STUDI PENCAGARBUDAYAAN PURA DALEM BALINGKANG, DESA PINGGAN, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

0
9164

Pendahuluan

Bal 1Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemaknaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan.

Salah satu aspek yang mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah adalah perlindungan dalam rangka pelestarian cagar budaya. Hal ini tercermin dari terbitnya UU RI No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya., pembentukan unit pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah Balai Pelestarian Cagar Budaya sebagai pengelola cagar budaya di masing-masing wilayah kerja.

Dewasa ini tinggalan arkeologi atau purbakala sangat terancam kelestariannya karena pengaruh global yaitu digunakan sebagai objek pariwisata serta lingkungan sekitar situs tersebut banyak yang dimanfaatkan untuk membangun fasilitas pariwisata seperti hotel, penginapan, rumah makan  dan lain sebagainya.

Salah satu situs yang terancam kelestariannya adalah: Situs Pura Dalem Balingkang yang berada di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Sehingga situs tersebut perlu mendapatkan penanganan lebih lanjut guna menjaga kelestariannya dari kerusakan dengan melakukan upaya-upaya perlindungan dalam rangka pelestarian sesuai dengan mandat Undang – undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Melalui salah satu program kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya yaitu melalui studi Pencagarbudayaan.

Kegiatan Studi Pencagarbudayaan Situs Pura Dalem Balingkang dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap situs yang mengandung cagar budaya beserta lingkungannya melalui penetapan serta penentuan situs tersebut.

Adapun tujuannya adalah menjaga kelestarian situs dan lingkungannya dari kemungkinan adanya ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh manusia terkait dengan pemanfaatannya atau penggunaannya yang tidak sesuai dengan aturan yang tertuang dalam UU RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

bal 5Kegiatan Studi Pencagarbudayaan Situs Pura Dalem Balingkang dilaksanakan oleh sebuah tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali dengan susunan sebagai berikut:

  1. I Dewa Gede Maruti, SH (Ketua Tim)
  2. Kadek Yogi Prabhawa, S.S (Pengumpul data akeologi/lingkungan)
  3. Anak Agung Raka (Juru peta)
  4. I Gusti Karang Putra (Juru gambar)
  5. I Wayan Puntiana (Juru foto)
  6. I Komang Sumardi (Pembantu)
  7. I Dewa Gede Pariasa (Pembantu)

 

Situs Pura Dalem Balingkang

bal 2Situs Pura Dalem Balingkang secara administratif terletak di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pura ini dapat dicapai dengan menelusuri jalan raya jurusan Bangli-Singaraja, setelah sampai di Pura Penulisan, Desa Sukawana, di Sebelah timur Pura Penulisan terdapat jalan yang menuju Desa Pinggan, setelah menempuh jarak kurang lebih 10 km maka sampailah di Situs Pura Dalem Balingkang.

Pura dibangun di daerah pegunungan pada sebidang tanah datar dengan luas 17 Ha dengan ketinggian dari permukaan laut ± 1300 meter, dengan posisi berada di barat laut Gunung Batur. Tanah areal Pura dikelilingi jurang yang disebut “jurang melilit”. Di sebelah utara Pura terdapat tanah perbukitan disebut bukit bubung, merupakan areal pembatas antara daerah Kabupaten Bangli dengan Kabupaten Buleleng. Di sebelah utara daerah perbukitan tersebut, terdapat beberapa desa yaitu: Sambirenteng, Panuktukan, dan Tejakula termasuk wilayah Kabupaten Buleleng.

Situs Pura Dalem Balingkang memiliki batas-batas yaitu:

  • Barat : Desa Sukawana
  • Timur : Desa Pinggan
  • Selatan : Gunung
  • Utara : Desa Siakan

Data Sejarah yang berkaitan dengan Situs Pura Dalem Balingkang, berupa bangunan-bangunan kuno, arca-arca kuno, maupun data prasasti sampai saat ini belum ditemukan. Satu-satunya sumber yang mengurai tentang Situs Pura Dalem Balingkang, hanya dapat diketahui melalui hasil wawancara berupa cerita rakyat (legenda).

Dalam legenda disebutkan, bahwa Situs Pura Dalem Balingkang, merupakan sebuah istana kerajaan pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dengan pusat istana kerajaan berada di Desa Sukawana yaitu di sekitar bukit Panerajon (Penulisan).

