RUMAH ADAT KARO

0
10707

Beberapa rumah adat di Indonesia memiliki bentuk-bentuk khusus yang membedakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Hal ini menandakan bahwa rumah tersebut dibangun tidak semata-mata mengikuti iklim atau cuaca yang ada pada daerahnya; tetapi lebih kepada pemahaman dan pengetahuan budaya dari masyarakatnya. Oleh karena itu, rumah adat dapat dikatakan sebagai refleksi dari kebudayaan masyarakat empunya budaya. Rumah adat di Kabupaten Karo juga memiliki kriteria seperti yang telah disebutkan. Masyarakat Karo biasanya menyebut rumah adat mereka dengan nama Rumah adat Karo atau Siwaluh jabu.
Siwaluh jabu, artinya satu rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Siwaluh jabu memiliki bentuk yang unik dan megah. Dikatakan “unik” karena sama sekali dibuat tanpa bantuan sebatang paku. Selain itu, dinding rumahnya tidak berdiri tegak lurus, melainkan dengan sudut kemiringan 120°. Megah karena memiliki dimensi yang tinggi dan besar. Panjangnya sekitar 17 meter, lebarnya sekitar 12 meter, dan tingginya sekitar 12 meter. Semua dimensi itu didukung oleh 20 tiang pondasi kayu yang hanya berdiri di atas umpak batu. Di antara pertemuan antara tiang-tiang pondasi dan umpak batu diberi ijuk agar kayu pondasi tetap kering. Selain itu, fungsi ijuk juga sebagai halangan agar hewan melata (ular) tidak bisa merayap melalui tiang-tiang kayu untuk memasuki rumah.
Adapun nama-nama peralatan/ bagian dari rumah adat itu adalah sebagai berikut :
• Palas : pondasi dari batu
• Permanan : ijuk antara palas dengan benangan
• Benangan : tiang yang banyaknya enam buah
• Pandak : tiang penahan lantai rumah banyaknya enam buah
• Send : pengikat benangan dan pandak rumah menjadi sendi
• Gulang-gulang : kayu sebesar pergelangan tangan
• Dapur : dapur
• Daliken : tungku
• Kalang Papan : penahan papan lantai
• Kembing lebah : papan penutup labah
• Labah : pintu
• Dangulen : tangga ke pintu masuk rumah
• Papan : lantai
• Para Tuhur : tempat pengeringan
• Para Tengah : tempat gantungan ukat
• Para Kudin : tempat kudin
• Para ndegeng : tempat Pesembahan
• Para Layar : tempat mengeringkan kayu api
• Bal-bal : tanda kerin
• Papan Tonggal : jalan di tengah rumah
• Melen-Melan : penahan Dinding (derpih)
• Tula-Tula : sandaran rusuk
• Derpih : dinding Rumah
• Kiten (Kite-Kite) Kucing : tempat tegaknya tunjuk langit
• Tunjuk Langit : penahan rabung rumah
• Rancang : tander rusuk
• Ongkilen : melentikkan atap
• Perampu : tempat perongkil
• Alo Angin : penahan angin
• Apit : penjepit kelempa
• Rabung : penutup atap
• Ayo-ayo : anyaman (bayu-bayu) pada muka rumah
• Tanduk : tanduk rumah
• Redan para : tangga ke para
• Redan Ture : tangga ke beranda rumah
• Ture : beranda rumah dari bambu
• Benangan Ture : penahan ture
• Awit : penopang ture
• Pintu mbelang/labah : pintu
• Pintu Perik/tingkap : jendela
• Bendi-bendi : pegangan tangan di pintu rumah
• Eruk-eruk : kunci rumah
• Teh-teh tanduk : kudin taneh, tempat air di bawah tanduk
• Ret-ret : pengikat dinding rumah yang berbentuk cecak/kadal
• Cambang-cambang : takal singa, patung singa di sudut rumah
• Jujungan derpih : pengikat derpih bagian atas
• Tekang : di atas benangan 3 buah
• Buang para : penahan lantai para
• Jangka : tangga ke bubungan rumah
• Raris : penahan ijuk
• Beligan : bambu tempat mengikatkan ijuk
• Kalempu : ijuk yang digulung sebagai dasar atap rumah
• Tarum : atap rumah dari ijuk
• Tersek : patung rumah kecil di atas rumah
• Sangka Manuk : balok-balok sebagai dasar rumah di atas palas

