You are currently viewing Basoeki Abdullah dan Budaya Jawa

Basoeki Abdullah dan Budaya Jawa

Basoeki Abdullah lahir di Surakarta, 1915. Ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO, Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia [ed.] di kota yang sama. Maka budaya Jawa, pasti sudah dibawanya sejak kecil. Ayahnya adalah tokoh seni lukis Abdoelah Soeryosubroto dan kakeknya adalah tokoh perjuangan nasional yaitu Wahidin Sudirohusodo. Lengkaplah latar belakangnya sebagai seorang Jawa dan keturunan tokoh besar pejuang bangsa. Ia menyaksikan kerja ayahnya dan sudah gemar menggambar sejak kecil. Kemudian ia mendapat beasiswa untuk belajar pada Academic for Beeldend Kunsten, akademi seni rupa di Den Haag.

Basoeki Abdullah mengalami masa kecil di alam dan kultur Jawa dan pada masa remaja ia mengenal budaya Belanda di alam kolonial Hindia Belanda, di alam kebebasan negeri Belanda. Dua hal inilah yang membentuk pemuda Basoeki Abdullah ketika ia kembali ke Indonesia pada masa Jepang bergabung dengan Poetra dan Keimin Bunka Shidoso. Pada masa Revolusi, ia banyak berada di Belanda dan kemudian berkeliling Eropa terutama Perancis dan Italia yang pada waktu itu jadi kiblat Seni Rupa Dunia. Ia juga mengikuti dan memenangkan beberapa lomba lukis internasional. Di Eropa, ia menempa diri menjadi pelukis kelas dunia dan kemudian banyak mendapat pesanan melukis potret bagi berbagai kalangan kaya.

Selama masa kecil dan remaja hidup dalam budaya Jawa, ia menyerap berbagai bentuk keindahan yang lahir dari seni tradisi Jawa, baik tradisi keraton maupun folklorik berupa mitos, legenda, dan dongeng. Ia akrab dengan berbagai ekspresi wayang, baik wayang kulit Jawa, wayang golek Sunda, maupun wayang orang. Dimasa kecil ia merasakan satu suasana seni komunal dalam berbagai keramaian desa, pertunjukan tari dan musik, serta gamelan. Ia telah merasakan keindahan alam tanah Jawa, baik dengan melihat secara langsung, maupun melalui lukisan ayahnya, Abdullah Soeryosubroto, dan kawan-kawannya. Gaya lukisan yang dianut oleh generasi masa itu adalah gaya realistik yang sering disebut naturalisme, yaitu melukiskan obyek yang ada melalui keindahan sapuan kuas, pilihan dan campuran warna, komposisi, tekstur, permainan nuansa, dan gelap-terang.

Ketika Basoeki Abdullah berangkat ke Belanda dan belajar di Academie for Beeldend Kunsten, ia menyerap lebih banyak lagi prinsip keindahan dan esensi estetika seni rupa Eropa melalui para guru dan maestro yang karya-karyanya dipajang pada berbagai museum, galeri, dan ruang publik. Disana ia melihat  bahwa seni adalah profesi khusus yang sangat dihormati dan dihargai. Apabila dikuasai dengan mahir, seni dapat meningkatkan derajat sosial dan penghasilan seniman. Karena itu ia bertekad untuk menjadi seniman besar. Disana, ia menambah dan memperkaya pengetahuan tentang seni lukis dan seni pada umumnya, ia melatih keterampilan dan kemahiran menata berbagai unsur rupa, juga mengasah kepekaan visual, kepekaan sosial maupun kepekaan budaya yang sangat penting dalam proses menciptakan karya. Ia belajar keras untuk bisa melihat dengan mata seniman, berpikir visual dan mencipta dengan tangan terampil seroang maestro.

