KENYANG TAK HARUS MAKAN NASI (BELAJAR BERALIH MAKANAN POKOK DARI KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, CIMAHI, JAWA BARAT)

0
1845

Di masa lalu, cap yang diberikan masyarakat luar di Jawa Barat terhadap warga Kampung Cireundeu sangat mengucilkan. Orang-orang Cireundeu dianggap rendahan karena hanya makan singkong. Tapi kini hal itu berbalik drastis, Kampung Cireundeu yang dulu dianggap remeh karena mengkonsumsi singkong justru kini banyak dikunjungi tamu baik dari kalangan masyarakat, peneliti, pelajar/mahasiswa, instansi pemerintahan maupun swasta.
Bahkan tidak sedikit tamu-tamu dari luar negeri telah berkunjung ke Kampung Cireundeu. Mereka belajar bagaimana masyakarat Kampung Cireundeu bisa sukses melakukan diversifikasi (peralihan) makanan pokok dari nasi ke singkong dan hal itu telah bertahan cukup lama, padahal umumnya makanan pokok masyarakat Jawa Barat adalah nasi.
Akhir November 2013 lalu, penulis berkesempatan berkunjung ke Kampung Cireundeu. Secara administratif Kampung Cireundeu termasuk dalam Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat dan dihuni oleh ± 50 Kepala Keluarga (KK) atau 300 jiwa. Kampung ini terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Karena terletak di lembah dan diapit oleh pegunungan inilah sehingga menjadikan Kampung Cireundeu benar-benar bernuansa pedesaan, terlihat sangat asri dan terasa sangat adem.
Disamping suasana yang asri, salah satu yang membuat kampung Cireudeu sangat berbeda adalah diversifikasi makanan pokok masyarakatnya dari beras ke singkong yang telah berlangsung sejak tahun 1918 dan ditetapkan secara komunal adat pada tahun 1924. Hal ini dilatarbelakangi oleh masa paceklik dan kekeringan yang pernah melanda Kampung Cireundeu pada tahun 1918. Pada masa itu, warga Kampung Cireundeu hanya bisa menanam singkong dan sangat kesulitan untuk menanam padi.
Karena Singkong merupakan sumber karbohidrat (makanan pokok) yang dianggap paling mudah untuk diperoleh, sesepuh adat mereka pada waktu itu kemudian menganjurkan masyarakat Cireundeu untuk beralih dari makan nasi ke makan singkong. Bahkan, makan nasi juga dijadikan semacam pantangan batin (tak tertulis) dan beras dianggap akan menjadi salah satu sumber musibah. Meskipun demikian, masyarakat adat Kampung Cireundeu juga menghargai padi/beras dengan memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi). Hal itu dilakukan dengan menggantungkan ikatan padi beserta tangkainnya di ruang depan rumah mereka.
Saat kunjungan ke kampung Cireundeu akhir November lalu, penulis sempat berbincang dengan Abah Emen Suryana selaku sesepuh adat dan Kang Yana selaku tokoh pemuda, dan beberapa orang di sana. Abah Emen Suryana sendiri adalah sesepuh adat yang telah berusia lebih dari 70 tahun. Meskipun telah berusia cukup senja, secara fisik dan gaya bicara, beliau masih terlihat cukup prima. Sejak kecil, ia mengaku tidak pernah merasakan makan nasi atau makanan yang berbahan beras lainnya. Tidak hanya Abah Emen Suryana dan Kang Yana, sebagian besar orang di sana juga mengakui hal yang sama.
Saat perbincangan, penulis juga sempat bertanya kepada Abah Emen Suryana dan Kang Yana mengenai satu hal. Seandainya mereka keluar dari Kampung Cireundeu dalam rangka memenuhi undangan atau hal lain yang menuntut mereka harus makan sementara makanan pokok yang ada hanya nasi, bagaimana mereka menyiasatinya?.
Kang Yana yang telah sering bepergian ke beberapa wilayah di Indonesia menjawab secara filosofis dalam bahasa Sunda; “Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat” (tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal bisa makan, tidak makan asal kuat). Mereka berprinsip, kenyang tidak harus makan nasi. Seandainya tidak ada singkong (yang merupakan makanan pokok mereka) dalam suatu acara makan di luar Kampung Cireundeu, mereka cukup hanya makan sayur dan lauk pauk yang ada. Disamping itu, sebelum makan di suatu acara di luar kampung, mereka juga biasanya bertanya apakah ada makanan yang berbahan dari beras, jika ada mereka tidak akan mengkonsumsinya.
Ditengah kondisi sulit seperti sekarang, mungkin tidak ada salahnya kita juga mau belajar dari kearifan lokal Kampung Cireundeu. Bahwa selama ini kita beranggapan penyebab kenyang itu hanya nasi, barangkali pikiran kita perlu ditata lagi. Banyak sumber karbohidrat lain di sekitar kita yang bisa menjadi sumber karbohidrat dan dijadikan sebagai pengganti nasi. Sekali lagi, kenyang karena nasi itu hanya pikiran.
Disamping itu, dari kearifan lokal Kampung Cireundeu penulis juga berasumsi mungkin ada benarnya “ramalan” sesepuh adat Cireundeu terdahulu bahwa beras akan menjadi salah satu sumber musibah. Betapa tidak, lihat kondisi bangsa kita sekarang, beras sepertinya merupakan salah satu faktor penyebab kerugian negara. Kita memiliki lahan pertanian yang cukup luas, tetapi beras tetap saja mengimpor dari Thailand atau Vietnam.
Hal lain yang perlu pula kita tinjau ulang adalah, barangkali pemerintah kita dahulu kurang arif dengan menggaung-gaungkan program swasembada beras, sementara tidak semua lahan di tanah air ini merupakan lahan yang bagus untuk menanam padi. Hal lainnya adalah, ditengah carut-marut dan galaunya kebanyakan masyarakat tanah air dengan turun naiknya harga beras, masyarakat Kampung Cireundeu akan tetap tenang-tenang saja, karena toh mereka tidak makan nasi.
Debi Heristian: Penyuluh Budaya Kemendikbud Rayon Pontianak, Kalbar & Peneliti di The Pontianak Post Institute of Pro Otonomi (PPIP).