Sidang Komisi 4 Sesi 3, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0
740

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal (10/10) ini terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 4 pada sesi 3 dilaksanakan Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan topik Kelembagaan Kebudayaan yang dimoderatori oleh Nunus Supardi

DSC_0626

Paparan pertama dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Tubagus Dedy Suwendi Gumelar dengan judul Politik Kebudayaan di Tengah Keterbatasan.

Mengelola kebudayaan yang sifatnya tangible memang bukan perkara mudah. Diperlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus dan harus memiliki passion di bidang kebudayaan (Sumber Daya Manusia Kebudayaan). Biayanya pun tidak murah, karena menyangkut penggunaan teknologi canggih dan riset yang berkesinambungan untuk mengkaji dan menggali kebudayaan tersebut. Era otonomi daerah membawa perubahan baru dalam paradigma pengelolaan kebudayaan. Daerah-daerah kini diminta untuk turut serta dalam mengembangkan kebudayaan (UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Bukan hanya soal pendanaan, tapi juga bagaimana membangun kebudayaan berdasarkan kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masing-masing daerah. Sehingga, kebijakan kebudayaan tak lagi menjadi monopoli pusat, melainkan melibatkan daerah secara aktif untuk bersama-sama memajukan kebudayaan nasional.

Usaha untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan disebut juga tindakan pengelolaan kebudayaan. Saat ini, langkah untuk melakukan pengelolaan kebudayaan tersebut sedang digodok di DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Kebudayaan.

Mengacu pada Pasal 5 draft RUU tersebut, ada 5 prinsip dalam pengelolaan kebudayaan, yakni:

  • Hak berkebudayaan;
  • Kearifan lokal;
  • Kelestarian alam dan lingkungan hidup;
  • Koordinasi dan keterpaduan secara sinergis antar pemangku kepentingan;
  • Jati diri bangsa, harmoni kehidupan, dan etika global tentang kebudayaan.

Untuk mencapai itu semua, maka perlu didukung oleh politik anggaran yang berpihak pada kepentingan memajukan budaya nasional. Kemudian, diperlukan juga prasarana kebudayaan yang mumpuni, baik itu museum, sanggar, pasar seni dan sebaginya. Optimalisasi potensi local wisdom juga bisa menjadi alternatif dari kejumudan problem pengelolaan kebudayaan. Sehingga, pengelolaan kebudayaan tidak harus melalui mesin birokrasi pemerintah yang membutuhkan anggaran cukup besar dan cenderung top down.

Berdirinya kementerian kebudayaan agar bisa fokus, baik dalam hal program maupun pendanaan menjadi sebuah keniscayaan. Mengingat, selama bergabung di Kementerian Pendidikan dan pernah juga di Kementerian Pariwisata, pengelolaan kebudayaan seolah menjadi “anak tiri”.

Terakhir, tanpa sarana pendidikan, maka usaha untuk membudayakan seluruh sektor kehidupan akan menjadi sia-sia. Karena, proses pembangunan watak, karakter, kepribadian hanya bisa dilakukan dengan jalan melakukan internalisasi nilai-nilai yang berkesinambungan dan sistematis melalui pendidikan.

DSC_0642

Paparan Kedua dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Tubagus Luluk Sumiarso.

Paparan Ketiga dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Taufik Arbain dengan judul Eksistensi  dan Optimalisasi Kelembagaan Adat, Keraton di Daerah Dalam Membangun Ke-Indonesian.

Selama ini membaca kebudayaan Indonesia seakan terpusat pada kebudayaan dominan yang digerakkan oleh politik dan  kebijakan pemerintah, juga digerakkan oleh kekuatan arus media massa khususnya televisi.  Kondisi kebudayaan Indonesia seakan terjadi kemanunggalan karena entitas kebudayaan dominan berdekatan dengan pusat kekuasaan. Fakta ini tidak hanya terjadi pada level pusat dan daerah, tetapi juga berlaku pada level kawasan perkotaan  dan pedesaan, pesisir  dan pedalaman.  Akibatnya kesaksian kebudayaan Indonesia yang dihajatkan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika  dianggap semakin mengaburkan makna keragaman.  Pada sisi lain, program kegiatan kebudayaan yang bersifat tahunan oleh Pemerintah  Daerah sebagai ujung tombak diplomasi kebudayaan daerah dan Indonesia seakan pengguguran kewajiban bersifat proyek, seremonial dan simbolik.  Ianya belum mampu menciptakan representasi atas kebudayaan di kawasannya sendiri apalagi di tingkat nasional.

Untuk mempetakan hal-hal demikian bagaimana kebudayaan adat tradisi keragaman  Indonesia  mampu menjawab tantangan zaman.  Berbagai kajian, pemikiran dan penulisan pandangan-pandangan para ahli/akademisi, seniman dan budayawan serta lembaga adat  perlu dikembangkan sehingga pandangan-pandangan dan pikiran tersebut bisa dijadikan rujukan langkah-langkah kebijakan yang diambil Pemerintah baik Pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pemerintah Pusat, agar semua pihak saling bersinergi dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan, khususnya revitalisasi kelembagaan adat/keraton/kesultanan/kerajaan lebih diperluas termasuk penganggarannya sebagaimana dilakukan Pemkot Solo pemberinan dana hibah kepada keraton Surakarta dalam perawatan benda cagar budaya dengan merujuk pada regulasi. Untuk itu, adalah tanggung jawab kita bersama dalam turut serta mendorong kerja-kerja masyarakat dan para  tokoh dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan untuk tetap menjadikan kokoh Bhineka Tunggal Ika berbasis kelembagaan adat/keraton/kesultanan/kerajaan di daerah untuk tumbuh dan hidup bersama masyarakatnya.

Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilupakan  dengan kehadiran lembaga adat entitas etnis/keraton/kesultanan/kerajaan yang semula dalam kawasan nusantara. Eksistensi lembaga adat ini merupakan inspirasi peletakan dasar filosofis Bhineka Tunggal Ika bangsa Indonesia, tentu mengerikan jika diabaikan dalam menjawab tantangan zaman ke-Indonesiaan hari ini yang mulai terjadi degradasi ke-Bhineka Tunggal Ikaan.  Revitalisasi lembaga adat     keraton/kesultanan/kerajaan di masing-masing daerah dalam menopang dan mengoptimalisasi ruang berkebudayaan Indonesia adalah jalan baru yang arif bijaksana.  Karena saat kelembagaan adat yang diakui dan menjadi  penjaga garda terakhir keragaman kebudayaan Indonesia adalah keraton/kesultanan/ kerajaan. Tentu saja komitmen Pemerintah di semua level dan stakeholder salah satu varibael utama untuk mewujudkannya.