Sidang Komisi 2 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0
698

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal 9 Oktober 2013 ini terdapat acara Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 2 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik Warisan Budaya Bersama Asia Tenggara yang dimoderatori oleh Heddy Shri Ahimsa Putra.

DSC_0019

Paparan pertama dalam sidang komisi 2 dengan pembicara I Wayan Ardika dengan judul Warisan Budaya Bersama Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara.

Bangsa-bangsa di Kawasan Asia Tenggara memiliki kesamaan warisan budaya (common heritage)   yang telah berakar sejak zaman prasejarah atau sekitar 5000 tahun yang lalu. Kontak dengan dua pusat peradaban besar yakni Cina dan India telah ikut memberikan kontribusi terhadap perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara.

Kesamaan warisan budaya bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang tumbuh sejak 5000 tahun yang lalu merupakan modal budaya  yang sangat penting di masa kini. Akar budaya yang sama di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara dapat digunakan sebagai media untuk mempererat toleransi dan persaudaraan di kawasan ini. Di sisi lain, modal budaya ini juga dapat dijadikan modal ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memajukan perekonomian masyarakat Asia Tenggara.

Warisan budaya adalah sesuatu yang dipresentasikan atau dipresentasikan ulang yang berhubungan dengan masa lalu dan memiliki nilai khusus atau signifikan sebagai kekayaan atau warisan. Warisan budaya dapat berupa sesuatu yang tangible (seperti  bangunan, artifak, dan situs),  dan intangible (perilaku, aksi dan perbuatan) dari masa lalu yang diinterpretasikan, dinilai, dan dipertimbangkan  karena memiliki nilai penting sehingga perlu dilindungi. Warisan budaya juga memiliki nilai yang signifikan untuk industri pariwisata.

Paparan kedua dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Ichwan Azhari dengan judul Warisan Budaya Bersama Asia Tenggara : Refleksi  Atas Klaim Gordang Sembilan Sebagai Milik Malaysia.

Latar sejarah pembentukan negara moderen di Asia Tenggara ini merupakan hal yang penting dalam memahami bagaimana kawasan ini merupakan rumah tinggal warisan budaya bersama, melampaui batas-batas negara moderen yang dikonstruksi belakangan. Ketika warisan budaya yang sama oleh pewaris yang sama dikembangkan di dua negara yang berbeda maka ini merupakan kekayaan bagaimana kebudayaan berkembang melintas batas-batas desain negara. Selama puluhan tahun hal itu sudah berkembang dan tidak ada masalah terhadap berkembangnya budaya atau tradisi atau seni yang sama di dua negara berbeda di Asia Tenggara.

Akan tetapi akhir-akhir ini muncul ketegangan di wilayah politik antara Indonesia dengan Malaysia karena Malaysia mengklaim budaya Indonesia yang di “klaim”  sebagai milik Indonesia. Ketegangan itu berada diwilayah politik dan belum tentu ada diwilayah kebudayaan.

Dalam wilayah kebudayaan, proses hidupnya budaya yang sama oleh pewaris yang sama di dua negara yang berbeda selama puluhan tahun tidak menimbulkan masalah. Masalah muncul ketika negara sebagai entitas politik mendaftarkan warisan budaya yang berkembang di negaranya (Malaysia) terdaftar sebagai warisan negara itu, sementara negara asal warisan budaya itu (Indonesia) merasa yang paling berhak, walau negara asal itu  tidak merawat bahkan membiarkan warisan budaya itu perlahan-lahan lenyap, terancam punah  dari wilayah negara asalnya.

DSC_0025

Paparan ketiga dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Agus Aris Munandar dengan judul Awal Perkembangan Kebudayaan di Kawasan Asia Tenggara.

Seorang ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yang mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah. Brandes menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu (1) telah dapat membuat figur boneka, (2) mengembangkan seni hias ornamen (3) mengenal pengecoran logam, (4) melaksanakan perdagangan barter, (4) mengenal instrumen musik, (6) memahami astronomi, (7) menguasai teknik navigasi dan pelayaran, (8) menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan  pengetahuan, (9) menguasai teknik irigasi, (10) telah mengenal tata masyarakat yang teratur.

Adanya warisan bersama di lingkungan bangsa-bangsa Asia Tenggara niscaya akan ditemukan, hal itu disandarkan kepada adanya berbagai persamaan terutama dalam perkembangan kebudayaan. Tahap awal kebudayaan sebelum datangnya pengaruh asing, adalah kebudayaan prasejarah yang secara bersama mengusung kebudayaan Austronesia. Jejak perkembangan kebudayaan Austronesia tersebut tersebar terhadap batas negara-negara Asia Tenggara masa kini.

Perbedaan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman prasejarah. Kesatuan budaya bangsa Austronesia di Asia Tenggara lambat laun menjadi memisah, membentuk jalan sejarahnya sendiri-sendiri. Menurut H.Th.Fischer, terjadinya bangsa dan aneka suku bangsa di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1.Telah ada perbedaan induk bangsa dalam lingkungan orang Austronesia sebelum mereka melakukan migrasi.

2.Setelah bermigrasi mereka tinggal di daerah dan pulau-pulau yang berbeda, lingkungan yang tidak seragam, dan kemampuan adaptasi budaya mereka dengan alam setempat.

3.Dalam waktu yang cukup lama setelah bermigrasi mereka jarang melakukan komunikasi antarasesamanya (Fischer 1980: 22-25).

Berdasarkan ketiga hal itulah sub-sub bangsa Austronesia terbentuk, mereka ada ratusan yang tinggal di kepulauan Indonesia, puluhan di Filipina, Malaysia, dan Myanmar, dan yang lainnya ada yang menetap di Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Brunei, dan Singapura.

Paparan keempat dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Bambang Budi Utomo dengan judul Warisan Dinasti Sailendra di Asia Tenggara, Belahan Barat Nusantara.

Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sansekerta “Sailendra” karena di dalam prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta atau bahasa Tamil di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi (Boechari 1966, 141-151).

Gambaran masyarakat di masa lampau pada masa Dinasti Sailendra berkuasa (abad ke-8-10 Masehi) dapat diketahui dari prasasti dan relief bangunan suci. Pada relief bangunan suci yang cukup lengkap memberikan gambaran kehidupan masyarakat adalah pada Borobudur. Borobudur merupakan gunung kosmos, punden berundak untuk memuja arwah nenek moyang dan juga bangunan suci utama dari dinasti Sailendra yang berkuasa di Tanah Jawa pada abad ke-8-10 Masehi.