Five Passages To The Future

0
796
pameran five passages to the future

SIARAN PERS

Pameran Five Passages to the Future mengajak penonton untuk menikmati karya-karya seni media baru dari lima seniman internasional, yang mengeksplorasi tema-tema seputar ekopolitik, keberlangsungan, kecerdasan buatan (AI), naratif digital, dan teknologi pakai. Diselenggarakan oleh Arcolabs dan HONF, menggandeng lima kurator perempuan dan Galeri Nasional Indonesia, pameran ini tidak hanya mengekspos aspek teknologi terbaru dalam seni media baru dan perannya dalam masyarakat kita tetapi juga bertujuan untuk mempromosikan peran dan praktik kuratorial dari kurator perempuan di skena seni media baru di Indonesia. Pameran ini juga menampilkan eksplorasi yang luas dari lima praktik perintis dalam seni media baru yang berpartisipasi di program inkubasi XPLORE: New Media Art Incubation, sebuah inisiatif pendidikan yang digagas oleh Arcolabs dan HONF yang telah dilaksanakan pada 2018 dan 2019. Pameran ini dapat dikunjungi mulai 21 Oktober – 7 November 2019 di Galeri Nasional Indonesia.

Five Passages to the Future menyuguhkan bagaimana upaya kreatif dari seni media baru mampu berkontribusi dalam kehidupan kita. Lewat karya-karya seni media, seniman juga diajak untuk meningkatkan kesadaran bersama tentang tantangan dan permasalahan ekologis, teknologi dan sains yang kita hadapi bersama serta mendukung upaya kolaboratif untuk mencari solusi di masa depan. Sesi seminar dan tur pameran bersama kurator akan melengkapi pameran ini.

 

SEKILAS TENTANG PAMERAN

Didukung Oleh

Arts Council Korea

Katingan Mentaya Project

Robo Risen

Pingpong

 

TENTANG SENIMAN

Seniman Internasional

Cho Eun Woo (l. 1981) saat ini adalah Kepala Brand and Desain di Robo Risen. Cho lulus dari OCAD University di Toronto dan menyelesaikan program pascasarjana di SVA New York City. Ia mendapatkan gelar MPhil/ PhD di bidang Seni dan Filsafat di IDSVA. Setelah ia kembali ke Korea, ia mempresentasikan karya-karya yang berhubungan dengan sains dan gelombang otak, untuk memperkenalkan tema baru  dalam seni sekaligus memperluas praktik artistiknya. Pameran dan proyek seni yang telah ia lakukan antara lain Reina Sofia National Museum Spain – Madrid, Les Rencontres Internationales Paris, Beaux-Arts de Paris, dan Korean Cultural Center New York dan Los Angeles. Baru-baru ini, karyanya telah dipamerkan di 21st Korean Science Fair, Seoul Museum of Art, Platform L, dan terlibat di Seoul Foundation for Arts and Culture’s Seoul Power Station Project dan Galeri Nasional Indonesia. Karya-karyanya juga diundang pada Global Meeting di Hyundai Motor Group, Seoul National University of Science and Technology dan NYU Florence Political and Science Program.

Digital Nativ (didirikan 2015) adalah studio desain dan fabrikasi yang mengeksplorasi proses teknologi. Sebagai kolektif, studio ini berfokus pada riset, modifikasi, dan penyesuaian tingkat industri dan teknologi perintis. Bekerja lintas disiplin teknis, Digital Nativ membangun sistem konfigurasi dan modular berbasis prinsip-prinsip desain untuk meretas celah antara industri dan individu. Proyek-proyek sistem digital yang telah ditangani antara lain bersama Adidas, BMW, GO-JEK, Hermès, Lanvin, Longchamp, Plaza Indonesia, Sampoerna, dan Samsung. Selain itu, Digital Nativ telah berkolaborasi bersama Invisible Flock dalam proyek Nada Bumi dan Aurora yang dikomisi oleh British Council Indonesia sebagai bagian dari UK/ID Festival 2017.

