You are currently viewing Romantisme Yang Tumbuh Melalui Naturalisme Alam Indonesia
Lukisan berjudul "Sungai Tak Pernah Kembali" karya Basoeki Abdullah.

Romantisme Yang Tumbuh Melalui Naturalisme Alam Indonesia

Gunung dan sawah menyebabkan sejumlah hal: hidupnya kebudayaan sekaligus hancurnya peradaban. Disamping itu gunung dan sawah sering dikumandangkan sebagai persoalan sekaligus terapi atau penyeimbang kehidupan. Gunung dan sawah telah menjadi hal yang hakiki bagi manusia. Setiap semua bergantung dengan keeping-keping tanah yang harus menjalani proses terus-menerus dan berkelanjutan: ditanam dan dirawat meski sesekali diterpa masalah dan bencana. Sejarah tentang kehidupan manusia mengalami perubahan penting sejak pertama kali ia menemukan sistem cocok tanam. Mereka berhenti sebagai nomaden karena sawah (dan gunung). Manusia menunggui sawah dan menciptakan berbagai hal disela-sela waktunya. Gunung dan sawah akhirnya telah diakui sebagai tanda lahir dan hidupnya budaya (baca: kemanusiaan) itu sendiri.

Sejarah juga telah membuktikan bahwa karena hasil yang diolah di sawahlah yang menyebabkan Nusantara menjadi bahan persoalan, terutama bagi bangsa Arab dan Eropa. Sebagian dari kita mungkin tak mengalami masa-masa dimana panen padi dan rempah-rempah menjadi rebutan, namun sampai saat ini sawah tetap menjadi pergunjingan diantara kita. Pada dimensi lain, kemerdekaan republik ini juga salah satunya didukung oleh lembah, gunung, sawah dan hutan agar perjuangan para pendiri bangsa ini berhasil. Dilatari oleh sawah dan gegunungan revolusi dan tindak pengusiran penjajah dilakukan.

Lalu pada saat ini, Anda perlu mencermati bahwa kota yang makmur dan sehat adalah kota yang banyak memiliki hamparan sawah. Artinya karena sawah, segala persoalan sepertinya selesai: drainage, sampah, kebanjiran, kelaparan, hingga kebanggaan sebagai bangsa besar akan teratasi. Tak salah bila Soeharto di masa Orde Baru menjadikan sawah sebagai prestasi tertingginya, dan diakui oleh PBB.

Sawah dalam perspektif seni rupa telah dipakai sebagai inspirasi yang tiada henti. Sawah telah menjadi objek lukisan sampai sebagai media kreatif non lukisan. Lukisan dengan objek pemandangan menjadikan sawah sebagai elemen utama, selain gunung dan hutan (pepohonan). Jika merujuk sebagai media, sawah telah dipakai sebagai seni interaktif masyarakat, misalnya dalam festival seni sawah yang diadakan di Inakadate Jepang atau yang baru saja menjadi fenomena, crop circle.

Dalam konteks tradisi dan romantisme lukisan-lukisan yang dikerjakan oleh Abdullah Sr., Basoeki Abdullah, Wakidi, Ernst Dezentje adalah contohnya. Mereka mengembangkan konvensi atau tradisi melukis pemandangan secara akademis yang telah lama disandang oleh lembaga pendidikan Eropa. Mereka mengutamakan komposisi yang dinamis maupun statis yang diarahkan untuk menciptakan dunia baru yang memiliki tujuan untuk menarik perhatian penonton secara emosional dalam melihat realitas. Realitas dalam pikiran para pelukis semacam ini berbasis romantisme (sebuah angan-angan atau imajinasi yang bersifat dramatis) dengan mengedepankan kelebihan-kelebihan alam sebagai subjek maupun objek utama. Dalam karya-karya mereka kita tidak akan melihat sesuatu yang “jelek” tampil dalam karya, akan tetapi justru yang “indah” lah yang tampil.

Basoeki Abdullah adalah salah satu pelukis yang amat mencintai sawah dan gunung. Tidaklah mengherankan bila pada setiap lukisan yang bertema pemandangan, elemen sawah selalu muncul di dalamnya. Ia tidak saja melukis sawah sebagai lahan yang menjadi media menanam bagi sang petani, namun dalam lukisan-lukisannya juga terdapat imajinasi yang menyiratkan bahwa ia sedang menanam tanda-tanda. Dalam perspektif lain, pemaknaan sawah juga sampai pada dimensi sufiisme yang menanamkan rasa iman kepada sang penciptanya.

Sawah, dengan demikian adalah nafas hidup orang banyak, termasuk bagi pelukis Basoeki Abdullah. Tanpanya, mungkin Basoeki Abdullah punya cerita lain. Seri lukisan pemandangan yang tampil dalam pamerannya kali ini adalah bagian dari pernyataannya bahwa ia tidak hanya mengungkapkan keindahan alam semata, namun pikiran juga mengurangi tentang wacana sawah. Tanpa sengaja ia telah menggulirkan ide mengenai “bangsa sawah” dalam lukisan seri pemandangannya.

Sebagai bangsa yang hidup di tanah yang penuh dengan kawasan vulkanis, seyogyanyalah kita berlaku bijak dan mampu beradaptasi tanpa memaksakan kehendak agar bangsa ini seperti Negara orag lain. Bangsa ini adalah bangsa alam, bukan bangsa beton. Tanah negeri ini membutuhkan pepohonan, buka batu dan semen berakar besi. Jika akar pohon telah tergantikan dengan akar besi, bukan tidak mungkin kita hanya bisa melihat pemandangan alam hanya lewat gambar atau lukisan. Artinya bangsa ini sudah tak memiliki apapun.