Keindahan Sebagai Dramatisasi Realitas

Dalam bahasa Jerman ada kata ‘melrisch’ yang berarti, kalau kita buka kamus, ‘indah, permai’. Kata ini merupakan bentukan dari kata ‘Maler’ (lukisan). Dengan demikian kata ‘malerisch’ persisnya berarti indah seperti lukisan. Saya tidak tahu sejak kapan kata ini dipakai dalam bahasa Jerman. Yang menarik adalah bahwa orang Jerman menggunakan keindahan yang mereka temukan dalam lukisan sebagai standar untuk menilai keindahan pada umumnya. Ini tidak mengherankan. Memang ada jaman di mana lukisan itu per definitionem indah. Di Indonesia, cara menggambarkan keindahan lewat lukisan itu juga kita temukan misalnya dalam lagu Widuri yang dinyanyikan oleh Bob Tutupoli. “Widuri, indah bagai lukisan,” begitulah bunyi sepenggal lirik lagu yang sudah melegenda tersebut.

Keindahan dalam lukisan yang dipakai sebagai standar keindahan secara umum paling cocok kita kenakan pada sebagian besar karya Basoeki Abdullah. Dia memang salah seorang pelukis keindahan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Begitu berada di depan karya-karyanya, kita tidak perlu mengerutkan dahi untuk bisa menikmati keindahannya. Sebaliknya, kita justru secara spontan membelalakkan mata selebar-lebarnya seakan-akan kedua mata kita tidak mencukupi untuk menyerap keindahan yang mengalir dari objek di depan kita entah itu panorama atau perempuan cantik. Ada rasa senang yang terus-menerus muncul dalam diri kita.

Coba perhatikan karya Pemandangan yang melukiskan gunung dengan kawah yang mengepulkan asapnya yang lembut, hutan yang mengeluarkan asap para peladang, ladang bertanah merah dengan gubuknya yang berada hampir di pinggir jurang, dan jalan kecil mengular yang dibatasi dengan tanaman-tanaman tinggi menjulang yang mirip seperti pagar alam. Sangat proporsional. Harmonis. Enak dipandang. Siapa yang tidak merasa senang berhadapan dengan alam yang begitu indah? Mata kita dimanjakan dengan kombinasi unsur-unsur yang sulit berbeda secara bersama-sama. Mata kita diajak melihat dari sudut pandang yang jarang kita temukan.

Sebagai pelukis keindahan, Basoeki Abdullah tidak sekedar memotret atau mengimitasi keindahan alam. Orang bilang, ia suka memperindah atau melakukan beutifikasi atas objek yang sedang dilukisnya. Dalam contoh di atas, beutifikasi ini ia lakukan antara lain dengan menghindarkan berbagai efek yang bisa menggelisahkan. Ladang dengan tanah merahnya tidak mengajak kita untuk memikirkan tandusnya tanah melainkan memberikan keindahan karena kontras dengan warna biru dan hijau yang ada di belakangnya, jalan tanah berkelok di tepi jurang tidak mengingatkan keterbelakangan transportasi melainkan melengkapi pemandangan alam dengan efek linear, dan sebagainya. Kenikmatan tidak perlu dicari karena sudah ada di depan mata. Keresahan tidak perlu dihalau karena sudah terbang begitu saja dengan kabut-kabut tipis. Objek-objek seakan-akan hanya dipinjam untuk menciptakan komposisi ideal serta permainan kombinasi warna dan bentuk paling harmonis.

Di samping melalui komposisi, warna, dan bentuk, strategi Basoeki Abdullah dalam beutifikasi juga bisa kita saksikan dalam cara dia memperlakukan gerak entah itu gerak alam maupun makhluk hidup. Cobalah perhatikan gerak dua kerbau yang sedang membelot dari sang penggembala (Anak dan Kerbau), gerak rusa yang digoda oleh para bidadari cantik di kali (Mandi di Alam), gerak singa-singa yang mengejar rusa (Perubahan Kehidupan Dunia), maupun gerak air deras tempat mandi lima perempuan (Mandi). Berbagai macam gerak ini dibeutifikasi dalam arti bahwa gerak-gerak ini tidak menghasilkan efek pada benda lain. Gerak-gerak ini lebih mirip dengan gerak-gerak yang diperagakan oleh penari. Gerak kerbau tidak membahayakan sang penggembala, gerak sungai yang deras tidak membuat para gadis ketakutan. Gerak singa yang tidak mengancam kehidupan rusa. Ya, seakan-akan untuk melengkapi lanskap yang tidak bergerak. Tapi, dari sanalah mata kita merasa dimanjakan, emosi kita ditumbuhkan, dan akhirnya kenikmatan mengalir begitu saja.

