You are currently viewing Perkembangan Seni Lukis Potret di Indonesia
Potret Dewi Soekarno karya Basoeki Abdullah

Perkembangan Seni Lukis Potret di Indonesia

Seni lukis potret merupakan hasil seni yang paling humanistik, potret perseorangan, potret kelompok, orang-orang (pria atau wanita) dilukiskan bukan saja menggambarkan kenyataan visual mereka, tetapi juga lengkap dengan jiwa orang yang dilukiskan itu. Secara historis potret adalah pernyataan dari kemanusiaan manusia. Oleh karena itu lukisan potret yang baik dapat dijabarkan sebagai penggambaran rupa yang tepat atas karakter seseorang. Artinya seorang pelukis potret dapat menangkap pribadi tokoh dan melukiskan keunikannya. Dengan demikian jelas bahwa “ketakjuban” yang kita peroleh dari perwujudan seni lukis potret tidak semata-mata bersifat estetik, tetapi sekaligus juga apresiatif terhadap nilai-nilai seni dan kemanusiaan dalam segala manifestinya.

Potret Sebagai Representasi

Dalam konteks demikian pelukis dapat diandaikan bagai seorang psikolog yang menggunakan media cat dalam mengungkapkan kebenaran objektif yang dia hadapi, realitas kehidupan manusia secara visual dan spiritual. Jadi seni lukis potret berbeda dengan seni lukis alam benda yang lebih menekankan aspek peniruan benda semata. Dalam karya seni lukis potret terbaik, seorang pelukis bertindak lebih jauh dari sekedar menggambarkan ekspresi sifat-sifat modelnya, melainkan memiliki kecenderungan menampilkan nila-nilai psikologis (nilai-nilai yang timbul dari kejeniusan seorang pelukis). Misalnya penggambaran tokoh-tokoh dalam lukisan potret Raden Saleh yang tidak hanya sekedar menuliskan rupa dan sifat-sifat modelnya, tetapi juga mengekspresikan nilai filosofis budaya arisiokrat sebagai prototipe ideal kehidupan yang eksis dalam sejarah. Raden Saleh adalah seorang seniman yang intelegensinya luas.

Dalam proses kreatifnya, Raden Saleh tidak sekedar melihat dan merasakan bentuk luar dari pada apa yang dihadapinya, ia dapat menangkap vitalitas indrawi dan sublimasi model-modelnya dengan impresi dan imajinasi yang kaya. Raden Saleh adalah pelopor dan perintis seni lukis potret Indonesia yang legendaris.

Kritikus seni rupa Kusnadi antara lain menulis, “Wajah bupati tampak dalam lukisan yang diciptakan pada tahun 1852, memiliki watak yang bersinar keagungan dan kebijaksanaan. Pencerminan perwatakan yang demikian jelas membuat karya potret untuk itu patut dikagumi dan dicatat sebagai salah satu karya terbaiknya. Seluruh bagian yang nampak dalam kanvas, menjadi perhatian yang seksama. Seperti penggambaran keris dengan bagian-bagian ukiran dan rangka, serta pendok yang dihiasi berlian, masing-masing telah dilukiskan dengan pengamatan yang tajam. Begitulah baju resmi kebesaran bupati, kain gaya ke Cirebonannya serta tangan, merupakan bagian-bagian karya yang dilukis secara sempurna. Penjelasan ini memperingatkan bahwa Raden Saleh sangat terampil melukis rupa objek dengan rinci, sehingga menghasilkan potret yang mengagumkan.

Pada 1838, Raden Saleh ditugaskan melukis potret diri Marshall Herman Willem Daendles (1762-1818), seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang otoriter selama masa Napoleon (1807-1811). Namun sang Marshall yang berhati baja itu sudah meninggal dunia ketika Raden Saleh meninggal dunia ketika Raden Saleh membuat lukisan wajahnya. Maka, lukisan ini diperkirakan dibuat berdasarkan lukisan atau gambar yang sudah ada. Raden Saleh melukis sang Marshall dalam posisi berdiri dan berpakaian kebesaran lengkap, seragam biru berkerah tinggi dengan banyak bordiran emas, lengkap dengan ban pundak yang megah. Tangan kanannya yang ditutupi sebuah jaket sedang memegang sebuah binocular (teropong dengan dua lensa). Jari tangan kiri Daendles yang terletak di atas meja dilukiskan sedang menunjuk sebuah peta, yaitu peta daerah Megamendung, Jawa Barat. Latar belakang lukisan ini adalah sebuah gunung yang tertutup hutan lebat. Pada bagian kiri lukisan terlihat sebuah jalan berliku dari kejauhan. Samar-samar terlihat para pekerja paksa yang dilukiskan sebagai tubuh-tubuh kecil yang sedang mengerjakan jalan. Dada sang Marshall dihiasi oleh dua penghargaan yang menarik perhatian. Emblem penghargaan ini dilukiskan dengan sangat cermat dan rinci sehingga mirip dengan aslinya. Pernyataan ini menunjukkan pula kemampuan Raden Saleh melukis realis yang sangat cermat.

