Widyawati, Film sebagai Jatidiri Bangsa

0
3169

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru 2016. Widyawati adalah artis dan pemikir film Indonesia. Kesungguhannya dalam seni peran memberinya berbagai penghargaan Piala Citra dan Lifetime Achievment di bidang perfilman. Tanggung jawab dan disiplin adalah sikap yang dikembangkannya dalam dunia peran. Peraih Piala Citra untuk artister baik dalam film Arini Masih Ada Kereta yang Akan Lewat ini memandang film sebagai jati diri bangsa.

Widyawati merintis karier di dunia peran sejak duduk di sekolah menengah pertama. Tidak sulit baginya untuk masuk dan mengerti dunia perfilman. Ibunya, Aryati, lebih dulu menggeluti perfilman. Sejak kecil, Widya sering diajak ibunya bekerja, bila lokasi shooting tidak jauh dari rumah tinggal mereka. Saat melihat ibunya shooting, sempat juga terpikir oleh Widyawati, “Enak juga jadi bintang film,” tuturnya. Oleh ibunya, Widya juga diperkenalkan dengan Usmar Ismail dan beberapa orang film lainnya.

Di masa SMP, Widya mulai ditawari Usmar Ismail untuk bermain dalam film dokumenter yang disutradarainya. Karena masih muda, Widya dengan rasa malu dan senang menerima tawaran itu. Di masa awal itu, ia juga menerima tawaran  main film dari perusahaan film Susana dan suaminya, Dicky Suprapto. Saat itu ia menjadi tokoh peran pembantu sebagai adik dari  tokoh utama yang diperankan oleh Dicky. Widya mengenang, saat filmnya yang berjudul Segenggam Tanah di Perbatasandiputar di bioskop sekitar Menteng, yang tak jauh dari sekolahnya, teman-temannya mengajak nonton bersama. Waktu di film muncul sosoknya, teman-temannya bersorak. Itu, pertama kalinya Widya merasa malu sekaligus senang.

Selain bermain peran, Widya remaja bersama kakak-kakaknya membentuk grup musik Trio Viska. Hal itu juga tak lepas dari dukungan ibu mereka. Widya bersyukur memiliki ibu yang mengerti dan mendorong bakat dan minat ia dan kakak-kakaknya. Trio Viska sering melantunkan lagu-lagu Koes Plus yang masa itu sangat populer. Ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September dan diberlakukan jam malam, mereka sering diminta untuk menghibur aparat yang sedang berjaga. Trio Viska sempat melahirkan beberapa album dalam bentuk piringan hitam. Kesukaan Widya pada seni suara kemudian berlanjut, danpada tahun 2000, Widya sempat melahirkan album dalam bentuk kaset, untuk lagu-lagu yang menjadi sound track sinetron Kemuning.  Di sinentron tersebut, Widya menjadi pemeran utama sebagai Kemuning. “Sophiaan sangat menyukai peran saya sebagai Kemuning,” tutur Widya mengenang suaminya.

new-picture-1Yang tak banyak diketahui oleh publik, ternyata ibu dua anak ini juga menyukai seni lukis. Ia belajar melukis dari salah satu kakaknya yang studi seni rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kakaknya  banyak menggunakan aklirik untuk melukis, dan —karena itu—Widya juga melukis menggunakan pilihan yang sama dengan kakaknya. Di ruang tamu kediamannya terdapat karyanya, sebuah lukisan anak. “Itu anak saya. Waktu itu ia terkena campak dan tak bisa keluar rumah. Jadi saya lukis sambil menemaninya,” tutur Widya. Ia juga menunjukkan satu lukisan sosok Sophan Sophiaan (alm) yang juga merupakan lukisan terkahir yang Widya buat sebelum suaminya  meninggal dunia.

Kesukaan Widya lainnya adalah mendesain mukena. Walaupun ia buka tipe desainer yang memproduksi rancangan yang banyak, Widya sangat telaten dan hati-hati memilih bahan yang menurutnya nyaman. Widya juga senang membahagiakan teman-temannya dengan membantunya memakaikan  make up dan menata rambut, terutama untuk festival-festival internasional dan pernikahan. Karena itu, tak mengherankan bila Widya juga mendapatkan penghargaan terkait bidang minatnya tersebut, antara lain Lifetime Achievement Jhonny Andrean Award.

Pertemuannya dengan mendiang suaminya, Sophan Sophiaan, tidak hanya menjadi permulaan kehidupannya berumah tangga, tetapi juga bagi kariernya di seni peran. Peran keduanya dalam film pertama mereka,Pengantin Remaja, banyak memukau penonton. Walaupun awalnya ia sempat menolak tawaran main dalam film yang disutradarai Wim Umboh tersebut, tetapi Aryati, ibunya, terus menanyakan mengapa ia tidak menerima tawaran itu. Sementara Widya juga bertanya pada ibunya mengenai lawan mainnya. Saat akhirnya ia menerima tawaran itu, Wim Umboh meminta Widya dan Sophan untuk saling mengenali lebih dalam agar lebih kelihatan jatuh cinta. Sampai suatu kali, saat ia dan Sophan menunggu mobil menuju lokasi shooting, Sophan menanyakan apakah Widya bersedia menjadi istrinya. “Waktu itu saya bilang, mau,” kata Widya berseri-seri. Dalam pernikahan itu, keduanya saling memberikan dukungan untuk terus maju dalam dunia peran.