Kemampuan untuk melakukan beutifikasi inilah yang menjadi kebanggaan Basoeki Abdullah. Dalam berbagai wawancara Basoeki Abdullah sering mengaku bahwa hidup pada dasarnya bertujuan untuk mencari kebahagiaan adalah kenikmatan atau rasa senang. Prinsip hidup ini memang terkesan berbau hedonis. Tapi bukankah ini merupakan salah satu prinsip hidup yang selalu menggoda untuk dipertimbangkan dan diperdebatkan sejak jaman Aristoteles sampai sekarang? Saya kagum dengan sikap asertif Basoeki Abdullah yang tidak munafik. Dia konsisten dengan hidupnya. Soal orang setuju atau tidak, itu soal lain.

Dengan karya-karya ini pula ia bisa membuat banyak orang ikut merasa senang. Termasuk di dalamnya orang-orang besar dan tenar dengan siapa ia banyak bergaul. Siapa gerangan yang tidak bangga bisa bergaul dengan orang-orang besar? Jadi keindahan yang menimbulkan rasa senang bukan hanya dicapai saat ia selesai menyerap objek menjadi imaginasi dan menuangkan imaginasi ke dalam kanvas melainkan juga efek sosial dan kultural setelah lukisan itu beredar di masyarakat. Karya-karyanya menjadi currency bagi pergaulannya. Selain itu, tentu saja, karya-karya ini laku di pasaran dengan harga yang tidak sedikit. Bagi Basoeki Abdullah, hal demikian sah-sah saja. Apalagi kalau kita menempatkan karya-karyanya di jaman di mana fotografi belum berkembang seperti sekarang ini: karya realis-naturalis menjadi sentral dalm teknik representasi bagi orang kebanyakan.

Dalam pendirian di atas, tidak mengherankan kalau Basoeki Abdullah tidak gelisah dengan kritik yang sering dilontarkan oleh para seniman atau pengamat yang tidak seselera dengan tema lukisan maupun cara melukisnya. Sebaliknya, ia kadang-kadang justru menantang para pengritiknya untuk membuat hal yang sama atau dengan kata lain, membangun keindahan yang bisa menimbulkan kenikmatan. Fakta bahwa karya-karyanya banyak ditiru dan malah menjadi model cara melukis orang kebanyakan menandakan bahwa dia memang di jalur yang semestinya tidak dipersoalkan.

Melukis sebagai beutifikasi dan penciptaan kenikmatan dipraktikkan Basoeki Abdullah terutama lewat karya-karyanya bertemakan perempuan cantik dan sensual suatu tema yang seakan tidak bisa dilepaskan dari sosok Basoeki Abdullah. Kehebatan Basoeki Abdullah melukis para perempuan cantik bisa saya ibaratkan seperti kehebatan orang-orang Yunani dan Romawi membangun Pantheon. Panteon adalah sangtuari orang-orang Yunani-Romawi yang dipakai untuk memuja semua para dewa-dewi. Panteon misalnya kita lihat di jantung kota Paris dan Roma biasanya berupa bangunan berbentuk silinder menjulang tinggi dengan atap berupa kubah besar seperti langit. Begitu kita memasuki bangunan ini, kita merasa kecil. Lebih dari itu, kita mempunyai pengalaman ketidakterhinggaan. Jadi, orang yang tidak percaya pada Tuhan sekalipun dipaksa digiring pada pengalaman ketidakterhinggaan.

