Sidang Komisi 5 Sesi 1 dan Sesi 2 , Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0
713

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, Rabu (9/10) terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 5 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan Topik  Generasi Multimedia yang dimoderatori oleh Eka Budianta.

Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Adhicipta R. Wirawan dengan judul Repackage Kebudayaan Indonesia Melalui Transmedia Storytelling

Internet hadir secara luas di masyarakat dunia pada awal tahun 2000. Kemunculannya sangat begitu pesat melalui teknologi informasi dan telekomunikasi. Keunggulan internet dibandingkan media surat kabar, radio, dan televisi adalah kemampuannya mengemas informasi dalam bentuk teks, visual, audio, dan video yang interaktif dalam sebuah media atau dikenal dengan konvergensi media (Rafaeli,1988). Arus kebudayaan dari luar tidak lagi dapat dibendung dengan kehadiran internet. Segala sesuatu yang terjadi di belahan dunia yang lain dapat diakses secara  real  time  dengan  melalui  handphone,  tablet,  laptop,  dll.  Ibarat  pisau bermata dua, internet memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan umat manusia. Generasi muda yang lahir di awal tahun 2000 merupakan generasi yang lahir dan tumbuh di era internet. Generasi ini dikenal dengan sebutan Generasi Z atau Millennial Generation (Horovitz,  2012). Tantangan  terbesar  bagi  para  pendidik  dan  pemerhati  budaya  saat  ini adalah bagaimana Kebudayaan Indonesia dapat tetap diwariskan dan dilestarikan kepada Generasi Z. Generasi tumpuan dan harapan bangsa Indonesia di masa kini

Penting bagi para pendidik dan budayawan mengetahui karakteristik Generasi Z  sehingga memberikan  pemahaman  akan  bagaimana  dan  apa yang memotivasi mereka dalam kehidupan yang mereka jalani.

  1. Generasi pertama yang lahir dengan teknologi yang lengkap. Mereka lahir dengan PC, ponsel, perangkat game, MP3 player dan internet (Mayhew, 2010). Mereka adalah generasi yang tidak dapat hidup tanpa teknologi. Mereka sering disebut sebagai digital natives dan nyaman dengan teknologi.  Mereka     menggunakan  email,  SMS  dan  komputer  tanpa masalah.  Selain  itu,  anggota  dari  Generasi Z  dapat  cepat  beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
  2. Generasi media sosial, dimana mereka menggunakannya sebagai cara berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka tidak peduli tentang privasi dan bersedia untuk berbagi rincian intim tentang diri mereka sendiri dengan orang asing. Hal ini dilakukan setiap hari dengan facebook, twitter dan sebagainya.
  3. Generasi multi-task di mana mereka dapat melakukan beberapa aktivitas dengan gadget yang dimiliki secara bersamaan.
  4. Generasi Instant di mana mereka dapat dengan cepat menemukan solusi melalui mesin pencari di internet.

Dari 4 karakteristik Generasi Z di atas maka para pendidik dan budayawan dapat   menempuh   langkah   strategis   untuk   mengatur   strategi   pendidikan kebudayaan kepada mereka. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia adalah dengan menggunakan Transmedia Storytelling.

Transmedia Storytelling berbeda dengan Multimedia. Multimedia adalah kombinasi dari teks, seni grafis, suara, animasi, dan video yang dikirimkan oleh komputer. Ketika Anda membiarkan pengguna untuk mengontrol apa dan kapan elemen   ini   disampaikan,   itu   adalah   multimedia   interaktif.   Ketika   Anda memberikan struktur unsur terkait di mana pengguna dapat menavigasi, interaktif multimedia menjadi hypermedia (Vaughan, 1993). Multimedia sendiri tidak selalu digunakan sebagai media penyampaian cerita. Contohnya penyampaian data statistik, pelaporan, dll. dalam dunia ekonomi dan bisnis. Keunggulan dari Transmedia Storytelling adalah kemampuannya untuk menciptakan struktur bermain sosial yang terdiri dari 4 hal, yaitu sensor motorik (menyentuh, bergerak, dll.), bersandiwara (memerankan peran), seni (bangunan, desain dll.) dan bermain dengan aturan. Keempat struktur bermain sosial itu dapat disampaikan secara bersama-sama untuk menciptakan pembelajaran yang konstruktif.

Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Hafiz Ranjacale.

Sidang komisi 5 pada sesi 2 dilaksanakan di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan Topik  Kontekstualisasi Pemberdayaan Budaya yang dimoderatori oleh Pinky Saptandari.

Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Prof. Dr. Moses Usman dengan judul Masyarakat Nelayan Suku Bajo Torosiaje Teluk Tomini Di Provinsi Gorontalo.

Sistem sosio-ekologis yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup tiga dimensi yakni sosio-kultur, ekonomi, dan sistem pengelolaan sumberdaya/ekologi. Sistem sosio-kultur lokal/ideologi ini adalah adanya kesadaran dan kepercayaan penduduk memiliki lingkungannya, dan memanfaatkannya sesuai dengan sumber-sumbernya. Sistem  pengelolaan sumber daya alam lokal dan sistem tradisional lainnya, Serta sistem pengetahuan yang berkaitan dengannya bisa menjadi poin-poin nilai praktis dalam mengarahkan problema-problema yang muncul dari perubahan hubungan manusia dengan sistem ekologis baik pada skala global maupun skala lokal. Dengan demikian yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah apakah sistem sosial dan ekologi (sosial-ekosistem) yang ada memiliki sifat/sifat yang dapat mempromosikan kestabilan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang mencakup perubahan sosio-kultur, ekonomis, dan ekologis. Konsepsi-konsepsi sosio-ekologi dalam tulisan ini dikaitkan dengan konsepsi-konsepsi kebudayaan dan ekologi budaya dalam studi antropologi ekologi (Geertz. 1974, 1980; Hardesty. 1977). Dengan demikan Antropologi ekologi dapat dipandang sebagai antropologi yang dikaitkan dengan berbagai masalah studi perilaku dan pengetahuan kebudayaan manusia dilihat dalam hubungannya dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri dan dikaitkan dengan konsepsi ekologi. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang mengacu kepada Denzin dan Yuana S. Lincoln (1994), Conant, Francis et.al. (ed.1983), Spradley, James P. (1979, 1980) dan Thomas, Jim. (1993). Deskriptif kualitatif ini menguraikan dan menggambarkan setiap fenomena budaya yang berkaitan langsung dengan masyarakat nelayan sebagai pelaku budaya dalam seluruh aspek kehidupan berdasarkan data dan fakta di lapangan.

Masyarakat tradisional suku Bajo Torosiaje, dengan jumlah kurang lebih duaratus kepala keluarga, memiliki formasi ciri-ciri utama tatanan sosial neo-tradisional. Hingga kini desa Torosiaje laut masih tetap berupa desa air yang terisolasi dari perubahan-perubahan di daerah ini. Masyarakat suku Bajo Torosiaje laut masih merawat kebiasaan budaya khususnya bagi mereka yang generasi tua dengan cara mereka sendiri. Mereka masih menjaga sistem ekonomi subsistensi untuk mencukupi diri sendiri. Ini yang peneliti kaitkan dengan tatanan sosial suku Bajo Torosiaje ‘tradisional’.