Sesudah itu Basoeki Abdullah lama berada di berbagai tempat manca negara, termasuk menetap lama di Thailand menjadi pelukis khusus keluarga raja dan para tokoh. Ia sudah berkembang menjadi maestro dunia yang sesekali pulang ke Indonesia sampai awal 70an dan mulai menetap kembali di Jakarta. Dilihat dari tema lukisannya, maka kita akan banyak melihat lukisan potret para tokoh dunia, lukisan wanita, terutama wanita berparas Indonesia, lebih khusus lagi Jawa. Ia juga melukis wanita telanjang yang juga berparas oriental atau Jawa. Selain itu, ia juga banyak membuat lukisan yang terinspirasi mitos, legenda, dan dongeng Jawa seperti kisah, pewayangan (Pergiwa-Pergiwati, Pertarungan Gatut Kaca dan Antasena, Garuda menyelamatkan Shinta) maupun mitos dan dongeng rakyat (Nyai Roro Kidul/Kanjeng Kidul, Kisah Jaka Tarub, Sarong Bali) dan lukisan spiritual lain yang berbasis pandangan Jawa.

Basoeki Abdullah jelas mencintai dan merasuki Budaya Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tema lukisan mitologi, lukisan kecantikan dan keindahan tubuh wanita Jawa, romantisme tokoh pejuang idolanya (Diponegoro dan Soekarno), lukisan lanskap dan suasana pertanian dan pedesaan dan dari koleksi keris, serta berbagai artefak dan wayang dimilikinya. Namun apakah hal ini signifikan bagi keahlian dan nama besarnya sebagai tokoh besar dalam dunia seni rupa Indonesia?

Seorang seniman terbentuk karena latar belakang pengalaman, mimpi, cita-cita, idealisme dan pandangan-pandangan. Basoeki Abdullah adalah seorang seniman yang lahir dan dibesarkan di alam Jawa, lalu belajar seni secara Eropa, dan kemudian sukses dalam profesinya sebagai seniman dunia. Ia adalah seorang anak Jawa yang lahir dimasa penjajahan dan menjadi besar dalam alam pikiran para penjajahnya yaitu bangsa Belanda. Ia adalah orang yang telah menguasai satu ilmu dan menjadi berhasil sebagai pribadi dan seniman. Pengalaman batin dan emosinya terikat ke alam Jawa. Hal ini nampak pada tema-tema dan ketertarikannya pada manusia Jawa yang menjadi sumber inspirasinya terus menerus. Meskipun sebagai seniman ia tidak terlatih untuk mengungkapkan diri melalui seni Jawa, ia mahir dalam seni Barat dan punya kekuatan besar di bidang itu. Karena ia hidup di dua alam yang kontras; masyarakat Jawa yang guyub dan selalu berbagi dalam urusan sosial budaya dan karakter orang Belanda yang rasional, individualistis, materialistis, serta penuh persaingan. Ia seakan akan hidup di dua dunia dan melukiskan keduanya dengan baik.

Basoeki Abdullah sering dianggap sebagai pelukis Hindia Molek, atau Mooi Indie karena memang berada pada masa yang hampir sama. Gaya Mooi Indie dikaitkan pada sikap Orientalisme, yaitu sikap yang umum pada seniman atau budayawan asing yang datang ke satu tempat (Asia atau Afrika) dan merasa bahwa mereka menemukan banyak hal mistis dan eksotik pada budaya setempat yang layak di pelajari, dituliskan, dan atau dilukiskan. Para orientalis ini melihat bahwa hal yang terjadi sehari-hari di tempat baru adalah hal yang luar biasa sehingga bisa menjadi ilham untuk mencipta hal yang istimewa. Para seniman orientalis datang dari negara Eropa yang mulai memasuki awal Revolusi Industri menuju ke tempat yang bagi mereka menarik karena belum tersentuh peradaban. Basoeki Abdullah tidak seperti itu. Ia datang dari tanah dan budaya Jawa yang sudah menjadi bagian dari dirinya, belajar teknik dan pengetahuan barat, dan kemudian kembali. Respek dan kekagumannya terhadap seni tradisi dan kehidupan tradisi telah menjadi bagian dari latar belakang karakternya. Ia mengalami, apa yang mungkin dialami banyak seniman yang melanglang buana, yang ketika kembali ke tempat asal mereka menemukan kembali sesuatu yang pernah dikenal sebelumnya. Ia tidak seperti pelukis Belanda atau Belgia yang takjub pada alam dan budaya Jawa atau Bali dan merasa bahwa mereka menemukan ‘lost paradise.’

