RONGGENG GUNUNG

0
4450

Ronggeng gunung adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang terdapat di Kabupaten Ciamis tepatnya berasal dari Kecamatan Banjarsari. Dari namanya, ronggeng gunung menunjukkan kesenian dengan peran utamanya ronggeng atau penari perempuan. Kesenian tersebut muncul dan berkembang di wilayah pegunungan. Sebagai tarian rakyat, ronggeng gunung memilki daya tarik tersendiri bagi penontonnya. Meskipun kini berkembang sebagai kegiatan hiburan, keberadaannya masih pada posisi statis di antara perkembangan kesenian lain. Padahal, ronggeng gunung merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Ciamis.
Berdasarkan keterangan dari Latif Adiwidjaja, seorang budayawan Ciamis, bahwa pada zaman dahulu, di ujung Pananjung berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Raden Anggalarang. Istri sang raja bernama Dewi Siti Samboja, yang kelak akan disebut Dewi Rengganis. Raden Anggalarang mendirikan sebuah kerajaan di sana atas kehendak sendiri. Dia sengaja meminta kepada ayahnya, yaitu Prabu Haur Kuning, yang sedang memimpin kerajaan di Daerah Galuh.
Sejak awal, Prabu Haur Kuning sudah memiliki firasat yang kurang baik terhadap niat anaknya, yang ingin membangun sebuah kerajaan. Firasat itu muncul karena dia mengetahui situasi dan kondisi tempat tersebut. Lokasi untuk kerajaan anaknya berada tidak jauh dari pinggir pantai. Wilayah tersebut, apalagi di ujung Pananjung, merupakan tempat persinggahan andar-andar atau bajo. Oleh karena itu, wilayah tersebut kemudian disebut Pangandaran. Mereka dikenal sebagai orang-orang jahat. Sekalipun kerajaan yang dikehendaki anaknya berdiri, diperkirakan keberadaan kerajaan tersebut tidak akan berumur lama oleh ayahnya. Raden Anggalarang tidak mengindahkan kekhawatiran ayahnya. Dia tetap bersikeras untuk mendirikan kerajaan sampai selesai. Dalam menyelesaikan pekerjaan besar tersebut, dia dibantu para pengikutnya, juga didampingi oleh Patih Kidang Pananjung dan Mama Lengser.
Apa yang dikhawatirkan Prabu Haur Kuning memang menjadi kenyataan. Tidak berapa lama setelah kerajaan itu berdiri, terjadi peperangan antara pasukan dari kerajaan pimpinan Kipatih Kidang Pananjung dan para bajo (orang jahat) yang singgah di perairan tersebut. Tampaknya pimpinan bajo begitu bersemangat dalam peperangan itu, karena mengetahui istri pimpinan musuhnya sangat cantik. Sang permaisuri raja itu bernama Dewi Siti Samboja. Dalam peperangan tersebut, para bajo berhasil melumpuhkan Kipatih Kidang Pananjung sampai mati. Kekalahan itu memaksa Raden Anggalarang untuk pergi dari tempat tersebut. Dia pun berembug dengan Mama Lengser untuk menentukan arah yang akan dituju. Mereka memutuskan untuk pergi ke tempat yang diperkirakan agak aman, yakni ke sebelah timur. Tibalah mereka di suatu tempat yang kemudian disebut Babakan, karena digunakan Raden Anggalarang untuk beristrirahat (mabak-mabak).
Beberapa hari kemudian, para bajo mencium keberadaan rombongan Raden Anggalarang di tempat yang baru disinggahi. Selanjutnya, mereka langsung menyusun kekuatan untuk menyerang rombongan Raden Anggalarang, termasuk di dalamnya adalah rencana untuk memboyong sang permaisuri. Pimpinan para bajo memang sangat terpesona dan tergila-gila dengan kecantikan sang permaisuri. Mereka melanjutkan perjalanan menuju utara, dan tiba di satu daerah yang kemudian dinamakan Padon Telu Disebut demikian karena merupakan perbatasan dari tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Parigi, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan Kalipucang. Di sana mereka mendapat informasi, musuhnya terus mengikuti kemana pun mereka pergi. Raden Anggalarang dan Mama Lengser berembug untuk mencari cara menyelamatkan sang permaisuri. Mereka sepakat, Dewi Siti Samboja besama Mama Lengser pergi ke utara, sedangkan Raden Anggalarang menuju selatan.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi Siti Samboja naik dulu ke sebuah gunung yang diperkirakan dapat melihat perjalanan sang suami, yakni Raden Anggalarang. Ketika dia melihat ke selatan, tampak suaminya sedang bertempur dengan para bajo yang sengaja terus mengejarnya. Suaminya kalah dalam pertempuran itu, dan mayatnya diarak oleh para bajo. Dewi Siti Samboja bersama Mama Lengser segera berangkat ke utara hingga sampai di pinggir sungai yang kemudian disebut Citanduy. Di situ Dewi Siti Samboja bertemu dengan tukang rakit yang dapat menyebrangkan dirinya dan Mama Lengser. Begitu sampai di seberang, mereka berpesan agar tukang rakit tidak memberi tahu mereka kepada orang lain.
