Siti Sutiyah: Seni Tari Harus Masuk Kurikulum

0
1642

Semangat Siti Sutiyah untuk melestarikan tari Jawa klasik Keraton Yogyakarta tidak pernah
padam. Dari kursi rodanya ia tak bosan memberi tahu anak didiknya yang ikut belajar menari di Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa di nDalem Puja Kusuman, Yogyakarta.

Siti memberi masukan bagaimana gerak-gerak yang pas untuk tari Jawa klasik yang sedang dipelajari para siswa. Ia memang tak bisa memberi contoh lagi karena sakit. Kalau ia butuh untuk memperagakan gerakan yang diinginkannya, maka ia meminta asisten-asistennya untuk melakukannya.

“Asisten saya itu dulunya murid saya. Mereka melakukan pekerjaan itu dengan sukarela. Kami belum bisa memberikan penghargaan yang layak kepada mereka. Penghargaan masih minim sekali. Penghargaannya hanya cukup untuk beli bensin. Yayasan belum bisa memberi lebih,” ujar Siti yang mendapat nama KRT Dwijosamintomurti dari Keraton Yogyakarta. Ia memuji para asistennya dalam mengajar di sanggar yang didirikan tahun 1962 oleh suaminya, KRT Sasmintodipuro (alm), maestro tari gaya Yogyakarta.

Kegiatan di sanggar tari itu berlangsung setiap hari dengan kelas berbeda. Saat ini muridnya tidak kurang 200 orang. Umumnya mereka berasal dari masyarakat di luar keraton, bahkan ada juga dari luar negeri yang sedang belajar di ISI Yogyakarta.

Siti sebenarnya tidak hanya mengajar peserta di sanggar tersebut, tetapi pernah juga mengajar tari kelima putri Sultan Hamengku Buwono X. Ketika Sultan HB X masih memimpin pabrik gula Madukismo, secara rutin Siti datang untuk melatih putri-putri Sultan. Sultan, menurut dia, menghendaki putri-putrinya bisa menari. “Sultan sangat disiplin agar putrinya belajar menari dengan serius. Dulu Sultan adalah Direktur Madukismo. Saya dipanggil ke sana untuk mengajar. Kalau saya sampai di sana dan putriputrinya belum siap, Sultan akan marah. ‘Gurunya sudah datang, belum mandi? Cepat mandi’,” kata Siti menirukan Sultan waktu itu.

Bahkan Sultan meminta putri-putrinya untuk belajar di Puja Kusuman. “Beliau konsekuen. Beliau sendiri datang mengantar putrinya untuk belajar menari. Malah ditungguin. Sultan sangat disiplin,” tutur Siti tentang pengalamannya mengajar putri-putri Sultan. “Proses pelestarian itu akhirnya jalan karena Sultan juga turun tangan sendiri,” lanjutnya. Saat ini ia tak bisa turun sendiri untuk mengajar putri-putri Sultan menari tari klasik Keraton Yogyakarta. Akan tetapi ia telah menyiapkan seorang asisten, yaitu Putria Retno Pujiastuti Candradewi, untuk melanjutkan kegiatannya mengajar putri-putri Sultan menari.

Perjuangan melestarikan tari Jawa klasik dimulai Siti justru dari keluarganya sendiri. Putra tunggalnya dari perkawinannya dengan Romo Sas, begitu KRT Sasmintodipuro biasa disapa, yakni Alin Nursetia Nugroho, juga mengikuti jejak kedua orangtuanya. Bahkan cucunya, Titia Saraswati Herwening, juga suka belajar menari. “Saya senang cucu saya suka menari. Tanpa paksaan,” katanya bangga. Kemampuan Siti dalam seni tari sebenarnya komplet. Ia juga mampu menembang dengan baik. Pada saat bersamaan ia juga melakonkan hidup sebagai pengajar. Ia merasa bahagia dengan peran mengajar karena dengan mengajar ia bisa ikut melestarikan tari klasik Jawa.

Sebagai seorang pensiunan guru dan pegawai negeri, ia mengungkapkan alasan kuatnya untuk ikut melestarikan tari Jawa klasik adalah mau mendidik generasi sekarang. Tari
adalah alat pendidikan yang bagus karena di sana diajarkan etika. Selain itu, dan ini alasan yang penting, tari-tari klasik yang telah diciptakan itu adalah karya-karya yang sangat bagus dan indah. “Sayang sekali kalau tari-tari klasik itu tidak dilestarikan. Belum tentu kita bisa menciptakan tari sebagus seperti yang telah mereka ciptakan pada masa lalu. Nilai yang terkandung di dalamnya juga luar biasa,” katanya memberi alasan. Siti mulai tertarik dengan tari klasik keraton saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu hari ia diajak ayahnya untuk menonton tari di keraton. Tari itu benar-benar menyihirnya. Gerakan para penarinya terasa halus.