Kritikus seni rupa Sudarmaji mengakui keunggulan Raden Saleh dalam melukis potret, meskipun dapat pula memperlihatkan berbagai kekurangan pada lukisan Raden Saleh. Antara lain Sudarmaji mengatakan, “Lukisan Potret Saleh banyak yang bagus, umpamanya Potret H. W. Daendles, Potret J. C. Baud, Potret N.y.v Reede v Oudshoom. Tetapi memang bukan tanpa kekurangan. Kekurangan Saleh dalam menggambar manusia umunya ialah pada selain wajah. Misalnya tangan, kaki, atau bahkan proporsi dan perspektif sering tidak tepat. Sebagai contoh ialah pada lukisan ‘Penangkapan Diponegoro’. Namun bagian manapun peranan Saleh Syarif Bustaman dalam memacu perkembangan seni lukis modern Indonesia tidak bisa disangsikan. Pelukis pelanjut, mendapat kepercayaan diri dari Saleh itulah. Mereka umpamanya: Pirngadi, Abdullah Suriosubroto, Wakidi, Sudjojono dan lain-lain.” Termasuk pelukis Basoeki Abdullah, seorang pelukis potret yang menguasai teknik melukis akademis. Dalam hal kemampuan merepresentasi figur yang dilukis, maka Raden Saleh, Basoeki Abdullah, Dullah, Sudarso, Barli, dan kawan-kawan merupakan tokoh seni lukis potret sebagai representasi. Masa ini berlangsung dari tahun 1838-1935.

Potret Sebagai Ekspresi

Seni lukis potret sebagai media ekspresi pada awalnya muncul sejak pra-Persagi, dan berkembang pesat di masa persagi dan berkembang pesat di masa persagi dan era sanggar-sanggar sekitar tahun 1938 ke atas. Lukisan potret Ibuku (1935), Sesudah Konser (1936), Di Depan Kelambu Terbuka (1939), dan Cap Go Meh (1940) oleh S. Sudjojono, Potret Diri (1936) oleh Safei Sumardja, Ny. Cantari (1936) Gatotkaca dengan Anak-Anak Ardjuna (1956) oleh Basoeki Abdullah, Aku Aan Kartika (1939) dan Ibuku (1941) oleh Affandi, Penan dan Wanita Yogya oleh Trubus. Dik Kedah dan Kustiyah oleh Sudarso, Kakek Petarung Ayam (1941) oleh Le Man Fong, Kakek dan Menyusui karya Dullah, dan nyaris semua pelukis pernah membuat lukisan potret yang ekspresif, seperti Hendra Gunawan, Barli, Wahdi, Sudjana Kerton, dan lain-lain. Fenomena ini berlanjut pada era seni lukis kesang-garan, dan makin berkembang setelah hadirnya pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia (Bandung 1947 dan Yogyakarta 1950). Karena para mahasiswa seni rupa khususnya di Yogyakarta mulai zaman ASRI, STSRI ASRI, sampai FSR ISI dilatih dalam matakuliah melukis model.

“Persaudaraan” lukisan ekspresif dan lukisan realistik itu tercermin pada metode pendidikan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI” Yogyakarta. Perguruan seni rupa ini dikenal sangat dibayangi realisme Sudjojono sampai dekade 1960-an. Disini teknik melukis realistik yang sangat cermat diajarkan, bahkan sampai kini. Wacana realisme membuat pelajaran melukis realistik ini bukan sekedar akademisme.