Pengalaman ketidakterhinggaan ini juga busa kita rasakan saat kita berhadapan dengan sejumlah karya Basoeki bertemakan perempuan. Begitu berada di depan karya-karyanya, rasanya kita tidak punya waktu untuk mengatur hasrat kita. Lihat, misalnya karya-karya bertemakan perempuan telanjang seperti Berjemur, Berganti Rupa, Nude Merah, Nude, dan sebagainya. Demikian juga Joko Tarub. Dalam karya-karya ini kita tidak hanya diajak menyaksikan keindahan tubuh yang proporsional namun juga proporsionalitas ini dia pakai untuk membangun erotisasi. Seperti halnya kita berada di dalam Pantheon yang bisa mengalami ketidakterhinggaan, dalam karya-karya ini kita juga diajak untuk mengalami ketidakberhinggaan eros. Bibir tebal kemerahan, ketiak setengah terbuka, sepasang payudara bundar kencang, pinggul besar kuat dengan paha panjang itulah unsur-unsur dominan yang hampir selalu kembali dalam karya-karya untuk membangun pantheon erotika.

Mengapa karya-karya (baik pemandangan maupun perempuan) seindah ini sering menjadi kontroversi? Saya berpendapat bahwa hampir pasti hal ini terjadi karena pergeseran kedudukan seni (termasuk seni lukis) dari jaman ke jaman. Sebagai salah seorang penerus tradisi naturalis Basoeki Abdullah rupanya masih terikat pada paragon keindahan yang diadopsi dari alam maupun tubuh manusia. Dalam perkembangannya kita melihat bahwa seni rupa pada umumnya dan seni lukis pada khususnya ternyata mempunyai fungsi yang lebih luas daripada berurusan dengan keindahan. “Belezza e non basta – keindahan itu tidak cukup”, kata Gramsci. Semakin hari semakin terbukti bahwa seni tidak terkecuali seni rupa pada umumnya atau seni lukis pada khususnya sebagai praktik intelektual. Maksudnya, seni menjadi bagian dari eksplorasi akan imanensi kemanusiaan kita. Seni menjadi semacam medium diagnostic akan situasi kita tanpa kita harus mengajukan treatment-nya. Ada juga yang mempraktikkan seni rupa sebagai bagian dari kristalisasi ideology. Oleh karena itu seni rupa harus punya – meminjam istilah Gramsci – idea. Jadi, sikap kritis (bahkan hiper-kritis) yang sering muncul atas karya-karya Basoeki Abdullah tidak bisa dilepaskan dari pergesaran kedudukan seni.

Apakah Basoeki Abdullah tidak pernah melakukan senin sebagai praktik eksplorasi? Lihatlah karya Mahatma Gandhi. Karya ini membuktikan bahwa seorang Basoeki Abdullah juga menjalankan seni lukis sebagai eksplorasi intelektual-spiritual. Karya ini menarik bukan hanya karena sebuah karya potret orang besar dan luhur seorang Gandhi. Dalam karya ini saya menemukan adanya dialog antara seorang Basoeki Abdullah dengan sosok Mahatma Gandhi dengan seluruh kharismanya. Ia memang lebih indah daripada foto-foto Gandhi karena ia hidup. Dalam karya ini kita melihat kekuatan spiritual seorang Mahatma Gandhi begitu transparan. Ini sangat kontras dengan, misalnya, karya potret Sultan Hasanah Bolkiah yang sedikit banyak didominasi oleh kecenderungan beutifikasi semata. Karya yang hampir mendekati karya Mahatma Gandhi adalah karya potret Ratu Yuliana. Dari dua karya ini saya melihat content atau idea yang begitu kuat sebagai hasil dari eksplorasi seorang Basoeki Abdullah. Jadi, dari sejumlah karyanya kita juga menemukan jejak-jejak bagaimana Basoeki Abdullah juga menjalankan seni rupa sebagai eksplorasi. Meskipun demikian kita tidak bisa menyangkal bahwa dorongannya untuk melukis sebagai praktik beutifikasi jauh lebih kuat.

Terlepas dari berbagai pendapat yang suka dan tidak suka, lewat karya-karya Basoeki Abdullah kita menyaksikan salah seorang pelukis Indonesia yang menjadi – meminjam istilah Croce – pelukis kosmopolitan. Pendidikan formal dan lamanya Basoeki Abdullah di luar negeri ikut memberi andil bagi perjalanannya menuju pelukis kosmopolitan. Agenda kita masih padat untuk mengenal dengan cara apa cosmopolitan desire itu terinskripsi dalam ingatan kita. Salah satu sumber untuk mengenalnya adalah karya-karya Basoeki Abdullah.