You are currently viewing S. Soedjojono: “Basoeki itu Jenius”
Tiga maestro lukis Indonesia (kiri ke kanan): Basoeki Abdullah, S. Sudjojono dan Affandi, duduk bersama dalam sebuah pameran yang saat itu sempat menggegerkan dunia lukis di Indonesia. *Foto oleh Historia

S. Soedjojono: “Basoeki itu Jenius”

Walaupun dalam perjalanan karir kedua maestro lukis Indonesia, Basoeki Abdullah dan S. Soedjojono, kerap terjadi pertentangan, tetapi sejatinya mereka saling menghormati dan mengagumi satu sama lain.

Dengan lukisan-lukisanya yang salonistik, manis, glamour dan realis romantik, Basoeki Abdullah menyapu pandangan penggemar lukisan tanah air. Tapi tak berarti lantas Basoeki tidak melukiskan dunia rakyat, atau dunia yang sakit, pedih, menderita. Sangat banyak karyanya yang menggambarkan dunia itu, bahkan dengan penghayatan penuh.

“Biar bagaimanapun perjuangan kaum nasionalis dalam membela rakyat, membela manusia yang lemah di mana saja, selalu mengusik inspirasi saya,” kata Basoeki.

Lalu Ia pun melukis anak-anak korban perang di Vietnam, gadis gelandangan diPejompongan, sampai bocah yatim piatu terlena di gendongan suster Theresa. Kritikus Sanento Yuliman pernah memuji karya-karya Basoeki yang bertema ini, dalam tulisannya yang berjuluk Sisi Lain Basoeki Abdullah (Tempo, 27 Agustus 1988).

Tak ada kemolekan. Tak ada kecerahan manis yang mendatar. Bahkan trompe-l’oeil alias tipu mata…. Sapuan-sapuannya tegas pada seluruh lukisan itu, dan menunjang suasana berat serta citra kemiskinan dan penderitaan”.

Sementara itu, jauh hari sebelumnya, Soedjojono bahkan juga menganggap sejumlah karya Basoeki yang menggambarkan suasana kehidupan rakyat menyimpan kekuatan artistik yang besar. Simak tulisan Soedjojono yang dimuat dalam buku Seni Lukis, Kesenian dan Seniman (Indonesia Sekarang, Yogyakarta, 1949). Atas lukisan yang berjudul Ploegende karbouwen (Kerbau Membajak) yang dipamerkan pada 1939, “seteru” Basoeki itu menulis:

“Lukisan tadi merupakan pekerjaan seorang jenius, yang boleh dimasukkan dokumen nasional, dan kita sebagai bangsa Indonesia yang ulung tidak boleh sanksi membanggakan Basoeki Abdullah”.

Dengan begitu, tuduhan yang memposisikan Basoeki adalah pelukis salon juga tidak sepenuhnya benar. Meski bila difahami dalam konteks sejarah, pilihannya pada gaya dan tema yang salonistik bisa saja dimaklumi. Setidaknya setelah diketahui bahwa dunia kesenilukisan Basoeki diberangkatkan dari momentum yang dipenuhi wacana dari 2 kutub.

Pertama, kutub seni yang klasik romantik bagai yang diwariskan para seniman Eropa dan Raden Saleh abad 19. Sebuah kutub kehidupan yang serba tenteram, enak, terjamin dan disiplin zaman Belanda. Kedua, kutub seni yang menghendaki modernisasi di belahan Barat. Atau kutub kehidupan berbangsa yang menuntut segala gerak anak bangsa termanifestasi sebagai bekas bangsa terjajah yang “berani mati” dan revolusioner. Basoeki memilih mana, tentulah menjadi hak azasinya.

Yang jadi persoalan kaum akademis kemudia adalah: apakah adil menilai karya seni lukis seseorang berdasarkan pilihan sikap si penilai atas 2 kutub itu, dan bukan berangkat dari kualifikasi estetik dan artistik karya-karya itu sendiri.