Dewi Siti Samboja dan Mama Lengser kemudian berangkat lagi menuju selatan dan sampai di daerah pegunungan yang kemudian disebut Tunggilis. Karena merasa lelah dengan kesengsaraannya, Dewi Siti Samboja menangis tak henti-hentinya di sana. Oleh karena itu, tempat tersebut dinamakan Tunggilis, dari kata tangis nu geulis atau tangisan si cantik jelita. Di daerah pegunungan itu, Dewi Siti Samboja menyepi dan bertapa. Dalam keheningan, dia mendengar suara tanpa wujud. Intinya merupakan perintah agar rombongan Dewi Siti Samboja menyamar menjadi rombongan seni doger (ketuk tilu) bersama-sama dengan pemuda-pemuda setempat. Dewi Siti Samboja sendiri menjadi waranggana atau ronggengnya. Tujuan penyamaran itu tentu saja untuk menyelamatkan Dewi Siti Samboja beserta rombongannya dari kejaran para bajo. Berbulan-bulan Dewi Siti Samboja menyamar sebagai ronggeng bersama para pemuda yang ada di daerah pegunungan Kendeng. Dewi Siti Samboja pun mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis.

Pertunjukan ronggeng gunung ciamis berlatar belakang layaknya sebuah diorama dari seorang dewi rengganis atau dewi siti samboja yang melakukan strategi balas dendam atas kematian suaminya – Anggalarang – yang telah dibunuh oleh bajo (perompak). Strategi tersebut diterapkan dalam sebuah bentuk kesenian yang dinamakan ronggeng gunung.
Bentuk pertunjukan ronggeng gunung sangat mirip dengan alur kisah dewi samboja yang berperan sebagai nini bogem saat menyuguhkan tarian di depan perompak. Saat lantunan syair yang dinyanyikan nini bogem, para pengibing datang dan mengelilingi nini bogem dengan gerakan-gerakan layaknya sebuah tarian. Atribut khas yang dikenakan adalah sarung yang menutupi wajah para pengibing. Cara mengenakannya adalah dengan memegang ujung sarung dengan kedua belah tangan kemudian ditarik keatas sekitar 450 sehingga menutupi wajah pengibing. Dalam kondisi realitas masa itu, pengibing membawa berbagai macam peralatan tempur yang tertutupi oleh sarung sehingga para perompak hanya menganggap bahwa mereka adalah sebuah group kesenian biasa yang tidak berbahaya sama sekali. Sesekali para pengibing pada tempo tertentu mengucapkan “hong”, yaitu semacam kode tindakan yang akan mereka lakukan kepada para perompak. Tarian berbentuk lingkaran tersebut semakin lama semakin menghanyut dan memancing para perompak untuk ikut menari bersama dengan para pengibing layaknya seekor ikan yang mendekati umpan. Dan, puncaknya adalah penyerangan kepada perompak sehingga menewaskan para pelaku yang telah membunuh Anggalarang, suami dewi rengganis.
Beranjak dari awal mula kesenian ronggeng gunung di atas, kesenian ini kemudian dikemas menjadi semacam pertunjukan resmi namun dengan tema yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik balas dendam sang dewi rengganis. Pementasan ronggeng gunung saat pertama diperkenalkan lebih bertemakan upacara bidang pertanian, mulai dari ngaseuk, sapangjadian pare, mapag pare beukah, sawenan, mipit, dan berakhir dengan panen.
