TAIS PET

0
1606

Tais metan (kain asli) Arewe Alobyenan merupakan harta kekayaan dari marga Boina yang tersirat dan melekat pada diri leluhur Arewe Alobyenan sebagai seorang perempuan yang di jodohkan dengan Anduan Andaryaman (leluhur marga Boina). Hal ini terus berkelanjutan ketika anak laki-laki yang mengawini seorang putri/wanita akan diwariskan sebagai harta kekayaan. Seperti halnya nenek Maria Boina sebagai pemegang warisan, akan menyerahkannya kepada istri dari anak laki-lakinya, sebagai pewaris karya budaya leluhur mereka. Siklus ini akan berjalan terus selama prosesing tradisi ini masih tersimpan dalam benak dan di lakukan oleh pemilik tais metan dan terus berkembang dalam perilaku pemiliknya.
Secara umum persebaran tais pet masyarakat di Tanimbar (Nusantara pada umumnya) merupakan suatu proses yang berawal dari jalur perdagangan yang disebut Jalur Sutera. Penamaan Jalur sutera ini sesuai dengan jalur ekspedisi perdagangan kain sutera yang dilakukan oleh bangsa Cina. Peradaban Cina dengan tenun sutera pada masa Dinasti Han sangat terkenal mencapai Asia Tengah (Turkistan), Korea, Mansyuria Selatan, Anam, dan Sinkiaing (daerah utara Tibet). Selain itu kaisar Cina juga menjalin hubungan dengan mancanegara. Jalur perdagangan ke Barat sampai ke wilayah Roma sebagai awal di kenal sebutan “Jalur Sutera”. Kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Tang terjalinlah hubungan dagang antara negeri Cina dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Hal ini terjadi pada tahun 618 – 906, ditandai dengan kunjungan para musafir dari Cina misalnya I Tsing di Sriwijaya. Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan berkunjung ke Majapahit. Dari Kerajaan Majapahitlah maka, penyebaran Tais pet (kain tenun) mulai di pelajari oleh penduduk pribumi di Nusantara. Dengan demikian dapat dipastikan, penyebaran kain tenun sutera sekaligus pengetahuannya ke kepulauan Tanimbar terjadi sekitar Abad ke III.
Tais pet/kain tenun dan persebarannya di kepulauan tanimbar menggambarkan suatu nuansa integritas beberapa etnik atau kelompok komunitas, yang berkembang dari masa ke masa, yang disinyalir melalui dua jalur pesebaran dengan periode waktu yang berbeda. Pesebaran pertama disinyalir berada pada periode perdangan barter di wilayah Nusantara, dengan jalur dari Arah Barat ke Timur Nusantara, yakni melalui Malaka, pulau Sumatera, Jawa, Bali , Lombok, Timor dan berakhir di kepulauan Maluku (Babar, Tanimbar, Kei dan Seram). Sedangkan jalur ke dua di sinyalir dari arah Barat, namun kemudian ke Utara, yaitu melalui Sumatera, Jawa, Sulawesi (Makasar, Toraja, Palu, Manado), Maluku Utara (Ternate-Tidore, Halmahera) ke Seram sampai ke arah Selatan Maluku (Kepulauan Kei, Tanimbar dan Babar). Persebaran penduduk ke wilayah Timur Nusantara bersamaan dengan keahlian tenun masing-masing kelompok migrasi, juga memberikan nuansa integritas budaya di Nusantara.
Kelompok-kelompok komunitas adat kepulauan Tanimbar kebanyakan mengakui bahwa pengetahuan tenun mereka sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Hal ini teradobsi ketika para leluhur mereka melakukan migrasi dan menyebar ke pulau-pulau di wilayah tersebut. Penyebaran secara lokal dalam wilayah Maluku diperkirakan melalui pulau Kisar, dimana terdapat suku Oirata, yang berkaitan dengan
Sejarah penyebaran penduduk dari pulau Timor, sebagai sumber persebaran kerajinan kain tenun ke wilayah Maluku. Belum ada penelitian khusus dan mendalam tentang persebaran pengetahuan kerajinan kain tenun ke wilayah Maluku, namun pada umumnya masyarakat di Kepulauan Tanimbar memiliki aktivitas tersebut.
