Tana Toraja: Bukan Pemukiman Biasa

0
3973

Tana Toraja
Tana Toraja sudah dikenal tidak hanya oleh wisatawan lokal, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Tana Toraja yang sudah mendunia tersebut sebelum menggunakan kata Tana Toraja pada mulanya terkenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’allo, yang berarti “Negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya, merupakan suatu kesatuan yang bulat bagaikan buan dan matahari”.

Kata Tana Toraja baru dikenal sejak abad XVII yaitu sejak daerah ini mengadakan hubungan dengan beberapa daerah tetangga, yang dalam hal ini kerajaan-kerajaan di daerah bugis yakni Bone, Sindenreng, dan Luwu. Arti kata Toraja ada yang menyebutkan dari bahasa bugis To, artinya Orang dan Riaja, artinya di atas atau bagian atas.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten, maka Kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi dua yakni Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Secara geografis wilayah Toraja (Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara terletak di sebelah utara ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar) dengan luas wilayah sekitae 3.205,77km2.

Toraja Traditional Settlements, merupakan warisan budaya Indonesia yang telah tercatat dalam Tentative List UNESCO sejak tahun 2009. Kemudian pada Bulan Februari 2013, Negara Indonesia kembali memasukkan Toraja dalam nominasi Warisan Dunia UNESCO sebagai living culture, dimana komponen-komponen fisik yang meliputi Tongkonan, alang, rante, pekuburan (liang, patane), area pengembalaan (penglambaran), hutan (kombong) menyatu dengan tradisi dan ritual di dalamnya, membentuk suatu sistem pada kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja.

Kesatuan elemen-elemen permukiman tradisional Toraja mencerminkan siklus kehidupan masyarakat tradisionalnya. Siklus tersebut menyangkut kepercayaan terhadap nenek moyang, kehidupan beragama dan bermasyarakat dan berornagisasi serta pemenuhan kebutuhan hidup. Pemikiran kosmologi dan kepercayaan terhadap nenek moyang diekspresikan dalam arsitektur Toraja melalui simbolisme, aturan dalam bentuk, ukuran, tata letak, orientasi, konstruksi, material bangunan, detail, ornamen dan aspek-aspek arsitektur lainnya.

Masyarakat tradisional Toraja di dalam membangun rumah tradisinalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi), yaitu: Konsep pusat atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkunga makrokosmos.

Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang mengintegrasikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante, liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja di dalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana umah dianggap sebagai mikrokosmos.

Orientasi bangunan Tongkonan selalu menghadap ke utara yang merupakan syarat mutlak yang dianut dalam pembangunan sebuah tongkonan. Prinsip ini dilatarbelakangi oleh falsafah 4 penjuru mata angin (Ada A’pa Ono na), dimana bagian utara (Ulunna Langi), merupakan penjuru yang paling utama dan tenpat yang dianggap paling mulia.

Pemukiman Toraja selalu berdiri berjajar memanjang dari timur ke barat membentuk satu tondok/kampung. Rumah/banua tongkonan selalu berpasangan berhadapan dengan alang. Satu tongkonan bisa memiliki satu atau lebih alang.

Deretan rumah Tongkonan dan alang membentuk ruang yang disebut alu baba/parampa, area upacara dan semua aktivitas dan aktivitas sehari-hari lainnya. Jadi, alu baba/parampa ini menjadi ‘ruang pengikat’ dan penyatu dalam kompleks. Hal ini menunjukkan peran komponen tongkonan, terutama Lolotau yaitu, hubungan manusia dengan sesamanya yang terjalin di alu baba/parampa ini.

Dalam satu tondok, terdapat kombong (hutan), yang biasanya mengelilingi tondok. Kombong ini sebagai benteng perlindungan/pagar, juga sebagai sumber bahan material tongkonan, terutama untuk atap. Selain pohon bambu, terdapat jugapohon-pohon lain seperti uru, banga, nangka, cendana, dan sebagainya. Keberadaan kombong dan tanaman-tanaman lainnya dalam tondok , menunjukkan relasi antara manusia dengan tanaman.

Bangunan Tongkonan dan alan, sangat banyak ditemui ukiran-ukiran yang memenuhi seluruh dinding dan bagian bangunan lain, yang disebut dengan passura, yang masing-masing memiliki makna dan arti dan penempatannya pun juga ada ketentuannya. Ukiran khas toraja, bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan penciptanya dengan sesama manusia, ternak, dan tanaman. Passura menggunakan pewarnaan alami, terdiri dari empat warna, yaitu hitam dengan bahan dasar arang periuk, merah dari tanah merah dicampur dengan cuka, kuning dari bahan tanah liat dan putih dari kapur sirih dicampur cuka.

Ukiran dasar yang harus ada pada setiap bangunan Tongkonan adalah: ukiran matahari, ukiran ayam jantan, ukiran kerbau, dan ukiran garis/geometris. Sementara ornamen-ornamen yang dipasangkan di rumah adalah ornamen kepala kerbau bertanduk, ornamen kepala ayam dan tanduk kerbau.

Bahan dasar pembuatan rumah tongkonan adalah kayu dan bambu. Bambu banyak digunakan untuk atap (khusus pada Tongkonan Papabatu penutup atap menggunakan lempeng batu). Sedangkan kayu yang digunakan diantaranya adalah pohon nangka, cendana, pohon aru, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk komponen bangunan lain, pohon bunga dan pohon solo.

Pada pengajuan naskah nominasi kedua pada 2013 tersbut, Toraja Traditional Settlementsmasih mendapat catatan perbaikan dari Tim Evaluasi, sehingga belum berhasil ditetapkan sebagai warisan dunia UNESCO. Warisan Dunia UNESCO adalah sebuag pengakuan, bukan merupakan pencapaian. Sehingga hal tersebut tidak mengurangi usaha pelestarian dan pengelolaan menjadi tanggung jawab kita bersama, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat (komunitas). Bagaimanapun, Toraja Tradisional Settlements bukan hanya milik masyarakat Toraja, tetapi warisan kita, warisan bangsa Indonesia yang beharga.
(Prima Ardiani)

Sumber: WarisanKita (2014)