Memasyarakatkan Budaya Adat melalui Festival Foho Rai

0
2817

Belu, Atambua – Festival Foho Rai memasuki hari terakhirnya. Suara gendang kecil bernama Tihar bertalu-talu dimainkan oleh para mama (sebutan untuk ibu atau wanita dewasa) dan juga para gadis sembari menarikan Tari Likurai. Diantara para perempuan tersebut juga terlihat Koba, atau anyaman bambu berisi sirih pinang dibawa oleh para mama di atas kepalanya. Tidak lupa juga para pria yang kompak menggunakan kemeja putih dengan bawahan kain tenun khas Belu turut berbaris rapih bersama para penabuh Tihar. Terik panas khas Nusa Tenggara Timur dan jalan menanjak penuh bebatuan yang dilalui tanpa alas kaki tidak sama sekali menyurutkan semangat masyarakat 12 suku asli Dirun tersebut untuk melaksanakan ritual Bei Gege Asu di Benteng Tujuh Lapis, Bukit Makes, Dirun, Nusa Tenggara Timur.

Ritual Bei Gege Asu adalah sebuah upacara tradisi yang dilakukan sebelum membangun rumah adat. Ritus yang dipimpin oleh seorang Mako’an (pemuka adat) ini melibatkan seluruh komponen masyarakat, dari yang paling muda hingga yang sudah berusia senja. Ratusan orang bersama-sama, tanpa kenal Lelah mendaki Bukit Makes untuk melaksanakan ritual adat yang dimulai dari kaki bukit hingga berujung di Benteng Tujuh Lapis di puncak bukit. Sebanyak 5 ekor ayam dan 1 ekor babi dipersembahkan kepada leluhur dalam upacara Bei Gege Asu ini.

Platform Indonesiana Menghadirkan Rasa Kebudayaan di Masyarakat

Upacara Bei Gege Asu ini merupakan salah satu dari upacara adat dalam rangkaian Festival Foho Rai yang juga didukung oleh Platform Indonesiana. Bukan tanpa alasan Festival Foho Rai menjadi salah satu festival yang didukung oleh platform inisiasi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud ini. Festival yang mengusung tema “Pencerahan Budaya dengan Kembali ke Kampung Adat” ini sejalan dengan Platform Indonesiana yang menggagas kemesraan budaya diantara masyarakat.

“Festival adat seperti ini penting untuk mengedepankan budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana masyarakat punya rasa memiliki terhadap budayanya dan ikut mengendalikan kelangsungan dan juga ikut mengembangkan kebudayaannya,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid.

Platform Indonesiana tidak berhenti sampai di Festival Foho Rai di Belu, NTT. Masih ada delapan festival lainnya yang akan berkolaborasi dengan Platform Indonesiana, yaitu International Gamelan Festival di Solo, Jawa Tengah; Bebunyian Sintuvu dari Sulawesi Tengah; Silek Art Festival di Sumatera Barat; Multatuli Art Festival di Lebak, Banten; Blora Folklore Festival di Blora, Jawa Tengah; Festival Tari Saman di Gayo Lues, Aceh; Amboina International Bamboowind Music Festival di Ambon, Maluku; dan Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara, Sumatera Utara.