Pembuatan istana kerajaan yang sekarang disebut Pura Dalem Balingkang, disebabkan kesalahan Raja Jayapangus mengawini seorang putri Cina tidak mendapat restu sang raja (ayahnya). Akhirnya Raja Jayapangus diusir dari Istana Kerajaan Panerajon dan kemudian mendirikan istana di dekat Desa Pinggan yang disebut Pura Jero Dalem Balingkang.

Berdasarkan legenda Pura Dalem Balingkang dikaitkan dengan keberadaan bekas peninggalan keratin Bali Kuno, dari masa pemerintahan Raja Jayapangus. Sebagai pembuktian dari legenda itu, untuk menelusuri tentang pusat keraton Bali Kuno berdasarkan data berupa prasasti atau data yang lain. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang berangka tahun antara 804 hingga 864 Ҫaka, ada tertulis nama keratin Singha Mandawa. Bila diperhatikan, kata Mandawa itu berasal dari kata Mandapa yang artinya istana. Tulisan huruf Pa itu hampir sama dengan Wa pada huruf Bali, dengan demikian kata Singha Mandawa berarti keraton singha. Kata Singha itu tertera pada Tugu Blanjong (Prasasti Blanjong) berangka tahun 835 Ҫaka. Pada prasasti Blanjong terbaca Singha Dwara, yang berarti: Dwara sama dengan pintu pelabuhan, Singha sama dengan keraton singha, secara lengkap diartikan pintu masuk kerajaan Singha Mandawa dengan demikian  antara kata Singha Mandawa dan Singha Dwara itu memang ada hubungannya, bahkan merupakan sebuah kerajaan, sangat disayangkan di dalam prasasti tidak ada menyebutkan tentang letak kerajaan yang dimaksud atau lokasi kerajaan tersebut (Pandit Shasri, 1963: 23-24).

bal 3Terkait dengan lokasi kerajaan tersebut, ada pendapat yang mengatakan bahwa Singha Mandawa itu terletak di daerah kintamani (Danau Batur) sampai sanur (Blanjong), di sekitar daerah Tampaksiring dan Pejeng atau diantara aliran sungai Petanu dan Pakerisan (Bambang Sumadio, 1984: 284). Saying sekali pendapat itu tidak disertai dengan uraian yang lebih mendetail dan menganggap pusat kerajaan itu menetap terus menerus pada satu tempat.

Kemungkinan lainnya lokasi pusat kerajaan pada masa Bali Kuno ditelusuri ke daerah pedalaman atau agak jauh dari pantai, karena berdasarkan data prasasti, kerajaan pada masa Bali Kuno cenderung pemerintahannya berorientasi dalam bidan agraris. Dapat diperkirakan bahwa pada mulanya pusat kerajaan zaman Bali Kuno (Singha Mandawa) itu adalah sekitar daerah penulisan. Perbukitan Penulisan dan daerah sekitarnya banyak terdapat peninggalan purbakala, yang tersimpan pada beberapa pura. Salah satu pura diantaranya bernama Pura Dalem Balingkang yang secara etimologi berarti kata Pura dapat diartikan istana, Dalem berarti Raja, Bali adalah Pulau Bali, dan kata kang berarti Raja, secara keseluruhan Pura Dalem Balingkang bisa berarti istana raja-raja Bali (Weda Mahendra, 1987: 32). Nama Keraton Balingkang tersebut di dalam lontar Usana Bali sebagai berikut: Hana malih Kang Jumeneng Ratu ring Bali, Ikanang Cinarita Ratu Jayapangus Pinahang Rumuhun. Wus Pegat Samangkana, Malih Ratu Daitya Jumeneng Ring Balingkang.

Artinya: Ada lagi yang bertahta menjadi Raja di Bali, diceritakan Raja Jayapangus bertahta lebih dahulu. Setelah itu lalu Raja Daitya bertahta di Balingkang. Data dalam Usana Bali tersebut memberi petunjuk di Desa Pinggan, Kintamani, terdapat sebuah pura yang oleh masyarakat disebut Pura Dalem Balingkang, atau juga disebut Pura Dalem Jero Balingkang. Kata jero berarti tempat tinggal raja, sehingga kemungkinan kata Balingkang yang disebut pada Usana Bali, terletak di Pura Dalem Balingkang yang ada sekarang. Raja Balingkang mempunyai kota pelabuhan di pantai utara Buleleng pesisir seperti Desa Menasa dan Julah.

