Sidang komisi 2 pada sesi 2 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta, Rabu (9/10) dengan Topik Kebijakan Budaya yang dimoderatori oleh Hari Untoro Dradjat.
Paparan dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Frans Rumbrawer dengan judul Memanfaatkan Kearifan Lokal (Etnosains) untuk mencegah Konflik Sosial di Tanah Papua.
Akhir-akhir ini berbagai pihak, terutama para aparat pemerintah (eksekutif, legislatif), akademisi, tokoh agama, pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kelompok pemerhati kedamaian dan keadilan sosial di Tanah Papua, tak henti-hentinya saling menuding dan menya-lahkan satu sama lainnya dan berulangkali mengupayakan pendekatan yang tepat, untuk mencegah dan menyelesaikan permasalahan konflik sosial di Tanah Papua. Para pihak itu, selalu menerapkan paradigma, metode, dan pendekatan asing untuk mencegah dan menyelesaikan konflik sosial yang berkepanjangan di Nusantara.
Pemerintah, para negarawan, politisi dan para ilmuan sosial telah berupaya maksimal untuk mencegah fenomena perubahan sosial tersebut, dengan hanya mengandalkan teori, paradigma, dan pendekatan asing, dan selalu menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian sengketa atau konflik. Sangat jarang memanfaatkan kearifan lokal (etnosains) Indonesia, yang sebetulnya cocok, tepat guna, dan tepat konteks untuk penyelesaian konflik yang khronis di antara masyarakat bangsa kita, baik konflik horisontal maupun vertikal.
Konflik sosial terus menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia karena para penggagas berbagai program pembangunan di Indonesia umumnya dan khususnya pembangunan politik dan ekonomi di Tanah Papua, tidak memanfaatkan etnosains yang telah dianugerahkan Tuhan bagi umat ciptaan-Nya, sebagai modal sosial (social capital) penting yang pantas dimanfaatkan untuk membangun rakyat bangsa Indonesia agar hidup survive dan mengalami damai sejahtera di atas bumi Nusantara yang kaya akan sumber daya alam, terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Etnosains dan konflik sosial adalah dua konsep penting yang jarang disinergikan dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai program kema-nusiaan yang pancasilais, baik program pembangunan secara fisik maupun mental spiritual di Tanah Papua. Orang modern selalu mematok bahwa etnosains (indigenous knowledge) atau pengetahuan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat lokal (indigenous peoples) sebagai bukan ilmu (fiktif). Sedangkan, teori, pendekatan, atau sains orang asing adalah ilmu pengetahuan berdasarkan pembuktian atau praktek (faktual).