TASLIM BIN FAHAM, Tukang Koba dari Rokan

0
1492

Taslim bin Faham tak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan bahagia ketika mendapat kabar dirinya akan mendapat penghargaan sebagai Maestro dalam bidang seni tradisi lisan tahun 2014. Matanya berkaca-kaca. Suaranya agak tersendat.
“Saya tidak menduga akan mendapat penghargaan yang besar ini dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada pemerintah,” kata Taslim di rumahnya, Pasirpengarayan, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.
Taslim adalah tukang koba atau tukang cerita. Koba, adalah salah satu jenis sastra lisan yang masih hidup di Rokan Hulu, Riau, tetapi kini berada di ambang kepunahan. Menurut penuturan para tukang koba, seni ini sudah muncul sekitar dua abad silam. Dulu, seni ini populer di lingkungan masyarakat sekitar Sungai Rokan hulu dan hilir. Namun, kini, tak ada lagi yang ingin menekuni koba. Satu-satunya tukang koba yang bertahan adalah Taslim bin Faham yang bergelar Datuk Mogek Intan.
Taslim bertutur, ketika ia masih duduk di Sekolah Rakyat tahun 1960-an, koba menjadi kegiatan seni yang banyak digandrungi masyarakat. Ketika Taslim mulai terjun menjadi tukang koba, pada awal 1970-an, seni sastra lisan itu masih sangat digemari. “Saya seperti seorang artis pada masa itu. Banyak masyarakat senang mendengar koba,” tuturnya penuh semangat. Pada masa itu, tutur Taslim, koba selalu ditampilkan pada acara nikah, panen padi, dan acara-acara adat lainnya.
Kini usia Taslim sudah tidak muda lagi, 61 tahun, tetapi belum tampak munculnya tukang koba generasi baru. Kenyataan itulah yang membuat Taslim gundah dan memotivasi dirinya untuk mempertahankan seni sastra lisan dari nenek moyangnya di tengah gempuran berbagai seni hiburan modern.
Mengapa Wak Taslim setia dengan koba? “Karena panggilan hati,” jawab tukang koba yang sekolah sampai kelas lima sekolah rakyat itu. Ia mengaku mendapat bakat dari orang tuanya, terutama ibunya. Orang tuanya mendapatkan kemahiran berkoba juga dari orang tua mereka. “Saya belajar dari nenek dan ibu saya,” katanya.
“Koba sekarang sudah kalah dengan musik dangdut,” keluhnya, “anak-anak muda lebih senang mendengar musik dangdut daripada koba. Yang masih suka dengar koba adalah generasi tua, seperti saya.” Taslim bertutur pula bahwa sekarang koba sudah makin jarang dipentaskan. Hanya kalau ada acara peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus. Yang membuat Taslim makin gundah, saat ini satu per satu tukang koba di daerah Rokan meninggal dan tak sempat memberi tingkat estafet kepada generasi yang lebih muda. “Sekarang tinggal saya sendiri yang menjadi tukang koba. Saya risau tidak ada yang meneruskan seni ini lagi,” katanya dengan suara yang ditelan.
Wak Taslim agak bisa tersenyum karena putri kandungnya, Asmeni, menunjukkan bakatnya menjadi tukang koba. “Mungkin karena tumbuh di lingkungan ini dan saya selalu menyaksikan Ayah bermain koba, saya jadi suka seni koba ini,” ujar Asmeni. “Ayah sangat keras kalau mendidik,” tutur Asmeni dan Taslim – suami dari Rohana dan ayah dari Asmeni, Askardi, dan Aspentri – tampak tersenyum-senyum.
Biasanya, seorang tukang koba mengiringi ceritanya dengan menabuh bebano (rebana), tetapi tukang koba juga bisa bercerita tanpa menabuh bebano. Inilah yang disebut koba duduk. Koba duduk ini bak orang mendongeng. Tukang cerita hanya bercerita dan sesekali diselingi dengan nyanyian. Salah satu koba duduk yang terkenal adalah “Rao-rao dengan Puti Lindung Bulan”. Biasanya yang berkoba duduk seorang ibu atau ayah untuk meninabobokan anak.
Kisah-kisah dalam koba di Rokan, antara lain, “Panglima Awang”, “Anggun Cik Suri”, “Panglima Nayan dan Cik Iman”, “Bujang Jauh”, “Bunga Kuali”, “Siti Jaulun”, dan “Tilindong Bulan”. Biasanya cerita ini berisi tentang sejarah, nasihat, dan adat dari empat Kerajaan Melayu Nusantara, seperti Kerajaan Ledong, Galang, Ulung Galang, dan Tanah Moa. Menurut Wak Taslim, kisah “Panglima Awang” dan “Anggun Cik Suri” paling digemari karena banyak memakai pepatah-petitih. “Kisah ‘Panglima Awang’ bisa diceritakan selama tiga malam. Sedangkan lainnya, hanya satu malam,” paparnya.
Senja itu di rumahnya, bapak dan anak “memamerkan” kemahiran sebagai tukang koba. Taslim memukul rebana, sementara Asmeni bercerita sambil menyanyi bertajuk “Tumbai Moonduo, Monimang Anak di Ramah Joman Potang”. Ini sebuah kisah menimang anak pada zaman dahulu.
Taslim menuturkan, beberapa kali Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rokan melakukan pelatihan bagi anak muda agar bisa melahirkan tukang-tukang koba dari generasi baru. Taslim menjadi gurunya. Namun, hasilnya belum memuaskan. “Belum ada yang benar-benar menunjukkan minat dan bakat. Masih perlu waktu,” ujar Taslim.
Selain pandai berkoba, Wak Taslim juga dikenal pandai menyanyi Melayu, seperti “timang” atau “ratok” (ratap). Ia juga pandai memainkan musik, terutama bebano. Ia juga termasuk salah seorang ahli di bidang adat-istiadat Melayu Rambah/Sungai Rokan, menguasai sejarah lisan dalam kebudayaan Melayu Rokan, dan pandai berpantun serta berpepatah-petitih Melayu. Karena itu, ia sering menjadi narasumber penelitian sastra Melayu. Antara lain dilakukan untuk Will Derks yang kemudian menulis buku The Feast of Storytelling, On Malay Oral Tradition (1994) dan menjadi narasumber Sejarah Rokan Hulu dalam Kemah Budaya Mahasiswa 2014.