Berdasarkan sumber prasasti , dapat memperkuat dugaan bahwa pada awal abak ke-9 Masehi daerah Kintamani merupakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuno. Prasasti tertua dari tahun 882 Masehi menyebutkan nama tempat Bukit Cintamani mmal, uraian di atas dapat memperkuat dugaan bahwa sekitar abad ke- 8-9 Masehi pusat pemerintahan terletak di sekitar Kintamani atau mungkin di sekitar Pura Dalem Balingkang di Desa Pinggan (Ardana: 1983: 3). Kemungkinan setelah itu, pusat kerajaan pindah ke daerah Pejeng dan letaknya di arah sebelah barat laut lokasi sekarang berupa areal persawahan ± seluas 14 Ha. Areal persawahan yang dimaksud bernama Jero Agung. Jero Agung berasal dari kata Jero berarti istana dan Agung berarti besar. Nama Jero Agung mengandung arti Istana besar. Kemudian pusat kerajaan ini pindah ke Bedahulu, selain ditunjang oleh peninggalan arkeologi, pendapat ini diperkuat pula dengan data sebuah pura bernama Jero Agung yang berada di Pejeng. Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa perpindahan pusat kerajaan kuno di Bali berlangsung dari arah utara ke selatan dan kemungkinan besar paling lama di Pejeng. Berpindah-pindahnya pusat kerajaan terjadi pula pada zaman Bali Madya yaitu di Samprangan kemudian pindah ke Gelgel, dan terakhir ke Klungkung (Weda Mahendra, 1987: 32-33).

Di Pura Dalem Balingkang terdapat juga terdapat pengaruh kebudayaan Cina, beberapa unsur pengaruh kebudayaan Cina di Bali, tampak dalam beberapa hal, yaitu dalam seni tari, terdapat jenis tari yang disebut Baris Cina dan Barong Landung, disamping itu dikenal pula uang kepeng, sebagai alat pembayaran yang sah pada masa Bali Kuno.

  1. Baris Cina merupakan salah satu jenis tari baris yang tergolong asing, jika dibandingkan dengan jenis-jenis baris yang lainnya seperti baris tombak, presi, jojor, panah, dapdap, dan beberapa jenis yang lain lagi. Tari baris ini, tergolong jenis tarian sakral yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Penari-penari Baris Cina membawa senjata pedang, penarinya terdiri dari 9 orang penari,pimpinan penari menunjukkan tipe tarian semacam bela diri Cina, yang disebut unto. Pakaian penari berwarna hitam dan putih serta berbentuk pakaian Cina, baik bajunya, seluar, penyambungan, dan peci. Baris diiringi dengan gambelan gong beri, yaitu semacam gambelan Cina yang datar.
  2. Barong Landung merupakan cerita tentang perkawinan Raja Bali  dengan putri Cina yang bernama Kang Cing Wi kemudian disimboliskan ke dalam tarian Barong Landung. Barong Landung yang laki-laki berpakaian  dan berkulit hitam adalah gambaran dari Raja Bali, sedangkan Barong Landung wanita sering disebut Jero luh menggambarkan putri Cina yang berkulit putih, berparas cantik dengan mata sipit.
  3. Uang Kepeng, tersebarnya uang kepeng di Bali diduga bersamaan dengan datangnya pengaruh Cina melalui perdagangan. Bersamaan dengan beredarnya uang kepeng, terbawa pula ke Bali barang-barang porselin, kain sutra dan lain-lainnya. Akhirnya uang kepeng menjadi terkenal dan merupakan alat pembayaran yang sah pada zaman kerajaan. Untuk perkembangan selanjutnya uang kepeng juga difungsikan sebagai sarana upacara. Berdasarkan bukti prasasti Bali Kuno diduga pada awal abad ke-9 Masehi, pemakaian uang kepeng telah dikenal di Bali.

bal 4Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar, menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat, Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar merupakan tempat suci untuk memuja  arwah putri Cina (Kang Chi Wi) istri Raja Jayapangus. Di lihat dari segi nama dengan adanya sebutan Subandar kemungkinan yang dimaksud adalah Syahbandar.