Hubungan-hubungan ekologis suku Bajo Torosiaje sekarang ini dilakukan dalam tiga dimensi: sosio-kultur, ekonomi, dan ekologi. Perubahan-perubahan sosio-kultur membawa bentuk perubahan-perubahan dalam sistem kepercayaan, hasil gradual dan progresif dari adopsi kepercayaan Islam. Peneliti sebagai penyumbang  terhadap telaah ini menyuarakan perhatian tentang menurunnya secara luas kepercayaan lokal dan pengetahuan yang ditransmisikan kepada generasi berikut. Prospek hilangnya pengetahuan institusional mengkodekan bahwa aspek-aspek tradisi yang  berhubungan dengan eksploitasi lingkungan alam menggambarkan bahaya yang serius terhadap fungsi-fungsi yang berkelanjutan dari sistem pengelolaan tradisional, dan satu yakni tidak ada sekarang remedi. Seperti dalam kasus ini, perubahan dalam kepercayaan dan praktik-praktik pada suku Bajo Torosiaje tidaklah terpisah, tetapi adalah proses umum degenerasi sistem transmisi kepercayaan-kepercayaan tradisional dan pengetahuan, kekuatan-kekuatan utama lainnya di belakang yang berupa perubahan ekonomi.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya, ditarik beberapa kesimpulan bahwa sistem sosio-ekologi yang ada memiliki sifat-sifat yang dapat mempromosi kestabilan dan dapat merespon perubahan-perubahan baik  sosio-kultur, perubahan ekonomi, maupun perubahan ekologi, namun demikian eksploitasi lingkungan alam akan menjadi bahaya yang serius terhadap fungsi-fungsi yang berkelanjutan dari sistem pengelolaan tradisional, dan perlu ditekankan bahwa laut tetap menjadi penting bagi cara hidup suku Bajo Torosiaje tidak saja dalam ekonomi tetapi juga dalam terma budaya, dan masih merupakan komponen kunci identitas serta  praktik-praktik pemanfaatan sumber-sumber yang tidak berkelanjutan menjadi ancaman nyata pada sistem subsistensi.

Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Firdaus.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Prof. Aji Qamara Hakim dengan judul ISBI Sebagai Proses Pemberdayaan Yang Mengalir.

Di tahun 2012 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merencanakan mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI).  Belum dijelaskan secara mendalam mengapa ISI harus diubah menjadi ISBI.  Bahasan hanya difokuskan pada penambahan materi ‘budaya’ di dalam proses pendidikan lembaga tersebut. Pengubahan nama diharapkan tidak hanya menciptakan para sarjana yang ahli di bidang seni, tapi juga menjadi ahli di bidang budaya.  “Semua ISI (Institut Seni Indonesia) akan diperluas tugasnya.  Kalau tadinya hanya terfokus pada kesenian, nantinya akan diperluas dengan kebudayaan yang terkait dengan kesenian tersebut,” kata Joko Susanto, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (www.kompas.com, 5 Februari 2012). Tentunya penetapan ini tidak mudah direalisasikan.  Akan menjadi pekerjaan tambahan di dalam menyusun kurikulum pendidikan seni di dalam ISI.  Seiring dengan pengubahan nama tersebut menjadikan pro dan kontra terhadap konsep “seni dan budaya”; “seni vs budaya” dan “budaya” itu sendiri.

Konsep pemberdayaan bisa dilihat dari tujuan, proses dan cara˗cara pemberdayaan.  Dari sekian banyak konsep tentang pemberdayaan, penulis mengambil definisi yang sesuai dengan pembahasan bagaimana menciptakan keahlian atau keberdayaan terhadap suatu bidang sehingga bisa menjadi ahli di bidangnya.  Menurut Weissglass (1990:351), pemberdayaan adalah “a process of  supporting people to construct new meanings and exercise their freedom to chose”. Orang-orang yang memiliki keahlian-keahlian tersebut membantu orang-orang yang “belum/tidak berdaya” tersebut hingga “berdaya” seperti apa yang diharapkan. Sedangkan menurut Payne  (1997:266), pemberdayaan adalah  “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self-confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.”  Upaya membuat orang-orang yang diberdayakan  sehingga mandiri dan menentukan nasibnya dan lingkungannya. Salah satu harapan dari berdirinya ISBI Kaltim adalah mampu memberikan bekal pendidikan terbaik bagi anak didiknya sehingga bisa memberdayakan dirinya sendiri dan lingkungannya.  Upaya membantu yang dilakukan oleh ISI Jogjakarta terhadap mahasiswa ISBI Kaltim adalah upaya pemberdayaan melalui kerangka pendidikan seni yang mereka miliki. Tujuan pemberdayaan ini adalah menciptakan para sarjana yang ahli di bidang seni.

