R. Soetomo

0
2713

Apa yang menarik dari pendiri Boedi Oetomo ini? Banyak! Di antaranya adalah perbedaan pendekatan yang ia pilih dalam menghadapi penjajahan, dibandingkan dengan tokoh- tokoh lain. la kurang radikal, bahkan sering dicap kooperatif, namun justru karena itulah ia sangat berperan dalam merintis kesadaran rakyat ten tang arti penting persatuan dan mendidik mereka menjadi pandai. Soetomo, seperti kata Van der Veur, selalu berusaha membina kehidupan pribadi yang jujur, tanpa korupsi, tanpa mempermainkan rakyat yang alpa, tanpa tegang dengan perbedaan-perbedaan pendapat, serta mengakui kebenara  yang pahit sekalipun. la adalah pribadi produk Timur, produk dari kontinuitas sejarah. Sebagai wong Jawa, Soetomo selal memilih “jalan Timur” (atau “jalan tradisional Jawa”) dalam menghadapi berbagai persoalan.

R Soetomo dilahirkan di Ngepeh, Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur) , 30 Juli 1888. Ketika lahir bemama Soebroto. Perubahan nama menjadi Soetomo terjadi di Bangil ketika ia hendak dimasukkan ke Sekolah Dasar Belanda. Waktu didaftarkan di sekolah itu mula-rnula ia ditolak. Sedangkan anak pamannya yang bemama Sahit diterima. Pamannya, yaitu Ardjodipoero lalu menggunakan akal agar Soebroto diterima. Keesokan harinya ia membawa kembali Soebroto ke sekolah, dan menyatakan bahwa anak yang dibawanya itu adalah Soetomo, adik Sahit yang diterima lebih dulu. Anehnya, pimpinan sekolah tidak mengambil tindakan apapun kecuali menerirnanya, meskipun mengerti akal  Ardjodipoero. Sejak itulah nama Soetomo tetap dipakai sampai akhir hayatnya.

Semasa kecil Soetomo dimanjakan oleh kakek dan neneknya. Soetomo melihat dan menghayati gaimana kakek dan neneknya memberikan kasih sayang terhadap sesama manusia, bahkan terhadap binatang sekalipun. la mengenal kakeknya sebagai seorang yang keras dan kukuh pendirian, maka ia pun tumbuh sebagai pribadi berpendirian kukuh. la juga banyak belajar dari kesalehan dan ketaatan eribadah kakek-neneknya. Ayah Soetomo bemama R Soewardji. Menurut ukuran masyarakat pada waktu itu ayahnya sudah bisa dianggap “modem,” maju, bahkan menurut Soetomo sendiri, dapat disebut hypermodern. Kesan itu ditunjukkan oleh beberapa sikap dan perbuatan Soewardji yang dianggap menyalahi adat, antara lain:

Tidak berganti nama atau gelar-gelar yang lain, seperti kebanyakan orang lain sesudah dewasa (kawin) atau sesudah mempunyai pangkat; Sering mengucapkan kata-kata tidak adanya keadilan di antara sikap dan perlakuan bangsa kita terhadap kaum perempuan. la menyekolahkan anak perempuannya karena khawatir anak- anak perempuannya mengalami nasib tidak baik, seperti nasib anak-anak perempuan pada waktu itu. Sifat dan perbuatan ayahnya itu ikut membentuk sikap dan keyakinan Soetomo. Sejak lahir sampai kira-kira berumur tujuh tahun Soetomo diasuh oleh kakek dan neneknya; setelah mulai bersekolah, lebih sering berada di bawah pengawasan ayahnya. Keberhasilannya melatih diri agar dapat menahan nafsu, meluruskan jalan pikiran, menyadari kebesaran Tuhan, memupuk idam-idaman yang tinggi serta mulia, diperoleh sewaktu ia menumpang di rumah pamannya, Ardjodipoero, seorang ahli kebatinan yang sangat gemar tirakat. Baik dalam mata pelajaran umum maupun cabang-cabang

olahraga, kepandaian Soetomo di bawah Sahit. Meskipun guru- guru dan murid-murid bangsa Belanda tidak pemah menghina dia, telinganya panas dan darahnya mendidih kalau mendengar ada murid Belanda yang menghina murid Jawa. Setiap ada ketidakadilan, ia segera bertindak. Tidak jarang ia berkelahi dengan anak-anak di sekolah itu, khususnya dengan murid-murid Belanda, karena membela keadilan.

Kakek dan neneknya mengharapkan Soetomo kelak menjadi pangreh praja. Sebaliknya, ayahnya menganjurkan ia masuk sekolah dokter. Kedua pihak sering bersitegang mempertahankan pendirian sendiri-sendiri, Ketika itu, Soetomo dihadapkan pada pilihan yang sulit; siapa sebaiknya yang harus dituruti. la sangat mencintai kakek dan neneknya sehingga tidak mungkin membantah kemauan mereka.

Sebaliknya, ia pun sangat hormat kepada ayahnya, sehingga sukar untuk tidak mendengarkan kehendak orang tuanya. Dalam suasana gundah, Soetomo–yang ketika itu baru berumur 10 tahun– dipaksamemecahkan persoalan yang menyangkut masa depan dirinya. Akhirnya ia cenderung memilih sekolah dokter. la sangat terpesona ketika ayahnya memperlihatkan kepadanya seorang murid sekolah dokter yang berpakaian jas putih dan mengenakan peci. Jas dan peci putih itu, menurut penglihatan Soetomo sangat anggun dan menarik sekali. Keputusan itu menjadi penyebab utama mengapa ia memilih sekolah dokter. Sedangkan penyebab kedua, yang lebih memantapkan pendiriannya untuk tidak menjadi priayi pangreh praja seperti yang dikehendaki oleh kakek dan neneknya, ialah percakapan dengan ayahnya yang pada waktu itu menjadi asisten wedana.

