Candisingo merupakan nama dari sebuah padukuhan yang ada di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan. Nama padukuhan ini berasal dari keberadaan temuan candi yang dikenal dengan nama Candi Singo. Berdasarkan laporan dari masa Hindia Belanda, keberadaan candi Singo, tidak bisa dilepaskan dari dua candi lain yang letaknya berdekatan, yaitu Candi  Keblak dan Candi Bubrah.

     J.W. Ijzerman dalam buku Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) menyebut jika Candi Singo merupakan bagian dari 3 candi yang disebut Candi Joboan. Candi Joboan terdiri dari Candi Keblak, Candi Bubrah dan Candi Singo. Letak ketiganya berurutan dari arah utara ke selatan. Candi Keblak berada sekitar 400 meter di sebelah timur dari Batu Gudik.

     Sementara jarak candi Keblak dan candi Singo sekitar 700 meter. Saat dikunjungi Ijzerman, candi-candi tersebut kondisinya runtuh. Maka deskripsi yang ditulis Ijzerman pun didasarkan atas tulisan J.F.G. Brumund pada bukunya Indiana II yang terbit pada tahun 1854.

Candi Keblak (Geblak)

     Pada kunjungannya tersebut, Brumund menyebutkan jika bangunan candi Keblak masih tersisa separuh dari ukuran tinggi pintu masuk. Bangunan candi menghadap ke barat. Pada saat J.W. Ijzerman berkunjung, ditemukan ada bagian candi berupa alas yang dihias.  Sementara Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst (ROD) in Nederlandsch-Indie (1915) menyebutkan jika kondisi candi tersebut saat itu sudah tertutup perkebunan tebu.

     Sebuah cerita menarik juga disampaikan oleh Ijzerman. Saat rombongannya mengunjungi candi ini, mereka menemukan warga desa sedang memotong batu candi untuk digunakan sebagai batu nisan. Saat kegiatan itu dilakukan tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh tuan tanah.  Nampaknya tanah tersebut masih menjadi milik masyarakat.

     Catatan Brumund menunjukkan intepretasi tentang penamaan Keblak oleh masyarakat. Brumund menyebutkan jika nama Keblak berasal dari kata Kokokblok  (burung hantu, Bahasa Jawa). Hiasan berupa Kokokblok ini nampaknya pernah ditempatkan di candi ini. Maka masyarakat kemudian menyebutnya candi Keblak.

Candi Bubrah

     Candi Bubrah berada di tengah-tengah persawahan tegal. Berbeda dengan candi Keblak, candi ini sudah benar-benar runtuh pada pertengahan abad 19. Brumund menuliskan jika di tanah tersebut, hanya tersisa sejumlah batuan dan dua yoni yang terpendam. Sebaran batuan yang terpendam di sekitar lokasi candi ini sangat banyak.

     Tanah ini memang sengaja dibiarkan tidak dibajak, sebab bajak dan sekop yang digunakan bisa menghantam batu di mana-mana. Sementara arca Siwa dan dua arca Ganesha yang sedikit rusak dari reruntuhan candi ini sudah diamankan ke Tandjoeng Tirto. Arca-arca tersebut berukuran sedang.

Candi Singo

     Deskripsi tentang bangunan Candi Singo ditulis Brumund dalam Indiana II (1954). Deskripsi ini menurut Ijzerman merupakan satu-satunya deskripsi yang mampu menggambarkan kemegahan Candi Singo. Maka deskripsi dari Brumund ini menjadi rujukan dari tulisan Ijzerman dan ROD. Candi Singo merupakan candi yang paling besar dan megah dibanding kedua candi sebelumnya, Candi Keblak dan Candi Bubrah.

     Sesuai dengan namanya, candi ini memiliki empat singa. Singa-singa ini dipasang pada keempat sudut utama.  Masing-masing setinggi delapan kaki. Singa-singa itu berdiri, hanya dengan kuku kaki belakang dan kepala menempel ke belakang. Seolah mereka menopang bangunan. Brumund sendiri terpesona melihat singa tersebut. Tubuh, telapak, kuku-kuku, surai, bagian kepala dan mata yang menatap serta mulut yang terbuka lebar.  Brumund menyebutnya sebagai karya dari seniman yang sangat terampil.

