Acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, Rabu (9/10) terdapat acara Sidang Komisi yang waktunya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.
Acara sidang komisi 4 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel Ambarukmo Yogyakarta dengan Topik Konflik dalam Perspektif Budaya yang dimoderatori oleh Endjat Djaendrajat.
Paparan pertama dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Prpf. Dr. H. Sulaiman Mamar, MA, Drs dengan judul Konflik Dalam Prespektif Budaya.
Dipandang dari perspektif budaya, fenomena konflik tersebut menunjukkan bahwa “nilai-nilai budaya suku bangsa di Indonesia telah mengalami degradasi” sehingga tidak berfungsi lagi sebagai pedoman tingkah laku manusia. Fenomena itu terjadi karena nilai budaya telah tergeser oleh kebutuhan materi (harta benda, kekuasaan dan jabatan).
Oleh karena itu, nilai-nilai budaya kelompok etnis di Indonesia perlu digali kembali, direvitalisasi, dan diwariskan kepada generasi muda sehingga dapat memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya akan mengurangi pikiran negatif dan akan memecahkan permasalahan konflik di berbagai wilayah Indonesia. Tindakannya antara lain sebagai berikut:
a. Pendidikan nilai-nilai kearifan lokal
- Lingkup keluarga sebagai wahana pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal
- Lingkup satuan pendidikan sebagai wahana pembelajaran budaya berpikir positif
- Lingkup pemerintah sebagai wahana pembangunan karakter bangsa dengan menjadikan budaya berpikir posiitif sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Negara
- Lingkup masyarakat sipil lewat tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat melakukan pembinaan terhadap generasi muda dalam mewarisi budaya berpikir positif
- Lingkup masyarakat politik sebagai wahana menerapkan budaya berpikir positif
- Lingkup dunia industri sebagai wahana pembangunan perekonomian dengan berpedoman pada budaya berpikir positif sehingga menjadi teladan bagi masyarakat pengusaha ekonomi
- Lingkup media massa sebagai wahana yang berperan dalam membuat opini bagi publik yang berkaitan dengan budaya berpikir positif dan pembangunan manusia
b. Pendidikan Etika
- Dapat membedakan perilaku yang benar dan salah
- Ramah – tamah dalam berbicara
- Sopan – santun dalam pergaulan
- Menghargai orang tua dan guru
- Simpati terhadap orang lain
- Solidaritas terhadap sesama manusia
- Mengutamakan persatuan dan kesatuan
c. Pendidikan Multikultural
- Memahami dan menghargai budaya sendiri sebagai identitas suku bangsanya
- Memahami dan menghargai budaya suku bangsa lain
- Menghormasi perbedaan budaya antar suku bangsa
- Menjunjung tinggi persamaan budaya antar suku bangsa
- Mengembangkan dialog dan toleransi antara sesama manusia dan warga suku bangsa
- Memahami dan mengamalkan nilai universalitas agama
d. Pemberdayaan Ekonomi Generasi Muda
- Generasi muda perlu dilatih dalam berbagai macam usaha produktif
- Kemudian dikelompokan sesuai minat usaha
- Setiap kelompok diberikan modal (uang dan peralatan) untuk mengelola usaha produktif
- Selama mengelola usaha produktif, didampingi oleh seorang fasilitator professional
- Setelah satu tahun menjalankan usahanya, dievaluasi oleh suatu tim khusus untuk mengetahui keberhasilan usaha
Paparan kedua dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Gufran Ali Ibrahim dengan judul Keburukan Sosial dan Tanda Kebudayaan Kita.
Indonesia yang amuk, tidak tertib sosial, gaduh, dan mengelompok sebagai tanda-tanda rendah budaya sebagaimana yang ditunjukkan dalam angka dan kekerapan keburukan sosial yang telah dijelaskan memerlukan strategi pembentukan manusia Indonesia menjadi ramah, tertib sosial, kuat apresiasi atas perbedaan dan keragaman, serta tinggi budi-bahasa. Pembentukan ini tidak dengan cara lain, tetapi melalui belajar sebagai latihan pembiasaan dan pembentukan watak. Sekolah, sebagai entitas pemandaian dan pengadaban manusia Indonesia, melalui Kurikulum 2013, perlu menyusun suatu peta jalan (road map) pembentukan “Generasi Emas” seperti dilansir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dikonfirmasikan dengan penyusunan indeks kebudayaan yang tengah dipersiapkan.
“Budaya mengelompok” menjadi ancaman bagi kemajemukan Indonesia; “masyarakat yang gampang amuk” dan “tidak tertib sosial” menjadi ancaman bagi intergrasi bangsa; “tidak bersih” menjadi ancaman bagi kualitas kesehatan bangsa; dan “gaduh” bisa menjadikan bangsa ini pekak, kehilangan nalar sehat, dan bahkan kemudian bisa menjadi bangsa “rusuh”.
Paparan ketiga dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Sudjarwo dengan judul Persoalan Bangsa yang Tercecer.
Pertama, bahwa sudah sangat mendesak perlu disusun suatu grand disain pembangunan bangsa jangka panjang terutama berkaitan dengan tata laku dan tata kehidupan bernegara, dasar orientasinya bukan hanya berdasar pada konsep demokrasi semata, akan tetapi juga azaz musyawarah untuk mufakat dengan warna khas lokal, perlu diberi ruang untuk partisipasi warganya.
Kedua, bahwa suara terbanyak adalah penentu dalam demokrasi seperti selama ini terjadi, harus dikaji ulang bahwa suara minoritas juga memiliki hak yang sama dalam partisipasi membangun bangsa. Budaya memberi ruang pada minoritas ini perlu dihidupkan kembali, sehingga tidak menimbulkan bangunan tempok penyekat sosial yang tidak jarang menjadi pemisah. Eliminasi sosial
serupa ini merupakan bentuk kegagalan demokrasi, atau juga cacat bawaan yang harus ditangani secara sungguh-sungguh.
Ketiga, bahwa kearifan lokal harus diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam membangun ideologi bangsa dengan tidak mengesampingkan kepentingan bangsa yang luas. Kearifan lokal ini justru jika dirajut akan membangun networking yang kokoh guna pembangunan budaya indonesia.
Paparan keempat dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Sjarif Ibrahim Alqadrie dengan judul Persoalan Bangsa yang Tercecer.
Proses konflik yang berkembang menjadi kekerasan lebih tepat disebut konflik kekerasan (violent conflict). Kalau begitu, kekerasan atau pertikaianpada umumnya berujud tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur/ sistem yang menyebabkan kerusuhan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih potensinya secara penuh.
Upaya dasardalam memahami, melakukan pencegahan atau mengelola konflik (management of conflict) dan menangani kekerasan atau membangun perdamaian (peace building) dapat dilakukan paling kurang melalui 2 (dua) cara pandang utama (main perspectives) yaitu (1) perspektif budaya (cultural perspective) dan (2) perspektif bukan-budaya (non-cultural perspective).
Paparan kelima dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Prof. Dr. H. Anwar Hafid dengan judul Konflik SARA di Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara).
Munculnya tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain merupakan rahmat, juga membawa masalah baru termasuk konflik ekonomi yang bernuansa sara. Suku Tolaki yang mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara
Sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah pertambangan, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas di wilayah pertambangan, terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.
Paparan keenam dalam sidang komisi 4 dengan pembicara PM Laksono.
Paparan ketujuh dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Marko Marin.