Eva Bubla (l. 1985) adalah seniman Hungaria yang telah berbasis di Asia sejak 2011. Ia lulus dari jurusan seni lukis, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, karya-karyanya berkembang ke topik-topik lingkungan sebagai upaya untuk meningkatkan serta memelihara kesadaran tentang lingkungan. Bagi Eva, alam adalah guru dan kolaborator, sehingga ia terus menggunakan material alami, bekas-pakai, dan daur ulang dalam karya seninya. Umumnya karya Eva merupakan hasil riset yang ia lakukan untuk meneliti kondisi sosial dan ekologis, khususnya pada air, praktik pertanian, dan dampak dari urbanisasi, pertanian kimia, dan aktivitas komersil pada lahan-lahan alami, yang kemudian ia jadikan basis untuk instalasi dan performans. Ia juga membuat karya spesifik sesuai situs dan melibatkan masyarakat lokal pada proses pengerjaannya, di mana mereka bekerja sama mencari solusi berkelanjutan untuk masalah ekologis dan sosial. Ia adalah salah satu pendiri Green Root Lab, organisasi yang berurusan dengan seni lingkungan, edukasi, dan aktivisme ekologis.

Shezad Dawood (l. 1974) adalah seniman dan peneliti berbasis di London, Inggris. Ia lulus dari Central St. Martin’s dan Royal College of Art dan menempuh pendidikan doktoral di Leeds Metropolitan University. Kini ia juga menjadi peneliti utama bidang Experimental Media di University of Westminster. Praktik artistiknya melintasi beragam disiplin: film, lukisan, neon, patung, dan belakangan ini realitas virtual untuk mendekonstruksi sistem-sistem citra, bahasa, situs dan naratif. Menggunakan proses penyuntingan sebagai metode untuk mengeksplorasi makna dan bentuk, praktik kekaryaannya kerap melibatkan kolaborasi dan pertukaran ilmu, juga pemetaan batas-batas geografis serta komunitas. Melalui minat dan pendekatan pada esoterik, hal liyan, dan fiksi sains, Shezad menjalin sejarah, realitas, dan simbolisme untuk menciptakan karya yang padat juga berlapis. Karya-karya ini telah dipamerkan dan dikoleksi secara internasional, antara lain: Tate, London; LACMA, Los Angeles; National Gallery of Canada, Ottawa; The British Museum, London; Kiran Nadar Museum of Art, Delhi; Mathaf, Arab Museum of Modern Art, Doha; UBS Collection; Koleksi Seni Pemerintah Amerika Serikat; Koleksi Seni Pemerintah Kerajaan Inggris, Bill & Melinda Gates Foundation; Art Jameel, Dubai; Devi Art Foundation, Delhi; EKARD Collection. Pameran ini merupakan kali pertama Shezad menampilkan karyanya di Indonesia.

Synflux (didirikan 2018) adalah kolektif peneliti berbasis di Tokyo yang mencari paradigma baru pada mode dengan fokus pada riset desain dan desain mode. Didirikan oleh insinyur Kye Shimizu dan Yuzuke Fujihira, desainer Kotaro Sano, dan desainer mode Kazuya Kawasaki, Synflux adalah proyek kolaboratif antara desainer mode, insinyur, arsitek, peneliti, dan ilmuwan. Kolektif ini memiliki misi untuk menciptakan siklus mode yang lebih holistik dan berkelanjutan melalui teknologi untuk mengurangi sampah tekstil. Dengan menilik referensi sejarah, masa kini, dan spekulatif, Synflux mengeksplorasi persimpangan antara manusia, lingkungan, dan teknologi, serta bagaimana hubungan ini bisa dikembangkan di masa depan. Proyek riset mereka yang berjudul Algorithmic Couture mendapatkan penghargaan dari WIRED Creative Hack Award 2018.

 

Seniman Muda Indonesia (XPLORE: New Media Art Incubation)

Agung Eko Sutrisno (l. 1994) adalah seniman performans yang tinggal dan bekerja di Bandung. Dalam berkarya, Eko memiliki ketertarikan pada nilai-nilai arsip dan pelestarian ingatan kolektif. Ia menggunakan metode performans yang spesifik dengan ruang dan menjadikan teknologi media seperti video, bunyi, dan instalasi sebagai ekstensi dari tubuhnya. Eko merupakan pendiri prfrmnc.rar, sebuah laboratorium dan ruang diskursus seni performans di Bandung serta aktif dalam Bandung Performing Arts Forum (BPAF) dan Klub Remaja Visual Art Artist Collective. Ia telah berpartisipasi pada berbagai lokakarya, di antaranya bersama Seiji Shimoda di ASBESTOS Art Space, Bandung (2015) dan bersama Melati Suryodarmo pada Jakarta Biennale (2017). Beberapa proyek dan residensi seni yang diikutinya antara lain “Welcome to Jakarta”, Micro Galleries Jakarta (2017), “Landscape Painting”, Orbital Dago, (2018), “Simpati Paradiso”, Jatiwangi Art Factory (2019), “Counter-Monument”, Teater Garasi Yogyakarta (2019). Eko adalah salah satu semi finalis Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) 2019.