Dalam berbagai kesempatan ayahnya sering berkomentar tentang buruknya derajad seorang priyayi BB (binnenlands bestuur = pangreh praja). Soetomo yang ketika itu sudah berumur 13 tahun merasa heran terhadap pandangan ayahnya: mengapa ayahnya masih mau menjadi priyayi BB padahal dirinya tidak senang kepada jabatan dalam pangreli praja itu. Mengapa tidak memilih jabatan yang lain saja; menjadi guru misalnya? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan tidak bisa hilang dari pikiran Soetomo, hingga akhirnya ia terpaksa bertanya kepada ayahnya: “Mengapa Bapak pun suka menjalani pekerjaan itu?” Mendengarpertanyaan tersebut, ayahnya menjelaskan:”Bila pekerjaan ini tidak saya jalani, apakah kau kira kamu sekalian dapat makanroti dengan mentega?” Setelah berhenti sejenak, lalu lanjutnya: “Hanya saja, permintaanku. Janganlah kiranya anak -anakku kelak kemudian hari, ada seorangpun yang menjadi priyayi BB.” Soetomo prihatin bahwa sebetulnya ayahnya telah menjadi “korban.” Tetapi mendengar jawaban itu, ia menjadi makin hormat kepada ayahnya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mengecewakan harapan ayahnya. la telah menentukan sikap dan pilihannya yang tidak mungkin diubah lagi, yaitu masuk sekolah dokter.

Pada tanggal 10 Januari 1903, Soetomo yang telah menginjak usia 15 tahun mencatatkan diri di STOVlA, bersama- sama dengan 13 orang dari beberapa daerah lain, yang sebagian dari mereka kelak menjadi teman seperjuangan, bersama-sama mendirikan Boedi Oetomo. Menurut pengakuan Soetomo, dalam dua tahun pertama masa belajarnya di STOVlA ia menjadi pelajar yang serampangan,’ malas, suka menurun, sombong, nakal, dan berkelahi, sehingga pelajarannya teramat mundur. Untunglah, dua tahun sebelum ayahnya meninggal dunia, ia telah sadar bahwa ayah menaruh pengharapan yang besar kepadanya.

Perhatian dan kasih sayang ayahnya terhadap dirinya selama ini telah mengubah sikap dan perangainya yang buruk. Semula, ia yang selalu merasa sebagai murid yang tidak mempunyai kemampuan belajar (karena malas), temyata melalui beberapa peristiwa yang dialaminya telah berhasil membangkitkan kepercayaan pada dirinya. Kini, ia merasa mampu dan tidak perlu kalah dari pelajar-pelajar lain dalam hal pelajaran apapun . Bersamaan dengan timbulnya kepercayaan terhadap kemampuan dirinya, ia pun berusaha menolong kawan-kawannya yang lemah. Melalui pengalamannya membangun kepercayaan terhadap dirinya, Soetomo berusaha membangkitkan semangat belajar kepada teman-teman sekelasnya. Sementara yang perlu ditolong, ia tak segan memberikan pertolongan. Pada saat mengikuti ujian atau ulangan Soetomo tidak cepat-cepat keluar ruangan, meskipun sudah selesai mengerjakan soal. la tetap duduk dengan tenang dalam kelas, menunggu teman-temannya agar tidak berkecil hati. Oleh karena itu, teman-temannya menjadi hormat. Perkataan dan pertimbangan- pertimbangannya mulai dihargai, sehingga seolah-olah Soetomo telah menjadi pemimpin di antara mereka. Hubungan dengan ayahnya pun membaik; bersemi rasa saling menghormati. Keadaan itu sangat menggembirakan hati Soetomo dan menimbulkan harapan yang baik bagi perkembangan keluarganya. Tetapi dalam keadaan yang penuh dengan cita-cita yang tinggi itu, tiba-tiba pada 28 Juli 1907 Soetomo menerima telegram yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Kejadian itu telah mengubah cara hidup Soetomo. la tidak mau lagi berkumpul dengan teman-temannya yang sedang bergembira bersendau gurau. la merasa bukan di situ lagi tempatnya, karena mungkin wajahnya yang sedih dan murung akan mengganggu kegembiraan kawan-kawannya. Di tengah kegalauannya, ia teringat ajaran pamannya Ardjodipoero. Jika malam tiba, ia menyepi, mengheningkan cipta, memohon kepada Tuhan agar sebagai anak sulung ia dapat menepati kewajibannya. Hubungan dengan teman-teman merengggang. Kini, temannya adalah bulan dan bintang-bintang yang senantiasa menyejukkan perasaannya. Cara hidupnya menjadi teratur dan cermat. Pakaiannya selalu teratur, kantongnya selalu berisi uang. Sedikit demi sedikit ia menyisihkan uang tunjangan yang diterima dari pemerintah, sehingga tidak perlu lagi minta bantuan dari rumah untuk membeli berbagai keperluan. Buah dari kontemplasinya yang mendalam itu adalah Soetomo mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik menjadi lebih bemilai. Artinya, Soetomo telah berhasil manatar dirinya menjadi seorang calon pemimpin yang baik, disiplin, dan mampu mawas diri. Kesadaran itu merupakan modal yang sangat berharga bagi Iangkah-langkah berikutnya sebagai  pemimpin pergerakan. Kesadaran itu pula yang membawanyak .. e jenjang sukses dan martabat seorang pemuka.