Usman Lajanja: Juru Kunci Pelestari Kesenian “Dadendate”

0
3331

Bukan perkara gampang untuk bisa menguasai kesenian dadendate, seni bertutur khas masyarakar etnis Kaili di Sulawesi Tengah. Selain harus mampu mengungkapkan suatu masalah atau satu peristiwa lewat syair yang baik dan bersifat spontan, juga butuh bakat berimprovisasi yang mumpuni. Pilihan kata pun tak boleh sembarangan, akan tetapi mesti menggunakan kata-kata dalam bahasa Kaili yang sarat nilai sastranya yang indah memesona.

Tak hanya kemampuan bertutur, kesenian dadendate juga menuntut penguasaan
memainkan kecapi dan mbasi-mbasi (sejenis suling) sebagai instrumen alat musik pengiringnya. Untuk bisa memainkan mbasi-mbasi (alat musik tiup terbuat dari bamboo dan rotan sepanjang kurang lebih 20 cm) misalnya, perlu teknik khusus, mengingat alat ini mesti ditiup terus-menerus tanpa terputus. Di sini, teknik “mengambil” napas menjadi kunci utama. Begitupun dalam memetik dawai kecapi khas Kaili, yang hanya memilki dua tali (dulu terbuat dari tali enau, kini umumnya menggunakan kawat kecil terbuat dari baja atau tali rem sepeda), juga butuh teknik khusus untuk bisa mengiringi pertunjukan dadendate.

Meski tak gampang menguasai jenis seni tradisi ini, kan tetapi masih ada sosok yang setia menjaganya. Adalah Usman Lanjanja yang kini menjadi semacam juri kunci dalam pelestarian dadendate. Usman adalah orang yang paling menguasai jenis kesenian ini, seni tradisi tutur yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat suku Kaili, suku mayoritas yang mendiami kota Palu, Donggala, Kulawi, Parigi, dan Ampana.

Namun masa kejayaan seni bertutur dadendate tinggal hanya kenangan. Saat ini pertunjukan dedendate sudah merupakan peristiwa langka. Jika dulu berbagai acara adat atau acara syukuran setiap usai membangun rumah, merayakan kelulusan dari lembaga pendidikan, orang mengundang pemain dadendate; kini hampir tak ada lagi acara-acara semacam itu menghadirkan sosok sepertiUsman Lanjanja untuk bertutur mengenai perjalanan sekaligus memaknai peristiwa daur kehidupan yang telah mereka lalui tersebut.

Alhasil, yang terpampang di layar masa depan kita adalah bahwa kesenian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi ini sudah bisa dikatakan terancam keberadaannya alias hampir musnah. “Generasi muda sekarang malah malu menjadi bagian dari kesenian ini. Mereka bilang kuno. Mereka lebih senang bernyanyi dengan gitar, organ, atau dangdutan sampai tengah malam,” tutur Usman saat ditemui di rumahnya di Desa Taripa, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, awal September 2019. Bahkan kebanyakan generasi muda suku Kaili tidak tau-menahu kesenian dadendate. “Apalagi dalam hal memainkan alat musik dan melantunkan syair-syair. Sulit sekali mencari anak didik yang mau belajar kesenian ini. Anak saya sendiri tidak tertarik sama sekali,” ujar ayah dari enam anak ini dalam nada suara lirih. Biasanya Usman membawakan kesenian ini memainkan suling bersama tiga orang teman seperjuangannya, yakni Lafante sebagai pembawa kecapi dan penyair, Simalia sebagai penyair, dan Ali Musa sebagai pemain mbasi-mbasi. “Belum ada orang lain yang bisa memainkan secara baik selain saya dan teman-teman saya itu,” jelas Usman, yang sehari-hari bekerja sebagai pengambil rotan dan berkebun kakao.

Menurut Usman, kesenian dadendate dimainkan minimal oleh tiga orang dan maksimalnya tidak terbatas. Jika dimainkan oleh tiga orang, maka dua orang menjadi pelantun syair, di mana salah seorang dari pelantun tersebut sambil bermain kecapi. Sementara satu
orang lagi menggunakan alat musik mbasi-basi. Namun sebaiknya, lanjut
Usman, harus ada dua orang pelantun, satu orang pemain kecapi, dan satunya lagi peniup mbasi-mbasi.

Usman hidup di tempat di mana kesenian dadendate tercipta, tumbuh, dan populer pada masanya, yakni di Desa Taripa, Kecamatan Sindue. Usman mengaku belajar dari sepupunya sejak kecil ketika di bangku sekolah dasar (SD), yang bernama Tombualah. Tidak banyak yang dia ingat mengenai sejarah dan asal mula kesenian ini. “Yang saya tahu, dulu, kesenian ini menjadi kesenian wajib dan sering digunakan pada setiap acara penting,” ungkap Usman, lelaki kelahiran Taripa, tahun 1946.