Karena itu hampir semua lulusan perguruan seni rupa Yogyakarta ini menguasai painstaking realism, Sementara itu bimbingan melukis dalam sanggar biasanya dilakukan oleh masing-masing ketua perkumpulan, baik dalam arti estetis maupun dalam pengarahan cita-cita sanggar dengan dibantu beberapa anggota perkumpulan yang ketua oleh ketua sanggar dianggap senior melalui cara melukis bersama dengan model yang disediakan. Pada periode ini banyak dihasilkan lukisan potret, misalnya dari para pelukis yang terhimpun dalam Pelukis Rakyat dan Seniman Indonesia Muda.

Selain ciri kehematan kombinasi warna yang terdapat dalam lukisan, masih terdapat tanda-tanda lain seperti tema yang mencatat situasi kehidupan yang sulit dan mengabadikan berbagai perjuangan fisik melawan tentara Belanda melalui sketsa-sketsa langsung dikerjakan cieh Hendra dan Haryadi. Juga banyak dilukis karya potret diri. Melukis wajah sendiri ini selain merupakan bentuk studi yang baik tentang wajah dengan ekspresi perwatakannya juga merupakan cara melukis yang hemat, tanpa pengeluaran biaya model.

Jika dicermati dengan baik, seni lukis potret sebagai ekspresi ini memiliki banyak kecenderungan; kecenderungan ekspresi emosional (Affandi), ekspresi erotik (Basoeki Abdullah, Lim Vasim, Daniho, dan kawan-kawan), ekspresi fantasi (Haryadi, Basoeki Abdullah, Lucia Hartini, Astari Rasyid, dan lain-lain); ekspresi (potret) diri (semua pelukis). Dalam konteks ini seorang kritikus mencatat;

“Kanvas, cat, kuas, dan cara khas seorang pelukis bekerja gayanya ikut menambah sesuatu pada sang tampang. Jika Suparto membuat potret diri, ia kelihatan dekoratif, Ia menyadarkan kita “diri” itu ialah diri yang dilihat sebuah gaya. Dan, apakah Affandi bisa lain, kecuali seperti dalam lukisannya yang manapun menggebu-gebu dengan coret-moret yang meliuk bergulung, trademark-nya yang tersohor itu? Sedangkan Popo Iskandar menangkap warna (fisiogonomi) wajahnya yang tenang termenung, melalui gaya hemat dan sederhana.”

Demikianlah kita lihat ekspresi wanita (Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, Sudjojono, Trubus, Sarli, Sudjana Kerton, Sudarso; ekspresi kemanusiaan, misalnya dikemukan oleh pelukis Affandi. Katanya;

“Apa yang saya capai sekarang hanya berdasarkan pengalaman. Saya tidak tahu apakah lukisan saya bagus atau bermutu menurut seni lukis. Beberapa kritikus di Barat menyebutkan lukisan-lukisan saya sebagai suatu jalan baru dalam ekspresionisme. Tapi bagi saya, aliran saya adalah humanisme. Artinya saya melukis berdasarkan Perikemanusiaan. Itu semboyan hidup saya. Jika saya tidak menjadi pelukis, tetapi jadi dokter atau tukang beca umpamanya, kemanusiaan itu tetap menjadi tujuan saya. Artinya saya akan bertindak atas dasar perikemanusiaan. Saya tidak mempunyai cukup kepribadian yang besar untuk menempatkan seni di atas kepentingan keluarga. Saya akan berhenti melukis bila melihat anak saya sakit.”

Teknik melukis dengan plototan langsung yang terus-menerus digunakannya secara konsekuen merupakan salah satu penemuannya dalam dunia seni lukis. Belum kecintaanya terhadap manusia yang banyak menderita dan yang miskin, untuk disodorkan sebagai persoalan umat manusia secara keseluruhan untuk dipecahkan. Nilai humanisme inilah pada dasarnya yang membuat lukisan dan diri Affandi dihargai orang.

  1. Sudjojono dengan konsep seni “jiwa ketok”nya sampai tahun 1980an tetap menarik perhatian, terutama dalam ketrampilan sapuan kuas dan pewarnaannya, “Warna yang keras cemerlang, bermunculan pada sejumlah kanvasnya. Contoh paling baik dalam pameran ialah Maya Sweet Seventeen (1983): warna merah yang sangat menyala hangat mengembang, merupakan bagian penting dari tafsir Sudjojono tentang keremajaan putrinya, Maya.” Karya monumental Sudjojono adalah Lukisan itu berukuran raksasa, yaitu 1000x800cm. Untuk membuat lukisan itu Sudjojono mengadakan studi tentang sejarah dan kehidupan serta kebudayaan. Ia meneliti dan mempelajari misalnya kain apa yang kira-kira dipakai Sultan Agung pada zaman itu berdasarkan naskah-naskah yang ada. Ia pun mengetahui dari sejarah bahwa Belanda mempergunakan serdadu sewaan orang Jepang untuk melawan bala tentara Mataram sehingga dalam lukisan itu nampak orang-orang Jepang. Lukisan itu merupakan salah satu epos perjuangan bangsa yang penuh dengan kekejaman dan kepahlawanan, penuh dengan patriotisme dan keganasan.