Begitu pulang ke rumah, ia meminta pada ayahnya agar ia bisa ikut latihan menari. Ternyata saat berlatih ia tidak hanya belajar bagaimana gerak tari, akan tetapi juga tata krama kehidupan. Rupanya bakat tarinya menonjol. Setelah tamat SD ia langsung masuk SMP, lalu dilanjutkan di Konservatori Tari Indonesia dan SMKI. Ternyata gurunya melihat bakat besar yang ada dalam dirinya. Ia diminta untuk mengajar di Taman Siswa, termasuk
murid-murid SPG (sekolah pendidikan guru).

Tentu saja Siti agak gugup menerima tawaran tersebut. Apalagi yang mau diajarnya masih sebaya dengannya. Tetapi gurunya membesarkan hatinya bahwa ia bisa. Maka, sebelum mengajar ia dimita untuk datang ke rumah gurunya. “Kalau kamu mengajar, kamu harus menguasai apa yang kamu mau ajar,“ begitu pesan gurunya. Ia pun dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Setelah menggondol gelar sarjana seni ia tidak saja aktif menari dan menembang, tetapi juga mengajar sebagai profesi utamanya. Ia mengajar tidak saja di Yogyakarta, tetapi melalang buana keluar negeri. Pada tahun 1979 dan 1986 ia diundang mengajar tari di UCLA, Amerika Serikat. Lalu, pada 2008, mengajar tari di sanggar Lontang Sisik di Osaka, Jepang, dan di sanggar Gan A Tsui di Taipei, Taiwan. Tahun berikutnya ia memberi lokakarya di Fukuoka University, Jepang.

“Tahun ini (2019) sebetulnya ada permintaan dari Taipei. Saya bilang, saya mengirim asisten karena keadaan saya lagi kurang sehat. Mereka bilang, ‘kami meminta Anda.’
Ya, saya tidak bisa berangkat ke sana,” tuturnya. Sebagai penari ia masih tetap tampil di keraton. Saat menginjak usia 50 tahun ia sempat ikut pentas Tari Bedoyo di keraton selama 2,5 jam dan masih kuat untuk jongkok. Semua itu terjadi karena latihan yang penuh disiplin pada masa mudanya.

Ia juga tidak hanya pentas di keraton atau dalam negeri, tapi juga di mancanegara. Ia beberapa kali pentas di Eropa, seperti di Inggris, Jerman, Belanda, Belgia, dan Italia. Di Asia ia pernah tampil di Hong Kong Art Festival. Ada pengalaman yang paling berkesan ketika pentas di Sao Paulo, Brasil, tahun 1993. Pementasan itu bersamaan dengan pementasan Michael di Sao Paulo. Tempat pementasan Siti dan rombongannya berhadapan dengan tempat Michael Jackson manggung.

“Saya minder, jangan-jangan pentas kami tidak akan ada yang menonton. Tempat pementasannya berhadapan. Yang terjadi kemudian, di tempat Michael Jackson penuh sesak, di tempat kami juga penuh sesak. Saya merasa bangga sekali. Ternyata tidak semua orang tertarik dengan pertunjukan besar seperi Michael Jackson. Masih ada yang tertarik nonton pentas tari klasik. Waktu itu kami membawakan frgamen Ramayana,” kenangnya. Siti juga banyak menciptakan tari seperti “Srimpi Catur Mangala Retno” (2015), “Beksan Kuraisin Widaningrum” (2014), “Tari Manggala Retno” (2011), “Rekonstruksi Bedhaya Kuwung-kuwung ciptaan HB VII” (2005), dan “Sumantri Ngenger” (1980). Dari semua ciptaannya yang paling disukainya adalah “Sumantri Ngenger”, karena banyak mengandung pesan moral seperti kalau kita sudah dibantu orang kita tidak boleh melupakan jasa orang  yang telah membantu kita.

Menanggapi Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diterimanya, Siti merasa sangat bersyukur karena apa yang dikerjakannya selama ini mendapat apresiasi dari pemerintah. Anugerah itu memotivasinya makin bertanggung jawab sebagai pelestari. “Saya mau konsekuen sebagai pelestari agar penghargaan ini tidak sia-sia. Harus ada buktinya,” ujarnya.

Ia berharap, pendidikan seni tari perlu dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah agar tari yang ada di seluruh Indonesia bisa dilestarikan. “Kalau hanya pelaku seni yang melestarikan, pasti tidak akan kuat. Pemerintah harus mendukung dengan cara memasukkan seni tari dalam kurikulum. Apalagi seni tari itu baik untuk pendidikan. Indonesia boleh kalah dari sudut teknologi, tetapi dalam soal budaya Indonesia sangat hebat. “Tari itu bisa membantu mengembangkan karakter bangsa. Juga karakter anak,” ujarnya.

Sumber: Buku Profil Penerima Augerah Kebudayaan 2019