Namun, menurut Muhammad Jaruki, peneliti sastra lisan dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebetulnya dadendate telah tumbuh di tengah masyarakat Desa Taripa sejak abad ke-18. Pada mulanya dadendate hanya berupa alat musik berbentuk perahu kecil, tanpa alunan lagu, dan fungsinya hanya sebagai pelampiasan kerinduan seseorang untuk berlayar ke lautan. Dalam perkembangannya, dadendate dinyanyikan (berbalas pantun) dan diiringi alat
musik seperti kecapi, gimba, kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e. Dadendate pun akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat luas, kemudian sering dipentaskan pada saat pesta panen, pesta perkawinan, khitanan, dan lain sebagainya.

Secara etimologi, dadendate berasal dari kata dade yang berarti
nyanyian dan ndate (bahasa Kaili dialek Kori) yang berarti panjang atau tinggi. Dadentate, dengan demikian, secara harfiah adalah nyanyian orang yang melakukan perjalanan dengan menaiki atau mendaki bukit hingga sampai ke tujuan. Oleh karena itu, dadendate sebagai seni tradisi tutur dapat diartikan lagu yang mengisahkan sesuatu dari bawah ke atas alias dari awal sampai akhir cerita, di mana isi ceritanya bersifat menanjak menuju puncak: dari paparan umum hingga cerita mencapai klimaks.

“Penciptaan syair dadendate secara spontanitas sesuai dengan keperluan, misalnya untuk pengobatan atau hiburan. Fungsi dadendate sebagai hiburan dilantunkan pada
pesta panen raya (movunja), pesta sunatan (mokeso), pesta perkawinan, hari-hari besar, dan pesta syukuran (kelahiran, menempati rumah baru). Dadendate juga dapat dimainkan pada acara mengenang seratus hari atau satu tahun orang yang telah meninggal.

“Pelantunan dadendate dapat dilaksanakan kapan saja, baik pada waktu siang, malam, maupun semalam suntuk, bahkan berhari-hari sesuai dengan permintaan masyarakat yang memerlukan,” kata Jaruki (lihat, “Pesan Bijak dan Pesan Moral dalam ‘Dadendate’: Tradisi Lisan Masyarakat Taripa”). Dadendate itu sendiri mengandung makna dan fungsi sosial kemasyarakat, berisikan pesan bijak untuk mengajak masyarakat agar berbuat yang bermanfaat dan kebaikan, untuk memelihara persatuan dan keutuhan, menyampaikan berita atau informasi, serta menceritakan sejarah atau peristiwa.

Usman menjelaskan, para pelantun berbagi peran dalam dadendate, ada yang melontarkan pertanyaan dan ada yang menjawab pertanyaan. Sahut-sahutan sampai semuanya terceritakan, maka tidak menuntut kemungkinan sampai berhari-hari. Jika dadendate diundang dalam acara syukuran atas selesainya seseorang dari perguruan tinggi atau universitas, maka orang tersebut diceritakan dari awal menempuh pendidikan sampai meraih gelar sarjana. Semua itu termasuk halangan dan rintangan, prestasi, dan segala hal yang berkaitan dengan hal itu, bahkan dana yang dihabiskan selama menjalani pendidikan. Tak jarang orang-orang yang hadir dalam acara tersebut juga ikut diceritakan dalam kesenian ini.

Usman terus menggolarakan semangatnya untuk melestarikan kesenian dadendate ini. Di tengah kemajuan zaman dan pusaran arus deras perubahan sosial-budaya di banyak tempat, tradisi lisan dalam bentuk seni bertutur seperti yang dilakoni Usman memang mulai kehilangan pijakan danbahkan tempat bergayut. Seperti suara dari masa silam yang terdengar semakin lirih, sayup dan terus menjauh, begitu pula seni tradisi pada umumnya yang kian tersingkir oleh anak-anak zaman.

Dia sangat berharap pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap pelaku seni dan generasi muda di Desa Taripa untuk pelestarian kesenian dadendate. Apabila keadaan sekarang dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan—cepat ataupun lambat—dadendate akan hilang atau musnah seiring dengan tidak adanya lagi penerus atau pewaris kesenian ini.  “Sekarang ini paling hanya 3-5 kali dalam setahun saya diundang untuk memainkan kesenian dadendate pada acara hajatan atau lainnya,” imbuh Usman. Meski begitu Usman dapat tersenyum lebar dan matanya berkaca-kaca ketika diberitahukan akan dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Sampai akhir
hayat, saya akan terus mencoba melestarikan dan mengajarkan dadendate. Saya tidak ikhlas apabila dadendate hilang dari bumi ini,” tegasnya.

Selama hidupnya, Usman sudah malang melintang memainkan dan mengajarkan kesenian dadendate di sekitar Palu, Donggala, Manado, bahkan sampai Bali, Lampung, Yogjakarta dan Jakarta. Dadendate memang tidak banyak memberinya penghasilan, tetapi lewat kemampuan bertutur serta memetik kecapi dan meniup mbasi-mbasi, paling tidak
ia—bersama rekannya Lagum Puyuh dan Lafante—sempat diundang tampil di sejumlah panggung tingkat nasional: Festival Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1999);
Festival Tradisi Lisan di Lampung (2001); dan Festival Tradisi Lisan di Manado (2003).