Pada awalnya, tuan rumah yang hendak mementaskan ronggeng gunung biasanya hanya mengundang peronggeng saja untuk sebagai tokoh utama seni ronggeng gunung. Para pengibing tidak perlu didatangkan oleh peronggeng sendiri karena biasanya warga yang berada di dekat lokasi pertunjukan menyediakan dengan sukarela. Saat pementasan, peronggeng menyanyikan lagu wajib terlebih dahulu, yaitu kudu turip. Waditra pengiring pun demikian halnya, Suara lengkingan tersebut sudah cukup untuk menggugah bagi yang empunya waditra untuk menuju lokasi untuk kemudian mengiringi alunan suara peronggeng. Suara melengking sang peronggeng terdengar terdengar bahkan dari kejauhan, menjadi semacam pertanda bahwa ada pertunjukan ronggeng gunung. Pada masa dahulu, warga yang mendengar kemudian berusaha mencari asal suara tersebut. Sesampainya di lokasi, merekapun melihat dan banyak pula yang ikut menari bersama peronggeng.
Keinginan untuk mementaskan ronggeng gunung kala itu didasarkan atas rasa syukur atas beberapa tahapan yang akan atau telah dilalui dalam proses pertanian. Saat panen tiba biasanya adalah masa panen pula bagi senin ronggeng gunung. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pula yang hendak mementaskan ronggeng gunung pada saat hendak mulai tandur.
Setelah pementasan selesai, sang tuan rumah, pada masa dahulu, tidak memberikan jasa dalam bentuk uang. Sebagai gantinya, tuan rumah memberikan barang-barang hasil pertanian atau kebun kepada peronggeng, seperti padi dan buah-buahan. Ada juga yang memberikan seperangkat kain atau benda lainnya yang bukan dari hasil panen atau kebun. Biasanya barang bukan hasil panen tersebut diberikan karena tema hajatan dilakukan bukan pada saat musim panen tetapi saat masa persiapan atau selama penanaman.
Beranjak pada masa perjuangan kemerdekaan, menurut salah seorang informan, bahwa kesenian ronggeng gunung juga menjadi salah satu alat untuk melakukan strategi intelejen. Pengibing yang menutupi bagian badan hingga wajahnya dengan sarung, disamping meneriakkan “hong”, sambil berbisik mereka bisa saling bertukar informasi mengenai pertahanan musuh atau posisi para pejuang kemerdekaan. Dapat juga menjadi sarana pertukaran senjata yang mereka bawa tanpa diketahui penjajah karena tertutupi oleh sarung yang saling mereka kenakan.
Perjalanan pertunjukan ronggeng gunung yang bertemakan pertanian mulai surut pada tahun 1990-an. Usungan tema baru kemudian dilakukan untuk memperoleh kembali minat penonton terhadap kesenian ronggeng gunung, yaitu dengan cara mengisi acara hiburan di sela-sela upacara khitanan atau perkawinan. Tema baru ini dirasa sudah memberikan angin segar bagi pelaku seni rongeng gunung. Walaupun demikian, selera penonton menuntut agar kesenian ronggeng gunung lebih atraktif untuk mengikutsertakan penonton sebagai bagian dari para pengibing inti yang seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Perkembangan kekinian membuat seni ronggeng gunung merubah strateginya dengan cara memasukkan penonton dari jenis kelamin perempuan untuk ikut serta bergabung bersama menari bersama dengan pengibing pria. Suasana riuh rendah, keceriaan, dan keakraban seakan menyelimuti suasana pertunjukan ronggeng gunung. Tidak hanya modifikasi itu saja yang sebagai trampilan baru ronggeng gunung namun ada beberapa tampilan lainnya sebagai upaya untuk lebih memeriahkan dan menarik para penonton untuk datang dan menikmati kesenian ronggeng gunung. Tampilan baru tersebut untuk kemudian merubah nama kesenian ronggeng gunung untuk seterusnya dinamakan menjadi seni ronggeng kaler atau ronggeng amen. Sebuah nama baru yang menginduk pada kesenian ronggeng gunung itu sendiri.
Pola dan tahap pertunjukan kesenian ronggeng gunung adalah tidak banyak berubah sejak masa dahulu hingga saat ini. Perubahan yang ada, seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu mulai mengisi acara-acara hajatan, membuat senandung lagu yang dilantunkan sinden harus menyesuaikan dengan tema acara. Walaupun demikian, lagu wajib tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seni ronggeng gunung, yaitu Kudup Turi, Sisigaran Golewang, Raja Pulang, Onday, Kawungan, Parut, dan Trondol. Kudup turi merupakan lagu pembuka, sementara lagu penutup biasanya melantunkan lagu raja pulang. Di sela-sela lagu tersebut barulah lagu lainnya menyesuaikan diri dengan tema acara. Selain pilihan jenis lagu, para pengibing dan waditra yang pada masa dahulu adalah sukarela berdatangan untuk saling mengisi, pada saat ini baik waditra atau pengibing yang berjumlah 10 – 15 orang telah dikemas menjadi satu group seni bernama “Panggugah Rasa”, yaitu group seni ronggeng gunung satu-satunya yang masih ada pimpinan Bu Raspi. Melalui group tersebut, apabila ada yang hendak mementaskan seni ronggeng gunung, mereka tidak perlu mencari pengibing dan waditra lagi agar seni ronggeng gunung bisa tampil. Selain itu, perangkat pengeras suara juga sudah mampu dimiliki oleh group seni panggugah rasa. Sang Tuan rumah hanya menyediakan ruang untuk berhias sang peronggeng yang dinamakan penyapen.