Kata Syahbandar berasal dari bahasa Parsi, yang terdiri dari kata Syah dan Bandar. Syah berarti yang dipertuakan atau raja, sedangkan Bandar berarti pusat perdagangan  di pelabuhan yang berhubungan dengan perdagangan melalui laut, danau, dan sungai (Poebatjaraka, 1975: 71).

Beberapa pura di Bali yang memiliki pelinggi Ratu Subandar adalah Pura Ulun Danau Batur, Kintamani; Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan Kintamani; Pura Penulisan, Sukawana Kintamani; Pura Negara Gambar Anglayang, Kubutambahan Buleleng; Pura Besakih dan Pura Silayukti, Karangasem. Menurut tradisi, Pelinggih Ratu Syahbandar pada beberapa pura tersebut di atas, dianggap sebagai simbol laut atau air dalam lintasan perdagangan, sedangkan simbol perdagangan melaui daratan disebut Ratu Ulang Alu demikian pula halnya Ratu Subandar atau Syahbandar di Pura Dalem Balingkang dianggap sebagai lambing Putri Cina yang kawin dengan Raja Balingkang sebagai simbol daratan (Wardha, 1983: 627).

Lebih lanjut kalau ditelusuri tentang fungsi Syah Bandar kiranya ketujuh buah prasasti yang bertipe Yumu Pakatahu yang telah dicatat oleh Dr. Goris cukup memberi bukti-bukti tentang fungsi Syahbandar yaitu: 1. Membentuk peraturan; 2. Kekuasaan mengadili; 3. Polisional dan; 4. Administrasi (Poetjaraka, 1975: 74).

Seperti telah disinggu di atas, hubungan perdagangan utara-selatan di daerah Bali melalui Kintamani sudah terjadi sekitar abad ke-8 Masehi, dengan memakai kuda sebagai alat angkutan. Ini diketahui dengan adanya istilah nyakan asba tangkalik seperti disebut dalam prasasti Sukawana A1. Istilah teknis bagi pedagang disebut: wanigrama, wanigrami, rupanya mereka melakukan perjalanan di daerah pegunungan/perbukitan Kintamani yang disebut anak antar jalan katba kadahulu, yang kemudian dalam perkembangan tradisi setempat dianggap Ratu Alang-alu.

Istilah teknis untuk pengangkutan melalui air, sering disebut lancing, bantil, perahu, jong, bahitra, sedangkan bagi pedagang dan sudagar disebut baniaga Mereka itulah melakukan perdagangan kapas  dibawah pengawasan Nyakan Kapas ke tempat-tempat seperti Les, Peminggir, Hiliran, Buhun Dalem, Julah, Purwasidi, Indrapura, Bulihan dan Manasa. Selain kapas penduduk Kintamani juga mempedagangkan kasumba, berambang merah, berambang putting, dan jamuju ke tempat-tempat tersebut di atas.

Dari uraian tersebut di atas dalam aktifitas perdagangan dan komoditi kapas, timbul suatu pertanyaan, di mana pedagang-pedagang kintamani membeli kapas untuk diperdagangkan ke daerah-daerah Bali Utara. Dari prasasti Sukawana D, yang berangka tahun 1300 Masehi dapat diketahui bahwa pohon kapas banyak terdapat dan tumbuh disebelah timur Desa Sukawana yaitu Panusuran dan Balingkang (“…inganya kangin, anggan panusuran karommikapas pabatasan ning Balingkang”), sehingga kiranya tidak salah kalau dikatakan bahwa penduduk Desa Kintamani membeli kapas dari desa tersebut, untuk diperdagangkan ke daerah Bali Utara. Dugaan ini diperkuat oleh prasasti yang dikeluarkan oleh Kbo Parud, yang membatasi perdagangan kapas kepada penduduk desa di Sukawana yaitu, hanya ½ pikulan atau hanya satu junjungan saja, dan kalau melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan, barang dagangannya dapat disita/diambil (Wardha, 1983: 626).

bal 6Data kepurbakalaan yang berkaitan dengan Pura Dalem Balingkang, berupa bangunan-bangunan kuno, arca-arca kuno, maupun data prasasti sampai saat ini belum ditemukan. Sumber yang menguraiakan tentan Pura Dalem Balingkang berupa cerita rakyat (legenda). Melihat bangunan pelinggih di Pura Dalem Balingkang, seperti meru dan pelinggih yang lain dan beberapa palinggih yang menurut kepercayaan masyarakat setempat dikaitkan dengan tokoh Raja jayapangus dan istrinya (putri cina) yaitu meru tumpang 11 dipergunakan untuk memuja Raja Jayapangus dan Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar untuk memuja istrinya seorang putri Cina yang bernama Kang Chi Wi.