Dalam kaitannya dengan potret sebagai ekspresi fantasi, dikemukakan dengan sangat baik oleh pelukis Lucia Hartini.”

“Dalam imajinasi aku merasa terbang melihat sesuatu yang lain yang tidak aku kenal sebelumnya, kemudian melintasi planet-planet, benda di langit, samudera suatu bentuk asing dari pemandangan yang fantastik. Kemarahan dapat aku pindahkan ke dalam simbol dan warna kemudian menjadi suatu dunia imajinasi dan fantasi yang tidak pernah berakhir, berasal dari pengalaman nyata dan lamunan yang dalam. Pada lukisan-lukisan yang mengharukan bersumber dari bagian-bagian yang tidak kelihatan keberadannya, hembusan angin, getaran alam, dan perasaan-perasaan pribadi, sedih, tidak aman, serta ketakutan. Berdasarkan uraian ini kaitan penggambaran figur manusia dalam lukisan potret tidak lagi terbatas pada objek nyata, namun telah membaur dengan objek-objek khayati, tatkala imajinasi berperan aktif dalam proses kreatif.”

Tema-tema lukisan Basoeki Abdullah yang diambil dari legenda semakin menonjol eksistensinya ketika ia menuliskan Joko Tarub, lukisan yang berkisah tentang tujuh bidadari yang turun dari langit dan mandi-mandi di pancuran bumi menjadi begitu eksotis dan sekaligus erotis ditangannya. Tujuh wanita cantik itu digambarkan menggeliat kegirangan di bawah dinginnya air. Dengan ketelanjangan yang merangsang. Dengan kulit-kulit tubuh yang putih keindo-indoan. Di semak-semak dekat pancuran itu nampaklah Joko Tarub yang sedang mencuri selendang terbang salah seorang bidadari yang mandi itu. Lukisan Joko Tarub ada beberapa versi, yang dilukis Basoeki Abdullah dengan menggunakan gadis model untuk mendapatkan plastisitas bentuk dan anatomi yang tepat, serta menempatkannya pada gejala alam fantastik. Periode potret ekspresi berlangsung dari tahun 1935-1974.

Potret Sebagai Bentuk Estetis

Kecenderungan pelukisan potret untuk mencapai bentuk estetis muncul pada tahun 1956, ketika G. Sidharta melukis Potret Orang Tua (1956), But Muchtar Wanita Bali (1957), Teguh Ostenrik Genggaman Suling, A. D. Pirous Wajah (1970), Srihadi Wanita-Wanita, Abas Alibasyah Sekaten Yogyakarta, dan lain-lain. Pada masa ini, peniruan rupa manusia tidak menjadi bagian utama dalam aktivitas kreatif, tetapi menciptakan rupa baru yang indah dalam wujud dan warna yang harmonis atas bentuk dasar manusia adalah tujuan melukis. Seni lukis potret Indonesia terkena imbas dari kejayaan seni lukis formalis atau seni lukis abstrak yang sedang eksis pada tahun 70an. Periode ini berlangsung 1956-1974.

Potret Sebagai Instrumen

Pada masa revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia, seni lukis potret, seperti juga seni lukis pada umumnya, berperan sebagai alat perjuangan, baik dalam arti untuk kepentingan diplomasi, propaganda, bahkan para pelukis turut serta ikut berjuang untuk mencapai cita-cita bangsa. Hal ini dapat diketahui dari ungkapan berikut.

“Banyak di antara para seniman Indonesia yang dalam masa revolusi ikut memanggul senapan, ikut berjuang sambil mengabadikan perjuangan itu dalam karya-karya lukisannya. Karya-karya seperti “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (Affandi, 1946), “Kawan-kawan Revolusi” (Sudjojono, 1947), “Persiapan Gerilya” (Dullah, tanpa tahun) adalah beberapa contohnya. Dengan demikian sangat logis jika Adam Malik sebagai seorang kolektor seni lukis mengatakan, “Sejak semulapun, perhatian saya terhadap seni lukis nasional, yang berawal sebelum masa kemerdekaanpun, telah senantiasa terdorong bukan saja oleh apresiasi dari segi seni saja, tapi juga karena kesadaran betapa vitalnya daya seni lukis itu sebagai salah satu ekspresi cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia dari zaman ke zaman.”

