Noken, Warisan Budaya Tanah Papua yang Sarat Makna

0
6172

Tak sekedar hasil karya, Noken, tas khas tanah Papua ini rupanya menyimpan beragam makna yang patut kita ketahui. Dari segi bahan baku, misalnya, ada beberapa jenis pohon yang digunakan sebagai bahan baku tas tradisional masyarakat Papua ini, dua di antaranya ialah serat Pohon Yonggoli dan Pohon Huisa. Keduanya merupakan jenis pohon yang tumbuh liar di hutan Papua.

Meski dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tas yang kini menjadi warisan budaya, rupanya masyarakat setempat tidak membudidayakan pohon tersebut, melainkan tetap pada kebiasaan mereka yaitu pergi berjalan kaki ke hutan dan menguliti pohon-pohon tersebut. Mereka menganggap proses alami tersebut menjadi sebuah tradisi turun-temurun yang tidak boleh hilang.

Dari segi kebermanfaatannya, Noken memiliki fungsi sama dengan tas pada umumnya. Tas ini juga digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari dan hasil pertanian, seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, dan beberapa barang lainnya untuk dijual di pasar. Namun yang berbeda adalah mereka tidak menempatkan Noken pada bahu seperti kebanyakan tas, namun dibawa dengan kepala. Tidak ada penjelasan khusus mengapa tas ini dilekatkan di kening, hanya saja Martha Ohee seorang pengrajin kayu asal Papua mengatakan, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan warga Papua.

Sementara dari segi filosofinya, tas Noken dibuat secara khusus oleh para wanita Papua. Biasanya, mama-mama mengajarkan anak-anak perempuannya membuat Noken sampai mereka mampu membuatnya sendiri. Menurut mama Martha, kemampuan membuat Noken melambangkan kedewasaan seorang perempuan. “Rasanya, ia bukanlah seorang perempuan Papua apabila tidak bisa membuat Noken,” tegasnya.

Tidak hanya itu, perempuan Papua yang tidak bisa membuat Noken juga tidak boleh menikah, sampai ia benar-benar bisa membuat Noken dengan tangannya sendiri. Namun, seiring dengan perubahan jaman, adat istiadat seperti itu sudah mulai terkikis dan perlahan mulai hilang. “Sangat disayangkan sekali. Dulu itu, Noken bukan saja dianggap sebagai suatu alat untuk memindahkan sesuatu, tetapi juga lambang dari kedewasaan seorang wanita, tapi sekarang, warisan leluhur kami itu sudah mulai hilang,” ungkap Martha.

Demi menjaga keberlangsungan warisan budaya di tanah kelahirannya tersebut, Martha bertekad mengajarkan warga di kampungnya membuat Noken, khususnya bagi para perempuan. Selain menjadi pengajar, ia juga melestarikan keaslian Noken dengan tidak mencapurkan bahan-bahan kimia sebagai pewarna pada hasil karyanya.

“Sebagai seorang pengrajin, saya tidak ingin hasil warisan budaya Papua menjadi rusak dan hilang. Oleh karenanya, saya menurunkan talenta dan ilmu yang saya miliki kepada warga kampung Papua untuk membuat Noken dan terus melestarikan keberadaannya dengan menggunakan cara-cara tradisional dan alami,” tukas Martha.

Foto: Agus Riyanto.