Sesuai dengan pengumpulan data di lapangan, di Pura Dalem Balingkang terdapat pintu masuk berupa Paduraksa yang berbentuk sebuah bangunan beratap ijuk dengan kerangka atap dan daun pintu dari kayu jati. Daun pintu peletasan ini berisikan hiasan ukiran berbentuk patra cina. Menurut informasi dari pendeta (mangku) I Nengah Kandi dari Pura Dalem Balingkang pada gedong pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar terdapat batu alam yang berbentuk seperti alat kelamin perempuan yang diperkirakan batu tersebut adalah yoni.

Pura Dalem Balingkang merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat yang terletak di Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhawa-Nya. Di Pura Dalem Balingkang terdapat akulturasi budaya Hindu dengan budaya Tionghoa. Dengan bukti adanya bangunan suci Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar sebagai tempat pemujaan warga keturunan Cina dan umat Hindu pada umumnya. Fenomena ini belum dipahami secara jelas oleh masyarakat Hindu, sehingga perlu diadakan penelitian secara mendalam.

Eksistensi Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang merupakan bangunan suci untuk memuliakan atau memuja permaisuri kedua Sri Haji Jayapangus. Yaitu Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We yang berasal dari Cina. Struktur Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar berbentuk gedong memiliki tiga bagian yaitu bagian dasar, bagian badan, bagian atas atau atap. Pemuja Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yaitu desa-desa yang menjadi anggota Banua Kanca Satak, Desa Panyucuk, warga keturunan Cina, dan umat Hindu pada umumnya. Piodalan pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar bersamaan dengan piodalan di Pura Dalem Balingkang yaitu Purnama Kalima, yang secara langsung dipimpin oleh Pemangku Pamucuk Pura Dalem Balingkang. Mantra yang digunakan pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar disebut dengan istilah Puja Sana.

Palingih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang mempunyai fungsi religi yaitu meningkatkan sradha dan bhakti. Fungsi sosial yaitu dapat meningkatkan persatuan serta terjalinnya hubungan yang harmonis. Fungsi akulturasi yaitu kebudayaan baru dalam bentuk bangunan, sarana upacara dan seni tari. Fungsi kerukunan yaitu meningkatkan kerukunan umat beragama Hindu dengan umat yang beragama Buddha. Dan fungsi ekonomi sebagai tempat bagi umat untuk memohon kelancaran dalam setiap usaha yang dimilikinya. Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang juga memiliki makna tattwasusilaupakara dan makan teologi. Makna teologi yang terkandung pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yaitu sebagai tempat untuk memuja roh suci leluhur dan sinkretisasi Śiwa-Buddha tampak dari adanya tempat pemujaan untuk Dewa Śiwa dan Buddha di Pura Dalem Balingkang.

Sesuai dengan hasil pengamatan di lapangan, di Pura Dalem Balingkang, melihat bangunan pelinggih di Pura Dalem Balingkang, seperti meru dan pelinggih yang lain dan beberapa palinggih yang menurut kepercayaan masyarakat setempat dikaitkan dengan tokoh Raja jayapangus dan istrinya (putri cina) yaitu meru tumpang 11 dipergunakan untuk memuja Raja Jayapangus dan Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar untuk memuja istrinya seorang putri Cina yang bernama Kang Chi Wi.

Selain data berupa meru tumpang 11, sebagai pelinggih pemujaan Raja Jayapangus dan Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar, data sejarah yang lain berupa Pintu Peletasan yang terletak di kiri dan kanan candi bentar. Pintu Peletasan ini, berbentuk sebuah bangunan beratap ijuk dengan kerangka atap, tiang, dan daun pintu bahan kayu jati. Pada daun pintu peletasan ini berisi hiasan ukiran berbentuk patra Cina dan tiang kerangka atap (tugeh) terdapat hiasan berbentuk singa bersayap.