new-picture-2Seni peran akhirnya menjadi dunia Widya. Peraih aktrister baik Piala PWI lewat film Perkawinan ini menuturkan, sampai kapan pun selama ada yang memberikan peran ia akan mensyukurinya, walaupun sejak muda ia selektif memilih peran yang benar-benar ia ingin mainkan dari hatinya. Yang paling penting dalam dunia peran itu adalah sikap bertanggung jawab, melakukan peran sebaik mungkin dan disiplin. Menurutnya, disiplin sangat penting karena berarti ia  menghargai orang lain, dalam hal ini kru film.  “Kalau kita mau dihargai, kita harus bisa menghargai,” tutur Widya. Widya juga sangat peduli dengan jam kerja. Ia sering mengamati bagaimana kru film bekerja lebih panjang dari pada bintang film itu sendiri. Mereka harus tiba di lokasi lebih awal untuk mempersiapkan segala sesuatu, dan pulang lebih lambat. Karena itu, beberapa tahun ia pernah membincang hal itu dengan Yeny Rachman, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi). Mereka kemudian menjumpai Menteri Tenaga KerjadanTransmigrasi (saat itu Muhaimin Iskandar) agar dibuat undang-undang terkait jam kerja untuk dunia film dan sinetron. Ia yakin  dengan jam kerja yang lebih manusiawi dapat menghasilkan film yang lebih bermutu.

Ia sendiri sejak merintis dalam seni peran selalu mensyaratkan dalam kontrak kerjanya bahwa ia hanya bersedia bekerja sampai pukul 22.00 alias pukul 10 malam. Menurutnya, hal itu penting bukan hanya untuk dirinya sebagai pemain, tetapi untuk seluruh kru film. “Kita juga mesti punya waktu untuk menikmati hasil dari yang kita kerjakan,” tutur Widya.

Menanggapi perkembangan film dari era Usmar Ismail hingga kini, menurutnya memang ada beberapa perubahan. Secara teknis, dulu kalau shooting menggunakan sistem dubing, sekarang  sudah bisa direct sound. Saat proses dubing para pemain harus seharian bekerja di dalam studio yang kecil.Sekarang  juga sudah tersedia monitor yang dapat melihat langsung hasil shooting. Dulu harus melihat hasilnya melalui rush copy yang butuh waktu. Dan, bila  ternyata ada adegan yang kurang pas harus mengulangi lagi atau re-take.Secara tim, dulu kru film tidak sebanyak sekarang, karena satu kru biasanya merangkap beberapa pekerjaan.

“Tapi, lucunya, sebagian orang ada yang lebih senang melihat film dulu. Mungkin karena ceritanya yang simpel, natural. Kalau sekarang ceritanya, meski tidak semua, agak kebarat-barataan. Kadang-kadang kita bertanya,ini film Indonesia apa bukan?” demikian Widya memberi masukan pada perfilman saat ini. Menurutnya, salah satu kekuatan dari film zaman dulu lebih menonjolkan jati diri bangsanya. Meskipun, memang, untuk film saat ini yang bergenre sejarahada nuansa kecintaan pada Tanah Air.

Widya juga berharap  seni peran dan perfilman di Indonesia  bisa go internasional. Untuk itu, sebelumnya harus ada upaya untuk memperkenalan budaya Indonesia, supaya jati diri keindonesiaannya tidak hilang. Dengan kata lain, setiap film yang akan go internasional juga sudah dengan perspektif membawa misi budaya Indonesia.

Menanggapi Anugerah Kebudayaan 2016 untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu yang diberikan kepadanya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Widya cukup kaget.  Ia tidak menduga mendapatkan penghargaan  tersebut. Dengan rendah hati Widya menuturkanbahwa ia menikmati dan menjalani seni peran mengalir begitu saja, tanpa berpikir untuk mendapatkan suatu penghargaan.new-picture-3

Biodata

Lahir: Jakarta, 12 Juli 1950

Suami: Sophan Sophiaan (alm)

Anak: Roma dan Romi
Alamat: Jl Bintaro Raya Tengah C2/1, 013/008, Bintaro, Pesanggarahan, Kota Tangerang Selatan, Banten.

Fimlografi

Rectoverso (2013)

Di Bawah Lindungan Kabah (2011)

Perempuan Berkalung Sorban (2009)

Sesal (1994)

Tinggal Landas Buat Kekasih (1984)

Tjintaku Jauh di Pulau (1972)

Anjing Anjing Geladak (1972)

Pengantin Remaja (1971)

Hidup Cinta dan Air Mata (1970)

Apa yang Kau Tjari Palupi (1969)

Penghargaan

  • AnugerahKebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)
  • Best Actress Piala PWI, film Perkawinan
  • Best Supporting Actrees Piala Citra, film One Way Ticket
  • Best Actress Piala Citra, film Arini Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat
  • Best Supporting Actress Festival Film Bandung, film Perempuan Berkalung Sorban
  • Best Supporting Actress Asia Pacific Film Festival, film Perempuan Berkalung Sorban
  • Best Actress Bali International Film, film Love
  • Lifetime Achievement Award SCTV Awards
  • Lifetime Achievement Award Festival Film Bandung
  • Lifetime Achievement Award Indonesia Movie Award RCTI
  • Lifetime Achievement Jhonny Andrean Award
  • Kartini Awards Citra Wanita Indonesia