Tak ada yang salah dengan ISBI.  Tak ada yang salah dengan penolakan ISI terhadap ISBI.  Tak ada yang salah jika Kaltim dan propinsi-propinsi lain punya mimpi ingin memiliki institusi pendidikan seni budaya.  Tinggal bagaimana semua pihak yang terlibat bisa saling bekerjasama, menguatkan konteks ke-lokal-annya  dan memiliki kepedulian terhadap generasi muda yang ingin mandiri dalam bidang seni budaya,  Pemberdayaan yang ada pada ISBI Kaltim memang memerlukan proses yang cukup panjang dan mengalir.  Begitu pula dengan pendirian ISBI˗ISBI yang lainnya. Kasus terciptanya para ahli ‘tanggung’ pada ISBI Kaltim cukup menjadi pelajaran bagi calon ISBI-ISBI lainnya. Harapan dari tulisan ini adalah tidak terjadi pemberdayaan yang mengalir lagi pada pendirian ISBI˗ISBI lainnya. Pemberdayaan yang juga menjadi pemberdayaan terselubung dengan mengatasnamakan pemberdayaan.  Pemberdayaan terselubung di mana memberikan kesempatan pemberdayaan bagi kepentingan˗kepentingan tertentu yang terlibat dan belum tentu para pemberdayanya adalah para ahli yang diharapkan.

 

Paparan keempat dalam sidang komisi 5 dengan pembicara La Ode Sidu Marafad  dengan judul Budaya Gompula Dalam Konteks Persatuan Dan Kesatuan Masyarakat  Muna Di Kecamatan Watupoe.

Gopula merupakan warisan budaya masyarakat Muna terdahulu yang bernama pokaowa atau pokaowa yang artinya gotong royong.Pekerjaan apa yang dipokaowakan    /dipokadulukan/digotongroyongkan? Pekerjaan yang digotongroyongkan, semua pekerjaan yang melibatkan banyak tenga atau banayk energi yang dibutuhkan, pekerjaan yang memerlukan banyak orang, pekerjaan yang memerlukan banyak alat, pekerjan yang memerlukan banyak bahan, pekerjaan yang luas, pekerjaan yang berat. Kondisi dan pola hidup masyarakat dalam lingkup Kecmtan Watopute khususnya dan masyarakat Muna umumnya belum banyak mengalami perubahan dari dahulu hingga sekarang. Berbeda dari gaya hidup mereka, sebagian mengikuti gaya hidup sesuai dengan kondisi sekarang terutama generasi mudanya. Gaya hidup dimaksud, mislnya, sekarang sebagiaan bear anggota masyrakt sudah memiliki HP dan motor, dan sebagian kecil sudah memiliki kendaraan mobil. Meskipun begitu, pola hidup mereka masih hidup berkelompok, masih saling membantu atau menolong orang lain.

Budaya gompula  sangat bermanfat bagi masyarakat baik masyarakat umum maupun masyarakat anggota gompula.  Manfaat yang utama ialah  dengan kelompok gompula masyarakat itu lebih terorganisasi, mudah dimobilisasi, mudah dikontrol, mudah bersatu. Di tengah budaya gompula tumbuh rasa cinta yang mendalam, rasa  kasih yang mendalam, dan rasa sayang yang mendalam kepada sesama dan hal ini dapat menumbuhkan harmonisasi  di tengah masyarakat yang heterogen. Mudah dikontrol maksudnya, dengan gompula, hampir di setiap kesempatan anggota-anggotanya dapat bertemu. Di mana ada keramaian, pesta tentu mereka bertemu dan di sanalah mereka saling menetahui keadaan masing-masing. Apakah para anggota dalam keadaan utuh, apakah anggota ada keluhan, ada informasi baru, dan lain-lain. Dengan kegiatan gompula tak ubahnya  dengan reuni  rutin karna hampir dipastikan setiap keluarga akan menyelenggarakan upacara apa saja entah lambat atau cepat.