     Berdasarkan catatan Brumund dan Ijzerman, ketiga candi tersebut memiliki latar keagamaan yang sama yaitu Hindu. Keberadaan temuan Yoni, arca Siwa, Ganesa menjadi bukti dari pendapat ini.

Dataran Sorogedug

     Ketiga candi tersebut berada di Dataran Sorogedug (Vlaakte van Sorogedoeg). Dataran ini ada di sebelah selatan dari Prambanan. Catatan Ijzerman maupun N.J. Krom mengonfirmasi banyak temuan bangunan candi di kawasan ini. Banyak dari temuan tersebut yang sudah hilang maupun runtuh.

     Ijzerman menyebutkan memang sejak abad 19, eksistensi bangunan peninggalan purbakala telah berhadapan dengan ancaman perusakan oleh manusia. Batu-batu berpotongan  halus dari atap dan tembok candi digunakan sebagai bahan konstruksi jembatan dan jalan-jalan penghubung.

     Ada juga batu-batu yang digunakan untuk pondasi rumah dan pabrik. Bahkan beberapa juga digunakan  untuk penutup dan nisan kuburan. Sementara arca-arca yang ditemukan di sekitar candi, yang sudah tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan, mulai digunakan untuk kepentingan lain. Mereka  digunakan sebagai hiasan yang cocok untuk taman dan halaman.

     N.J. Krom dalam Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920) menyebutkan banyak bangunan purbakala yang berada di Dataran Sorogedug ini  yang sudah runtuh dan tidak diketahui jejaknya. Beberapa di antaranya memang dibangun menggunakan bahan yang kurang tahan lama.

     Krom juga mengungkapkan fakta lain tentang runtuhnya bangunan candi di kawasan tersebut. Pembangunan menjadi salah satu penyebabnya. Pada tahun 1909, sisa-sisa bangunan terakhir di kawasan ini dikorbankan untuk pembangunan bendungan.

Epilog

     Ketiga candi tersebut saat ini  berada dalam keadaan yang berbeda. Candi Keblak masih menyisakan yoni yang terpendam dan sejumlah temuan lepas. Nama candi Keblak masih dikenali oleh masyarakat saat ini. Lokasinya di Kalurahan Bokoharjo. Sementara Candi Bubrah telah hilang jejaknya sama sekali.

     Candi Singo juga sudah tidak ditemukan jejaknya. Candi ini hanya menyisakan sejumlah batu penyusun candi. Lokasi mereka pun tersebar di rumah-rumah penduduk. Nama Candi Singo masih tersisa dan menjadi nama sebuah padukuhan, Candisingo. Padukuhan Candisingo berada di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman.

     Berdasarkan deskripsi yang dibuat oleh Brumund, nampaknya candi Singo paling jelas dan bisa dibayangkan dalam benak pembaca. Pembaca bisa membayangkan kemiripannya dengan Candi Ngawen yang berada di Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini juga memiliki singa di keempat sudut utama. Meski kemungkinan terdapat perbedaan ukuran singa yang dimaksud. Ukuran bangunan dan orientasi keagamaan dari bangunan candi bisa jadi berbeda. Candi Singo berdasarkan catatan Brumund merupakan bangunan suci untuk agama Hindu. Sementara candi Ngawen merupakan bangunan suci untuk agama Budha.

     Hilangnya jejak dari sejumlah candi seperti uraian di atas, memang menyedihkan. Ini karena mereka adalah artefak yang menandai kehadiran sebuah peradaban di masa lalu. Tulisan ini berupaya menyajikan deskripsi tentang ketiga candi yang hilang tersebut. Deskripsi ini berdasarkan dari laporan yang ditulis pada masa Hindia Belanda.

      Meski artefaknya telah hilang tanpa jejak, catatan tertulisnya seharusnya tetap abadi dan bisa tersampaikan pada masyarakat.

Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.

Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum

di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta