Arsip Srihadi Soedarsono yang Tidak Pernah Diekspose, Dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia

0
893
Suasana Pameran Tunggal Srihadi Soedarsono "70 Tahun Rentang Kembara Roso" di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.
Suasana Pameran Tunggal Srihadi Soedarsono “70 Tahun Rentang Kembara Roso” di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.

Kamis malam, 11 Februari 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan meresmikan pembukaan Pameran Tunggal Srihadi Soedarsono bertajuk “70 Tahun Rentang Kembara Roso” di Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Dalam sambutannya, Anies mengungkapkan rasa kagumnya pada Srihadi. “Srihadi mengembangkan bakat seninya lewat jalur pendidikan yang terstruktur di bidang seni. Karya beliau sungguh memberikan banyak inspirasi tentang potensi kreatif pelaku seni Indonesia yang diakui dunia saat ini dan menjadi bagian dari simpul intelektualitas dunia mengenai kemanusiaan yang dituangkan di dalam bahasa seni,” ungkap Anies.

Srihadi dalam pameran ini, menampilkan karya-karya yang telah lama disimpannya. Dikatakan Ketua Penyelenggara Pameran, Marthen Selamet Susanto, sebagian besar karya-karya Srihadi dalam pameran ini merupakan karya di atas kertas. “Karya-karya Srihadi tersebut, selama ini tidak pernah diekspose. Dapat dikatakan sebagai arsip Srihadi sejak beliau berusia 14 tahun, termasuk saat menjadi tentara pelajar,” sambung Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus ‘Andre’ Sukmana.

Sebanyak sekitar 400 lebih karya sketsa, drawing, dan cat air pada kertas dipajang di dinding Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Ada juga tujuh lukisan pada kanvas. Kurator pameran ini, A. Rikrik Kusmara mengatakan, ratusan karya tersebut disusun dengan konsep journey, perjalanan panjang rentang pengembaraan roso seorang Srihadi Soedarsono. Menurut Rikrik, pengembaraan roso Srihadi sejak usia 14 tahun atau sekitar tahun 1946 bersinggungan dengan banyak kisah sejarah. “Ia bersentuhan dengan para aktivis di Solo pada Era Sanggar sebagai era budaya sekaligus era perjuangan. Ia juga pernah ditugaskan menjadi wartawan pelukis antara tahun 1945 sampai 1952, salah satu tugasnya adalah melukis para delegasi yang hadir dalam perundingan Indonesia–Belanda di Kaliurang pada tahun 1948,” Rikrik mengisahkan.

“Bisa dibayangkan tokoh yang dilukis tidak dalam posisi diam. Srihadi diberi waktu sekitar lima menit untuk melukis setiap tokoh. Dengan sempitnya waktu tersebut, karena itulah hasil goresan tangan Srihadi dapat dikatakan sangat mengagumkan. Bahkan karya-karya lainnya dari Srihadi juga mendapat pujian dari Sudjojono,” lanjut Rikrik.

Perjalanan Srihadi berlanjut dengan mulai belajar metode lukis Barat sekitar tahun 1952 hingga 1959. Diantara rentang periode tersebut, sekitar tahun 1954 hingga 1955, Srihadi di Bali dan menemukan konsep penting mengenai horizon. Berlanjut sekitar tahun 2000 sampai 2007, ia melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia, dan mengeksplorasi pendekatan spiritualisme. “Seperti dalam enam karya bertema Borobudur yang dipamerkan dalam pameran tunggal ini. Dalam lukisan tersebut, ada unsur horizon, spiritualitas, dan zen,” papar Rikrik.

Menanggapi karya-karya Srihadi dalam pameran yang berlangsung hingga 24 Februari 2016 ini, Andre melihatnya dari berbagai sudut pandang. “Bisa dari sudut pandang artistik, atau bisa juga sudut pandang sejarah sebagai rekaman sejarah seperti pada drawing Perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang. Karena itulah kronologis perjalanan seorang Srihadi Soedarsono adalah awal yang sangat penting dan menarik sebagi bahan kajian penelitian,” papar Andre.

Sedangkan Anies Baswedan memaknai karya-karya Srihadi dalam lingkup yang lebih luas sebagai sebuah karya seni. “Melalui pameran ini, dapat dilihat bahwa seni mendidik kepada kita, banyak jawaban atas sebuah masalah. Ini yang tidak muncul di luar seni. Seni mendorong untuk bereksperimen, melakukan sesuatu yang baru bahkan kesalahan. Seni melatih menjadi pemikir, bukan penghapal, melatih kreasi dan inovasi,” pungkas Anies.

*dsy/GNI