Penyapen adalah ruang utama bagi sang peronggeng sebelum tampil ke pentas. Di dalam ruang tersebut telah disediakan berbagai macam peralatan yang diperlukan peronggeng. Satu peralatan utama yang disediakan tuan rumah adalah perangkat ritual yang terdiri dari berbagai macam jenis, yang menurut latief (informan) di antaranya:
• Telur ayam kampung (mentah dan matang) masing-masing 1 butir
• Apel (1 butir), jeruk (1 butir), dan anggur (6 butir)
• Dawegan (kelapa muda) atau kelapa hijau (1 butir)
• Rokok Gudang Garam Merah (1 bungkus)
• Rokok Gudang Garam Surya (1 bungkus)
• Pisang 3 macam (Pisang raja, pisang, emas, dan …..)
• Kemenyan
• Bakakak hayam
Seluruh sajian tersebut ditaruh pada sebuah tempat berbentuk segiempat yang terbuat dari anyaman bambu untuk kemudian dibawa dan ditaruh di dekat gong. Ritual yang biasa dilakukan peronggeng adalah membaca rapalan doa-doa tertentu sambil sekaligus mengenakan pakaian dan perhiasan serta berhias. Pakaian yang dikenakan dari jenis kebaya yang biasa dikenakan masyarakat Sunda. Setelah selesai, peronggeng kemudian keluar dari ruang penyapen menuju pentas dan mulai menyanyikan lagu pembuka sambil menari. Gerakan tarian peronggeng terlihat gemulai namun mencerminkan keanggunan layaknya seorang dewi. Beberapa saat kemudian, seorang peronggeng lainnya maju menemani peronggeng pertama. Peronggeng tersebut tak lain anak Bu Raspi sendiri bernama Nani Nurhayati. Berdua mereka menari di tengah pentas, sementara Bu Raspi sendiri masih tetap berperan sebagai pesinden sekaligus sedangkan anaknya mengikuti nyanyian bu raspi dalam bentuk gerakan tarian.
Beberapa saat kemudian, lima orang pengibing datang menghampiri dan satu persatu menari mengelilingi dua orang peronggeng yang sudah berada di atas pentas terlebih dahulu. Dalam kesempatan kali ini ada lima orang pengibing yang menari. Biasanya pengibing yang mengikuti peronggeng berjumlah sepuluh sampai lima belas orang. Meski jumlah mereka kurang dari biasanya, mereka tetap menari ronggeng gunung dengan semangat. Lima orang pengibing sudah dapat mewakili dalam kesenian ronggeng karena sudah dapat membentuk lingkaran yang mengelilingi peronggeng. Meski jumlah pengibing bervariasi namun pakaian yang dikenakan adalah sama, yaitu sarung, baju lengan panjang, dan celana panjang berwarna hitam. Bagian kepala ditutupi dengan iket (kain motif batik berbentuk bujursangkar yang dibagi dua hingga membentuk segitiga kemudian dilipat dua menyisakan segitiga yang lebih kecil lalu dilingkarkan ke kepala lalu kedua ujung kain diikatkan pada bagian belakang).

Saat mulai masuk ke pentas, pengibing sudah mengenakan sarungnya dengan cara memegang kedua ujung sarung dan menarik ke arah depan sekitar 450. Dengan demikian, kepala dan setengah badan pengibing tertutupi oleh sarung. Jenis sarung yang dikenakan tidak memiliki aturan resmi mengenai motif atau bahan. Yang pasti bahwa ukuran panjang sarung harus mampu menutupi setengah badan pengibing. Bedog (Golok) juga turut dibawa serta dengan cara diikatkan pada bagian pinggang sebelah kiri. Ikatan terbuat dari benang berwarna merah putih.