Keterangan dan sumber gambar:
A = Tampak dan detail ragam hias pada tipe rumah Mecu (Septiady, 2001:51).
B = Perspektif dan pembagian ruang untuk 8 keluarga sehingga disebut sebagai Siwaluh jabu
(Davison & Geok Yian, eds., 1998:25 diolah dalam Septiady, 2001:73).
C = Kondisi Siwaluh jabu terkini (Septiady, verifikasi pencatatan Warisan Budaya takbenda Indonesia, 2013).
D = Kondisi rumah Kete saat terkini (Septiady, verifikasi pencatatan Warisan Budaya takbenda Indonesia, 2013).
Kemegahan Siwaluh jabu juga dapat dilihat pada bagian atapnya, yang memiliki hiasan dari anyaman bambu yang diberi bentuk-bentuk khusus sebagai simbol dari kesatuan hidup masyarakat setempat. Bagian hiasan ini disebut oleh masyarakat Karo sebagai ayo, sedangkan atap berbentuk segitiga tempat diletakkannya ayo disebut dengan lambe-lambe. Dari segi usia bangunan, rata-rata Siwaluh jabu didirikan pada tahun 1880-an. Faktor usia bangunan inilah yang membuat rumah adat Karo semakin lama semakin berkurang, karena biaya perbaikannya yang sangat mahal. Berdasarkan verifikasi terakhir (26 Oktober 2013), jumlah rumah adat Karo sebagai berikut: Desa Lingga ada 2 unit; Desa Dokan ada 5 unit; dan Desa Peceren ada 1 unit.
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Septiady, 1994), diketahui bahwa berdasarkan bentuk dan besaran fisiknya, rumah adat karo terbagi dalam 3 jenis, yaitu Rumah Sianjung-anjung, Rumah mecu, dan Rumah Adat Kete. Rumah Sianjung-anjung dan rumah mecu termasuk dalam kategori Siwaluh jabu, perbedaannya pada bentuk tampak mukanya namun besaran interior dan pembagian ruangnya cenderung sama. Sementara untuk rumah Kete hanya ada di Desa Dokan. Ukuran rumahnya lebih kecil dari Siwaluh jabu, separuh dari besaran Siwaluh jabu, namun demikian bentuknya sama dengan rumah mecu. Rumah Kete di desa Dokan masih ada sampai saat ini, dan dimiliki oleh keluarga dari marga Sitepu. Untuk rumah Sianjung-anjung kini sudah tidak ada lagi, punah. Sementara pada tahun 1994 rumah Sianjung-anjung masih ada 1 unit di Desa Budaya Lingga. Jadi saat ini rumah adat Karo yang masih ada adalah Siwaluh jabu dan rumah kete (lihat gambar).
Rumah adat Karo termasuk dalam kategori warisan budaya karena berfungsi sebagai alat bantu pengingat ‘mnemonic device’ empunya budaya yang terwujud dalam elemen-elemen pada bagian rumahnya yang berfungsi sebagai simbol pengatur tingkah laku dengan sesamanya maupun dengan alam lingkungannya (Septiady, 2012, 2013).
Dari segi usia bangunan, rata-rata Siwaluh jabu didirikan pada tahun 1880-an. Faktor usia bangunan inilah yang membuat rumah adat Karo semakin lama semakin berkurang, karena biaya perbaikannya yang sangat mahal. Rumah adat Karo termasuk dalam kategori warisan budaya karena berfungsi sebagai alat bantu pengingat ‘mnemonic device’ empunya budaya yang terwujud dalam elemen-elemen pada bagian rumahnya yang berfungsi sebagai simbol pengatur tingkah laku dengan sesamanya maupun dengan alam lingkungannya.