Sidang Komisi 3 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0
560

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal 9 Oktober 2013 ini terdapat acara Sidang Komisi yang waktunya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 3 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel Ambarukmo Yogyakarta dengan Topik  Diplomasi Internal dan Eksternal yang dimoderatori oleh Fatimah Zulfah.

Paparan pertama dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Yuke Ardiati dengan judul Diplomasi Budaya Ala Soekarno.

Di awal kemerdekaan, geliat kecintaan Soekarno pada Indonesia telah menempatkannya bukan sekadar ”Arsitek” bagi terwujudnya peradaban modern,  karena bukan hanya berupa karya artifak teraga melainkan meluas pada yang tak teraga. Budaya teraga ditandai oleh sepilihan karya arsitektur dan kesenirupaan, dan budaya tak teraga ditandai dengan memuliakan wanita dengan batik Indonesia, serta ronggeng/tari daerah sebagai pengindah rasa di Acara Kenegaraan.

Dalam ke-senirupa-an Soekarno telah menjadi patron, sosok yang memayungi cerahnya dunia seni rupa di awal kemerdekaan melalui kepeduliannya terhadap tema serta kehidupan para seniman Indonesia. Karya-karya unggulan di bidang kesenirupaan terjejak di kawasan Hotel Indonesia yang kini bagaikan living museum bagi keragaman karya seni rupa di masa Soekarno.

Satu pernyataan Soekarno tentang kebudayaan yang mendasari Soekarno dalam mencipta kebudayaan di Indonesia: “… Sesuatu djaman adalah selalu kebudajaan daripada kelas jang berkuasa…”. Bersandar pernyataan itu tampaklah sebuah pola khas yaitu pola-pola diplomasi budaya ala Soekarno, berupa tujuh aktivitas kunci yang ter-integrasi, antara lain: 1) pembentukan kreator, 2) proses artistik kreatif, 3) pembuatan ‘mock up’/ sample, 4) pembuatan pola/blue print/gambar kerja terukur, 5) uji coba dan apresiasi, 6) media pementasan/pameran, dan 7) produksi.

Paska Soekarno, diplomasi budaya di Negeri ini tetap pula  berlangsung. Pada eranya, Soeharto-pun berupaya berkiprah untuk tegaknya Diplomasi Budaya dengan mewariskan karya teraga untuk keragaman arsitektur nusantara melalui Taman Mini Indonesia Indah. Sekalipun gagasan ini sejak era Soekarno telah mengemuka sebagai Taman Bhinneka Tunggal Ika. Di lingkungan TMII, warisan budaya teraga yang cukup menyejukkan adalah karya arsitektur metaphor gedung teater Keong Emas dan museum ‘tumpeng raksasa’ gedung Purnabhakti Pertiwi.

Paparan kedua dalam sidang komisi 3 dengan pembicara I Wayan Dibia dengan judul Diplomasi Kebudayaan Menggunakan Kekuatan Kesenian.

Diplomasi kebudayaan adalah diplomasi yang menggunakan matra kebudayaan sebagai sarana pendekatan. Konsep diplomasi kebudayaan dapat pula diartikan sebagai suatu sistem pelaksanaan diplomasi (dalam arti umum) yang menggunakan aspek-aspek kebudayaan sebagai sarana bantu pendekatannya dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan pelaksanaan politik luar negeri, khususnya dalam memelihara dan meningkatkan citra bangsa Indonesia di mata internasional (Hardjasoemantri, 1992:45).

Diplomasi kebudayaan dapat menggunakan berbagai unsur yang terintegrasi dalam kebudayaan. Di antara unsur-unsur kebudayaan yang ada, kesenian diyakini memiliki posisi yang sangat penting dan sentral serta mampu menjadi media yang efektif bagi sebuah diplomasi kebudayaan.

Sejak zaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia tidak pernah  berhenti melakukan diplomasi kebudayaan sebagai satu upaya nyata untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan negara-negara di dunia. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar tahun 1945, diplomasi  eksternal antarbangsa ini tidak saja dilakukan di luar negeri melainkan juga di dalam negeri. Tiga hal utama yang dijadikan sasaran diplomasi adalah memelihara, mengembangkan, dan menanamkan citra yang baik mengenai kebudayaan Indonesia (Balitbang Deplu R.I., 1983).