Ariel Muhammad Zeian (l. 1997), juga dikenal sebagai Ian, adalah seniman media baru yang berbasis di Malang dan Pasuruan. Dengan latar belakang pendidikan seni, ia aktif dalam beberapa kolektif seni dan inisiatif seni di Jawa Timur. Ketertarikannya pada seni media baru dimulai ketika ia bergabung dengan TITEN – program residensi seni media baru yang diselenggarakan oleh WaftLab, sebuah kolektif berbasis di Surabaya. Karya terbarunya terinspirasi oleh tradisi lokal “oprek” yang merupakan seni merakit berbagai bagian menjadi satu mesin fungsional. Baru-baru ini ia juga terlibat pada pameran Pekan Seni Media 2019: Sinkronik yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Samarinda.

Delpi Suhariyanto (l. 1996) adalah seniman asal Bandung yang dekat dengan medium bunyi dan performans. Ia aktif membahas isu tentang media massa sebagai alat penyebar informasi yang rentan. Sebelum ini dalam karya yang menilik tentang media baru di program XPLORE: New Media Art Incubation yang digagas oleh Arcolabs & HONF, Delpi mulai memberi pendekatan media baru pada karya instalasi bunyi yang ia kerjakan. Media baru sebagai medium dalam seni rupa memiliki intensitas yang tinggi jika dikaitkan dengan keseharian masyarakat. Delpi melihat upaya masyarakat untuk menciptakan produk yang memudahkan mereka memiliki kesamaan dengan cara kerja seni media baru, yaitu bagaimana teknologi dapat dipergunakan oleh siapapun untuk menyejahterakan kualitas hidupnya atau melawan sesuatu. Pada 2019, Delpi juga berpartisipasi pada sejumlah proyek dan pameran seni media, di antaranya Soemardja Sound Art Project, Soemardja Gallery Bandung, dan Pekan Seni Media 2019: Sinkronik, Samarinda.

Haviz Maha (l. 1993) tinggal dan bekerja sebagai seniman di Jakarta dan Tangerang. Seniman lulus dari Pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ketertarikannya pada bidang seni media dan teknologi berawal saat ia bergabung sebagai videografer dan animator dalam Serrum, sebuah kolektif seniman yang berfokus pada pendidikan seni. Pada 2016, Haviz dan teman-temannya mendirikan Sinema Kolekan, sebuah unit riset dalam festival seni mahasiswa Jakarta 32. Melalui unit ini, mereka meneliti karya audiovisual, melaksanakan diskusi dan membangun arsip.

Mira Rizki (l. 1994) adalah seniman media baru yang berfokus pada bunyi dan interaktivitas dalam praktik artistiknya. Ia mengawali karirnya sedari kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain (Studio Intermedia), Institut Teknologi Bandung. Karya-karya Mira selalu mengangkat unsur permainan dan mengundang partisipasi audiens untuk berinteraksi dengan karya. Melalui proses eksperimentasi dan interaksi ini, ia ingin mengajak audiens untuk mengenal lebih jauh tentang proses penciptaan bunyi serta mengajak mereka lebih peka terhadap sekitar. Ia telah berpartisipasi pada sejumlah program residensi, di antaranya di Jerman dan di Jepang. Pada 2019, Mira terpilih sebagai salah satu finalis dari Kompetisi Trimatra yang diorganisir oleh Galeri Salihara, Jakarta.

 

TENTANG PENYELENGGARA

ARCOLABS didirikan pada tahun 2014 sebagai Pusat Seni dan Manajemen Masyarakat di Surya University dan sejak 2016 telah beroperasi secara independen. Memiliki misi untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi melalui berbagai program berbasis praktik termasuk pameran seni rupa, proyek pengembangan masyarakat, lokakarya langsung, penelitian mahasiswa, serta acara akademik dan nonakademik lainnya.

HONF didirikan pada tahun 1999 di Yogyakarta sebagai laboratorium seni media baru. Perhatian utamanya adalah masyarakat dengan masalah sosial dan lingkungan. Sebagai bentuk tanggapan terhadap perkembangan teknologi dan penggunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari, HONF menerapkan metodologi yang disebut Open–Community di mana warga dapat bekerja bersama. Ini juga yang mempelopori Program Fokus Pendidikan (EFP) sebagai basis kurikulum dalam setiap kegiatan HONF.

  

KURATOR

Evelyn Huang (l. 1984) merupakan kurator dan dosen yang terus mengejar ilmu sepanjang hidupnya. Evelyn lulus sebagai Magister Seni dalam Wirausaha Kreatif di Institut Kesenian Jakarta setelah mendapatkan gelar Sarjana dari Desain Komunikasi Visual, Universitas Pelita Harapan dan Magister Humaniora dalam Cultural Studies, Universitas Indonesia. Beberapa tahun terakhir, ia menjadi kurator dari EXI(S)T, sebuah program inkubasi seniman muda yang cukup ternama di Indonesia. Selain dari pekerjaan purna waktunya sebagai Kepala Program Studi di IDS – International Design School, ia juga menjadi kurator untuk pameran seni media dan pertukaran internasional bersama ARCOLABS.

Irene Agrivine adalah lulusan Fakultas Desain Grafis di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, dan melanjutkan studinya di Program Magister Budaya dan Agama di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Irene adalah salah satu pendiri dan saat ini direktur HONF, laboratorium media dan teknologi baru yang berbasis di Yogyakarta. Pada 2013 ia mendirikan XXLab dalam HONF, sebuah kolektif perempuan yang fokus pada seni, sains, dan teknologi gratis, di mana salah satu proyeknya, SOYA C (O)U(L)TURE (2015), dinobatkan sebagai salah satu pemenang Prix 2015 Penghargaan Ars Electronica di Linz, Austria.

Jeong Ok Jeon (l. 1975) adalah kurator Korea berbasis di Jakarta yang aktif terlibat dalam seni kontemporer Asia Tenggara, terutama dalam memberikan eksposur internasional untuk seniman regional dalam dan luar Indonesia. Dengan minat di seni media baru dan seni interaktif, ia telah mengkurasi beberapa pameran seni berbasis sains dan teknologi. Proyek terbaru di bidang ini adalah Pekan Seni Media 2019: SINKRONIK, sebuah program tahunan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ia adalah salah satu pembicara di SEMIRATA 2019: Seminar Internasional dan Rapat Tahunan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, di mana ia mempresentasikan karya tulis berjudul “A Sensory Experience Beyond Sight: New Media Art for People with Vision Impairment” (Pengalaman Inderawi di Luar Penglihatan: Seni Media Baru untuk Penyandang Gangguan Penglihatan). Jeong Ok mendapatkan MFA dari Savannah College of Art dan Design di Amerika Serikat dan BFA dari Ewha Womans University di Korea. Sekarang ia menjabat sebagai direktur di ARCOLABS – Center for Art and Community Management dan dosen tetap di Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.

Nin Djani (l. 1992) adalah kurator, penulis, dan penyunting dengan minat di bidang sastra, sejarah, dan budaya pop, yang memberikan pengaruh besar pada praktik kuratorialnya. Ia memiliki gelar Master of Arts pada studi Asia Tenggara dari Leiden University dan Bachelor of Arts pada Media dan Komunikasi dari Goldsmiths, University of London. Ia telah terlibat dalam tim kuratorial untuk sejumlah pameran grup seperti “The Concept of Self: Indonesia-Thailand Arts Exchange” (2019), “Nomadic Traveler: Korea-Indonesia Media Art Exhibition” (2017), dan “Visualizing the Invisible: Data for Life” (2016). Sebagai penulis dan penyunting, karyanya yang telah dipentaskan dan dipublikasikan antara lain “Opera Ainun” (2018), “Chrysalis” (2018), “Art Design Vintage” (2016), dan “Happy Vintage” (2015). Saat ini ia sedang berkolaborasi bersama seniman visual untuk proyek zine dan buku foto. Nin aktif secara independen dalam berbagai proyek kreatif multidisiplin dan bagian dari ARCOLABS, POST Press, serta Atreyu Moniaga Project.