Hasil Studi

Berdasarkan status kepemilikan Situs Pura Dalem Balingkang, pengempon Pura Dalem Balingkang yaitu Desa Pinggan, sedangkan penyungsung kelompok Bonwa terdiri dari Desa Pinggan, Desa Siakin, Desa Tembok Tejakula, Desa Gretek Tejakula, Desa Sambi Renteng, dan Desa Les Penuktukan. Sedangkan secara teknis penanganannya dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar, wilayah kerja Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Untuk pengaturan perlindungan dan pelestarian cagar budaya baik mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan. Penemuan, pencarian, pemeliharaan maupun pemanfaatan cagar budaya dalam peraturan pemerintah ini, senantiasa tetap memperhatikan hak dan kewajiban serta kepentingan pemilik ataupun masyarakat. Perlindungan dan pelestarian cagar budaya dimaksud hanya meliputi benda buatan manusia yang termasuk dalam pasal 1 .Undang – undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, termasuk benda warisan alam yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Kegiatan  Studi Pencagarbudayaan yang dilakukan di Situs Pura Dalem Balingkang yang terletak di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dapat merekam data teknis arkeologi yang terdiri dari: foto, denah, peta keletakan dan peta situasi. Data teknis ini dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya program pelestarian dan perlindungan. Sehingga melalui data teknis ini akan disusun sebuah rancangan untuk menentukan dan membuat langkah selanjutnya untuk menentukan batasan zona yaitu: zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan guna mencegah kerusakan lebih lanjut dari kemungkinan adanya bangunan-bangunan yang merusak pandangan dari Situs Pura Dalem Balingkang tersebut.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil studi yang mengadopsi sumber – sumber tertulis maupun informasi dari pihak-pihak yang berkompeten dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan status Situs Pura Dalem Balingkang.

Dari konsep pendirian dan data temuan yang dimiliki oleh Situs Pura Dalem Balingkang menunjukkan statusnya sebagai cagar budaya sesuai kreteria yang tertuang dalam Undang – undang RI No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Maka dalam hal ini Situs Pura Dalem Balingkang layak untuk di cagar budayakan dan dibuatkan SK Penetapan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Perlu ada langkah-langkah yang harus ditempuh misalnya harus tersedia rumah informasi atau museum kecil (site museum) yang dipergunakan untuk menyimpan benda-benda artefaktual maupun benda non artefaktual yang dipamerkan di sekitar Situs Pura Dalem Balingkang. Penataan lahan dan pemanfaatanya harus mengacu pada aturan-aturan pemanfaatan (zoning). Perlu ada program pengawasan yang berkaitan dengan situs antara lain pembuatan taman dan lain-lain. Perlu ada bahan informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan tentang situs Pura Dalem Balingkang dan sejarahnya di masa lampau, sehingga dengan demikian pengunjung akan mengetahui secara detail dan menyeluruh tentang situs Pura Dalem Balingkang.

Simpulan

Kesimpulan dari hasil kegiatan Studi pencagarbudayaan Situs Pura Dalem Balingkang adalah sebagai berikut:

  1. Pura Dalem Jero Balingkang berdasarkan data sejarah dan cerita turun menurun dari masyarakat Desa Pinggan yang dikaitkan dengan bekas istana kerajaan memberikan suatu petunjuk bahwa kemungkinan keraton Bali Kuno, pertama-tama berpusat disekitar wilayah Kintamani, sebab nama Kintamani telah dikenal sejak abad ke-9 Masehi, berdasarkan prasasti Sukawana (804 Ҫaka).
  2. Pada abad ke-11 Masehi diduga pusat kerajaan Bali Kuno, telah berpindah dari sekitar daerah Kintamani ke Desa Pejeng (Gianyar) dan yang terakhir ke Bedulu.
  3. Adanya pengaruh kebudayaan Cina di Bali seperti Baris Cina, Patra Cina, dan pemakaian uang kepeng telah dikenal pada abad ke-9 Masehi berdasarkan prasasti Julah yang berangka tahun 987 Masehi.
  4. Sbutan pelinggih Subandar (Syahbandar) pada beberap pura di Bali, termasuk di Pura Dalem Balingkang merupakan pentunjuk di Bali sejak abad ke-9 Masehi telah terjadi kontak perdagangan dengan orang luar termasuk dari cina.
  5. Perdagangan tersebut melalui dua lintasan, yaitu lewat air dan darat, perdagangan lewat air di atur oleh Subandar (Syahbandar) dan darat diatur oleh Alang-alu.