Keberadaan ini kemudian oleh para leluhur di kepulauan tanimbar melakukan penyesuaian lingkungan, sehingga munculnya ide-ide baru sebagai sistem tenun Tanimbar. Berkaitan dengan latar belakang sejarah itu maka masyarakat Tanimbar pada saat ini memiliki keragaman motif dan jenis kain tenun sehingga penamaan kain tenun secara umum disebut Tais Pet atau Kain Tenun.
Keberadaan kain tenun di Kepuluan Tanimbar tentunya memiliki kisah perjalanan yang panjang. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang tersirat dalam cerita-cerita rakyat di kepulauan Tanimbar, tentang kedatangan dan penyebaran manusia di wilayah tersebut. Sangatlah sulit untuk menyatukan persepsi tentang hikayat yang terdapat pada kelompok-kelompok atau komunitas orang-orang Tanimbar. Hal ini berkaitan dengan penyebaran penduduk secara periodetik. Namun ada sesuatu hal yang sangat penting sebagai garis terang untuk mengungkapkan tentang penyebaran kelompok marga dan kain tenunnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kain tenun pusaka yang tersebar pada komunitas Tanimbar.
Pengetahuan tenun kain tradisional pada masyarakat di kepulauan Tanimbar sekarang ini dapat di buktikan dengan adanya kelompok-kelompok penenun yang tersebar keseluruh wilayah Tanimbar. Sebagai salah satu contoh pada masyarakat di desa Olilit terdapat kelompok pengrajin tenun antara lain kelompok Jiku Sembilan, Taisfian , Badar Melar dan kelopok Tenun Ampera. Kelompok pengrajin ini merupakan gabungan keluarga/marga dan ada pula yang dilakukan oleh marga tertentu yang lebih cenderung melakukan tenun berdasar pada motif kain pusaka mereka. Di desa Olilit tersebut terdapat beberapa marga yang memiliki kain pusaka atau kain tenun asli yang disebut Tais Matan. Beberapa contoh kepemilikan kain tenun asli yaitu; Tais Alolinisila dari marga Watunglawar, Tais Wangin dan Tais Arewe Alobyenan kepunyaan marga Boina. Tais Metan Arewe Alobyenan merupakan sample dalam inventaris ini, karena masih memiliki sumber sejarah yang cukup jelas. Samapai saat ini kain pusaka Arewe Alobyanan masih ada dan di wariskan kepada nenek Maria Boina yang sekarang berumur 81 tahun.
Nenek Maria Boina adalah anak dari Antonius Melisa Boina. Antonius Melisa Boina adalah anak dari Boin Lilyakaman, yang merupakan cikal bakal dari nama marga Boina. Boin Lilyakaman mempunyai ayah yang bernama Anduan Anaryaman dan ibu bernama Arewe Alobyenan, yang merupakan cikal bakal terciptananya nama kain tenun asli atau Tais metan Arewe Alobyenan. Nenek Arewe Alobyenan adalah seorang putri yang berasal dari desa Awear, pulau Larat (termasuk dalam Wilayah Tanimbar bagian Utara ; Pulau Larat yang terkenal dengan kembang larat yang disebut lelemuku atau bunga anggrek yang kemudian dinobatkan oleh masyarakat Tanimbar sebagai simbol kecantikan perempuan Tanimbar, ternyata memberikan inspirasi terciptanya motif pada tenun ikat Arewe Alobyenan dan pada motif-motif tenun tanimbar pada umumnya dan juga motif-motif dasar tentang lingkungan alam semesta turut mendukung inspirasi penciptaan motif kain ini). Putri Arewe Alobyenan menikah dan masuk dalam marga Boina, dan menetap sekaligus bergabung dengan komunitas di desa Olilit sebagai tempat kelahiran suaminya. Di tempat inilah maka berkembanglah inspirasi kain tenun Arewe Alobyenan yang terukir lewat-karya-karya dari cucunya yaitu Maria Boina.