Melihat tema-temanya, lukisan-lukisan tersebut dekat dengan para pelukis Neoklasik dan Romantisme dalam Sejarah Seni Rupa Eropa (Abad 18 -19) khususnya Ingres, Goya, Gericault, Constable, Delacroix, Corot, dll). Pada umumnya pelukis ini melukis potret warga bangsawan dan istana, kisah heroic, mitos, legenda, dan peristiwa dramatis. Gaya Neoklasik dan Romantisme ini selalu didasari penguasaan penggambaran alam dan lanskap yang realistik, anatomi yang didistorsikan untuk meningkatkan drama, background yang dramatis dan penguasaan detil yang indah. Mereka menguasai berbagai unsur ruang dan rupa dan dapat memadukannya dalam satu komposisi cahaya dan ruang yang memberi suasana dramatik dan kuat. Mereka punya keahlian menciptakan drama dan suasana mistik, baik dalam penggambaran obyek utama, obyek pendukung, maupun latar belakang. Awan-awan yang berarak, laut bergelora, serta nyala warna api melatar belakangi peristiwa heroik atau tokoh pahlawan.

Suasana syahdu, warna-warna lembut, nuansa dan gradasi indah menjadi latar belakang yang umum bagi putri cantik dan anggun. Kemampuan untuk melukis seperti itu menjadi keharusan mutlak bagi pelukis romantisme. Mereka harus mampu menciptakan drama, kalau perlu dengan ‘melebih-lebihkan’ efek kekasaran, kecantikan, atau nuansa emosi lain. Mereka banyak mempermainkan proporsi dan anatomi justru untuk menciptakan drama suasana nyata.

Ketika Basoeki Abdullah melukis Pertarungan antara Gatotkaca dan Antasena, ia tidak menggambarkan kedua tokoh wayang kulit, wayang orang, atau wayang golek yang menjadi sumber referensi budayanya. Ia menggambarkan sebagai pertarungan enerji antara dua tokoh yang punya karakter super-human. Ia mengabaikan atribut dekoratif dan simbolik yang biasa digambarkan dalam seni tradisi demi mencapai drama besar tentang adu kesaktian. Maka alam harus meledak-ledak, laut harus pecah bergelora dan benturan energi harus tegas dan nyata. Anatomi harus mendukung ‘action’ tersebut dan gambaran kejadian harus lugas dan nyata. Dalam tradisi Jawa, dalam Wayang Orang terlihat kesaktian dan energi positif dikeluarkan melalui stilasi bentuk dan gerak. Tokoh yang sakti biasanya satria gemulai atau raksasa sangar.

Dalam seni para tokoh romantisme, semua gerak dan gesture fisik harus menjadi bahasa utama. Demikian pula ketika ia melukiskan Gatutkaca dan Pergiwa Pergiwati, dalam lukisan tersebut ia tidak mengambil referensi dari wayang kulit maupun wayang orang karena ia ingin menggambarkan kecantikan yang nyata, kecantikan yang kita kenal dari melihat orang sekitar kita, atau secara khusus dari model yang cantik mempesona dengan postur dan gestur yang tidak mencerminkan wanita yang tersesat, lelah, dan ketakutan karena dikejar-kejar para Kurawa. Pengetahuan dan referensi Basoeki Abdullah tentang mitologi dan legenda Jawa sangat luas, namun dalam melukis, ia berusaha supaya perempuan yang di lukisnya itu hidup, nyata, dan cantik sehingga ia meminjam kecantikan itu dari model yang hidup.

Alam mitos dan dongeng selalu mengangkat tokoh dewi atau peri yang sangat cantik dan muda. Basoeki Abdullah punya idealisme tersendiri tentang kecantikan perempuan. Ia mencoba membuat kecantikan model yang nyata menjadi kecantikan seorang dewi yang abadi. Sementara itu, ia juga membuat kecantikan para dewi dalam mitos, dongeng, dan kisah wayang menjadi nyata dan hidup diantara kita. Nyai Roro Kidul, tokoh mistis yang dikenal sangat cantik dan berkuasa dilukiskan menjadi perempuan lembut, cantik dan keibuan, yang rasanya pernah ada disekitar kita atau di film Indonesia.