Ratna Djuwita (l. 1983) sejak tahun 2011 terlibat aktif bersama dengan House of Natural Fiber (HONF). Dia memulai proyek inisiatif dengan HONF dengan judul proyek Open Apparel, sebuah platform yang mencoba membuka peluang baru, mengembangkan industri sekunder, meningkatkan kesempatan kerja dan kemungkinan baru di industri fashion Indonesia. Pada tahun 2015 bersama dengan empat perempuan asal Yogyakarta, ia membuat sebuah kelompok terbuka bernama XXLab, sebuah kolektif perempuan yang kegiatannya berfokus pada praktik seni, sains dan free technology. Proyek terakhir dan masih berjalan sampai sekarang adalah SOYA C(O)U(L)TURE, sebuah proyek penelitian untuk mengembangkan produk dari air limbah kedelai. Dalam program penelitian ambisius ini XXLAB menggunakan bakteri dan kultur jaringan untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, makanan dan lembaran yang menyerupai kulit dari limbah cair produksi kedelai. Tujuannya adalah untuk menciptakan proses produksi yang berkelanjutan dengan menggunakan teknologi yang sederhana, dan untuk mengurangi polusi air. Saat ini ia sedang melanjutkan program Pasca Sarjana di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma dan sedang mengembangkan produk yang mencoba bereksperimen dengan material-material baru yang sedang dia kembangakan bersama XXlab.

 

TEMPAT

Gedung B & D Galeri Nasional Indonesia

Jalan Medan Merdeka Timur No. 14 Jakarta Pusat

TANGGAL

Tur Media           : Senin, 21 Oktober 2019 / 16:00

Pembukaan        : Senin, 21 Oktober 2019 / 19.00

Dibuka oleh Kepala Subdirektorat Seni Media, Direktorat Kesenian, Ditjenbud, Kemendikbud, Bapak Tubagus ‘Andre’ Sukmana

Pameran              : 22 Oktober – 7 November 2019 ; Pukul 10.00 – 19.00 WIB

Bebas biaya dan terbuka untuk umum setiap hari

PROGRAM PUBLIK

Seminar “Art, Science, and Nature:
Towards Future Possibilities”

22 Oktober 2019, pukul 13.00 – 15.00

Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia

 

Tur Pameran oleh Kurator

Sabtu, 26 Oktober 2019 / 13.00 – 15.00

Sabtu, 2 November 2019 / 13.00 – 15.00

Gedung B & D

 

Untuk kepentingan media:

Nin Djani

Telepon: +62 812 8999 0369

Surel      : nindjani@gmail.com

 

TENTANG KARYA

Seniman internasional

Karya-karya seniman internasional yang dipamerkan mencakup lima kategori yaitu ekopolitik, keberlangsungan, kecerdasan buatan (AI), naratif digital, dan teknologi pakai. Setiap pasang kurator-seniman telah berkolaborasi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental berikut:

  • Jika manusia dan alam adalah komponen yang setara dalam masyarakat, bagaimana mereka bisa hidup berdampingan? (Evelyn Huang X Digital Nativ)
  • Bagaimana kita bisa mencapai kehidupan yang berkelanjutan di bumi? (Irene Agrivine X Eva Bubla)
  • Apa peran manusia di era kecerdasan buatan? (Jeong Ok Jeong X Cho Eun Woo)
  • Bagaimana realitas virtual sebagai media baru mengubah persepsi manusia? (Nin Djani X Shezad Dawood)
  • Perubahan sosial seperti apa yang bisa kita antisipasi saat mode bertemu dengan teknologi? (Ratna Djuwita X Synflux)

Sedangkan pada pameran para seniman muda yang tergabung sebagai alumni program XPLORE: New Media Art Incubation, para seniman mendiskusikan ekologi dan data sebagai tema-tema utama, bagaimana kita bisa menjadi lebih mawas mengenai perubahan ekologis menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan memahami esensi data sebagai acuan tindakan untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Lewat interpretasi dan elaborasi data dari lingkungan sekitar, para seniman menyuguhkan bagaimana upaya kreatif dari seni media baru mampu berkontribusi dalam kehidupan kita.