bahkan dibuang ke daerah lain.

Serat Angger Pradata berlaku untuk menangani perkara-perkara pidana dan perdata. Dalam serat tersebut tersurat bagi warga yang tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongan, maka orang atau desa itu dapat dikenai sangsi. Gotong-royong dan saling membantu tersurat dalam bagian yang membahas mancapat mancalima. Bahkan ada pasal yang mengatur tentang abdi dalem (lurah atau bekel) yang menghambat dan menghalangi persidangan, dianggap telah melawan pemerintah (kerajaan) dan bisa diajukan ke pengadilan.

Selengkapnya: Serat Angger Pradata Awal Dan Pradata Akir Di Kraton Yogyakarta, Oleh: Endah Susilantini, dkk., Cetakan I (vi + 144 hlm; 17 x 24 cm), Diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Tahun 2014.

unduh buku digital