Gejala sama secara lebih tegas dikatakan “Oleh seniman-seniman yang berpaham marxisme, hal ini dijadikan suatu tuntutan atas tugasnya untuk ikut serta dalam pergolakan perubahan, dengan membuat karya-karya yang mencerminkan etos baru. Jadi karya seni diciptakan dalam situasi semacam ini harus merupakan suatu ungkapan progresif yang mengungkapkan pemikiran baru. Tidak cukup dengan ungkapan ekspresif yang hanya membawakan isi perasaan dan emosi Seniman berkewajiban menjadi pelopor dan ideologi dari perubahan masyarakat. Dengan kata lain seni adalah instrument yang membela kepentingan rakyat.

Pada tahun 1988 Brita L. Mikiouho-Maklai menulis tentang wawasan seni Semsar Siahan, antara lain dikatakannya, “Ia percaya bahwa komitmen sosial adalah bagian esensial dari seni, sehingga Ia dapat menggabung ke dalam perjuangan besar pembahasan kemanusiaan dari penindasan. Ia menghimbau para seniman meninggalkan cara-cara meromantisasi kemiskinan. Seniman diharapkan membawa “semangat pembaruan kemanusiaan bagi seni”. Semangat ini akan menciptakan kepribadian yang baru bagi seni kontemporer Indonesia. Dan Ia akan membuat kepribadian itu, “hidup, segar, dan kuat” Boeng Ajo Boeng (baca: Bung Ayo Bung) lukisan poster yang dipesan oleh Bung Karno dengan ide kreatif oleh S. Sudjojono, dilukis oleh Affandi, dan teks oleh Chairil Anwar. Sebuah kreasi kolaborasi antar politisi, pelukis, dan penyair, pada masa revolusi fisik kemerdekaan bangsa Indonesia.

Potret Sebagai Eksperimen

Karya Sudarisman bergerak di antara realisme fotografi, kecenderungan realitas yang dilihat secara kritis dan berupaya menyibak lapis-lapis realitas itu hingga ke wilayah-wilayah privat dan sensual. Tak jarang tampak payudara indah, paha mulus, atau celana dalam, dipertemukan dengan pantalon, hem, stelan jas, atau busana tradisional Jawa (surjan dan blangkon), blue jeans, topeng, yang dijajar-jajarkan dengan wajah cantik. Demikianlah sesungguhnya realitas; antara yang nyata, yang maya, yang massif, yang omamentik, menjadi kenyataan sehari-hari. Lukisan Pariwisata, 2004 menghadirkan lapis-lapis realitas semacam itu. “Dulu para pelukis realis Indonesia menggambarkan figur manusia atau alam benda melalui pengamatan langsung. Mereka harus menghadapi model-model atau obek-objek yang mereka lukis, maksudnya untuk merasakan karakter khusus model atau objek itu. Di tahun 1970-an muncul cara baru dalam menciptakan lukisan realistik. Para pelukis mentransformasikan foto-foto pada kanvas. Lukisan menjadi lebih tajam dan merefleksikan karakter lensa makro kamera sehingga realitas fotografi dalam suatu hal berbeda dari realitas yang kita kenal.”

Dede Eri Supria Going to the Market, Sudarisman Bringharjo Market (1996), Rendra Santana Pembekuan Budaya (2009), Sairi Lumut Senandung Alam Pedesaan IH (2009), Evi Muheriyawan Di dadaku ada kamu (2009), Yuli Kodo, Sedumuk Bathuk Senvari Bumi (2009).

Periode ini berlangsung dari tahun 1975-2009, hingga tahun 2010 aktivitas melukis potret sebagai eksperimen masih berlangsung, arahnya berkembang kedua jalur. Pertama, menuju realisme fotografis. Kedua, realisme cermat yang memiliki tendensi menyajikan problem filosofis. Misalnya dapat dilihat pada karya Agus Suwage The Small Thing (2002).

  • Tulisan ini semula adalah makalah untuk diskusi seni potret di Museum Basoeki Abdullah, Oktober 2010.
  • Sem C. Bangun adalah pengamat dan pengajar seni.