Lukisan Jaka Tarub memperlihatkan sekelompok wanita dengan tubuh sensual, segar, dan muda sedang mandi ditengah alam. Mereka semua seperti melayang dan bermimpi sehingga tak sadar bahwa sedang diintip oleh si pemuda desa. Kalau kita melihat lukisan itu, maka kesan utamanya adalah perempuan muda yang cantik dan telanjang di alam terbuka, dongeng Jaka Tarub menjadi tidak penting. Konsep tentang kecantikan berubah sesuai zaman. Kecantikan yang sering diangkat Basoeki Abdullah adalah kecantikan yang berbasis pada referensi kehidupan berbudaya timur, terutama budaya Jawa. Idealisasi kecantikan seperti itu juga dipunyai oleh kawan dekat dan salah satu patron Basoeki Abdullah yaitu Presiden Soekarno. Idealisasi kecantikan seperti itu, wanita cantik, berisi, berkebaya, lembut namun punya tatapan kuat dan misterius, dengan wajah sendu dan anggun, juga menjadi model kecantikan yang banyak kita lihat pada film Indonesia tahun 40an dan 50an, serta pada iklan-iklan produk konsumen masa itu. Salah satu sumber inspirasi Basoeki tentang kecantikan yang langgeng adalah kecantikan putri-putri keraton yang juga mewakili konsep kecantikan bagi masyarakat Jawa.

Basoeki tidak banyak melukis kecantikan naif seorang desa seperti yang banyak di akukan pelukis orientalis. Ia lebih mahir melukiskan kecantikan yang anggun dari wanita mapan yang cerdas dari kalangan atas atau bangsawan. Itu adalah kekuatan yang umum dikuasai oleh para pelukis romantisme Eropa Abad 18 – 19. Konsep bahwa keindahan drama dan kisah atau tokoh yang besar yang tadinya ada dalam benak kita harus bisa diungkapkan secara visual. Bagi tokoh nyata, lukisannya harus memancarkan cahaya kecantikan yang nyata dan memberi pesona pada kita bagai lukisan fantasi dan mitos. Lukisan itu harus membuat kita percaya bahwa kecantikan itu nyata dan hidup. Untuk itu ia meminjam kecantikan atau keindahan tubuh seorang model. Basoeki percaya bahwa keindahan ada pada berbagai hal; wanita, bunga, karakter wajah, alam, langit, petani, kerbau, dan pada berbagai obyek atau subyek dalam sebuah kisah. Hal ini harus diangkat sehingga terasa nyata dan kita percaya bahwa hal itu ada. Untuk itu perlu dramaturgi, menggunakan kekuatan deskriptif dan kekuatan asosiatif memakai bahasa seni lukis yang sangat dia kuasai.

Kembali ke masalah utama kita mengenai Basoeki Abdullah dan Budaya Jawa. Melihat sejarah hidup maupun karya-karyanya, jelas bahwa Budaya Jawa selalu melekat dalam dirinya. Namun, Basoeki Abdullah juga adalah warga dunia yang tidak asing dengan ekspresi budaya serta pemikiran intelektual Barat dan biasa bergaul dengan tokoh tingkat tinggi di Indonesia dan bergaul dengan berbagai tempat. Basoeki Abdullah adalah pribadi dengan berbagai fase hidup, dan salah satu wajahnya adalah Basoeki Abdullah sebagai orang Jawa. Mimpi dan fantasinya sangat universal dan idealisme seninya sangat kaya, namun sebagian dari mimpi dan fantasinya jelas bersumber pada referensi Budaya Jawa. Pada akhirnya mungkin Budaya Jawa telah membentuk karakter awalnya, tetapi Basoeki Abdullah juga punya jarak tertentu dengan kehidupan Jawa karena ia sangat banyak pergi ke luar negeri mewakili seni lukis baru Indonesia dan kemudian pada akhir hidupnya ia menetap di Jakarta, jauh dari kehidupan tradisi Jawa. Ia adalah seniman yang hidup di dua dunia, dan selalu seperti itu.

Oleh : Wagiono Sunarto

  • Tulisan ini semula adalah makalah dalam seminar “100 Tahun Basoeki Abdullah”, September 2015.
  • Wagiono Sunarto adalah Rektor Institut Kesenian Jakarta.