Gerakan pengibing harus mampu mengkoordinasikan masing-masing gerak kaki. Hal tersebut disebabkan putaran konstan dari pengibing adalah seragam sehingga apabila ada salah satu gerak kaki yang salah maka dikhawatirkan akan terinjak oleh kaki pengibing yang berada di depan atau dibelakangnya.
Pola gerak kaki yang seragam membawa pengibing sedikit demi sedikit maju berkeliling searah jarum jam. Gerakan kaki kiri dan kanan memiliki patokan pada titik yang terkoordinasi pada gerakan maju mundur. Pola gerakan adalah sama selama mereka menari dan harus berada dalam lingkaran.
Setelah beberapa lagu dinyanyikan, satu peronggeng lainnya kemudian masuk ke dalam lingkaran dan menari bersama pengibing. Sebenarnya peronggeng tersebut dapat dikatakan sebagai cadangan dari peronggeng utama yang terus menyanyi sambi menari. Peronggeng kedua bertugas menggantikan peronggeng utama apabila dirasa lelah menyanyi. Dengan demikian, peronggeng kedua akan terus menari bersama dengan pengibing selama peronggeng utama masih kuat menyanyi dan menari.
Pola gerak peronggeng kedua tidak harus mengikuti pola gerak pengibing. Walau demikian, susunan gerak peronggeng kedua tetap harus berpedoman pada gerakan kaki pengibing agar tidak terjadi kesimpangsiuran gerakan kaki yang mengakibatkan kaki peronggeng kedua akan terinjak oleh kaki para pengibing.
Pada sesi berikutnya, setelah para peronggeng dan pengibing beristirahat sejenak, para peronggeng utama yang tetap berada di tengah pentas kemudian mulai menyanyikan lagu yang beberapa saat kemudian para pengibing masuk dan menari dengan gerak kaki memutari peronggeng utama searah jarum jam. Peronggeng kedua kemudian masuk dan menari bersama pengibing. Berbeda dengan sesi sebelumnya, peronggeng kedua yang sebelumnya menari di tengah lingkaran, pada sesi ini gerakan tarian peronggeng kedua adalah sama dan memutari peronggeng kedua bersama dengan para pengibing. Terkadang gerak tari peronggeng kedua agak masuk ke dalam lingkaran namun gerakan kaki dan putaran gerak adalah sama dengan para pengibing.
Memasuki arena pentas, para pengibing setelah pada sesi sebelumnya mengenakan sarung yang dengan kedua ujung sarung dipegang dan ditari kearah 450 ke depan sehingga menutupi kepala, pada sesi ini sarung dikenakan dengan cara dikalungkan menyilang dari pundak sebelah kanan hingga ke bagian pinggul sebelah kiri. Oleh karena bagian kepala tidak tertutup sarung, maka alat lainnya yang dikenakan adalah dengan menggunakan kain iket. Pola pakai adalah sama dengan pola pakai sarung saat menutupi kepala, yaitu dengan cara memegang kedua ujung kain iket lalu ditarik ke depan sekitar 450. Oleh karena kain iket berukuran lebih kecil dari kain sarung, maka hanya bagian kepala dan pundak saja yang tertutupi sementara bagian lainnya dibiarkan terbuka.
Setelah beberapa lagu selesai, para pengibing kemudian keluar pentas untuk beristirahat sejenak. Setelah beristirahat, sesi berikutnya adalah adegan “gulat”. Dapat dikatakan demikian, karena pada sesi ini para pengibing melakukan tarian yang pada “moment-moment” tertentu mereka saling beradu. Untuk menuju pada moment tersebut, para pengibing melakukan ancang-ancang dalam bentuk tarian yang tetap mengeliling peronggeng searah jarum jam. Setelah itu, dua orang penari yang berhadapan maju ke tengah lingkaran dan membenturkan masing-masing pundak mereka pada bagian sebelah kanan dengan posisi membungkuk. Kaki kiri memanjang ke belakang dan sambil berpijak seakan-akan hendak mendorong sesuatu. Posisi kaki kanan berada di depan hampir tegak lurus dengan kepala dan membentuk posisi tertekuk untuk menumpu berat badan. Tumpuan berat badan kemudian ditambah lagi dengan kedua belah tangan yang menempel ke tanah dengan posisi sejajar dengan kaki kanan. Selang beberapa saat kemudian, dua pengibing lainnya juga ikut melakukan gerakan yang sama. Gerakan tersebut kemudian diikuti oleh seluruh pengibing. Bagi pengibing yang berjumlah ganjil, ia akan menunggu isyarat dari pengibing lainnya untuk ikut ambil bagian dalam gerakan tari tersebut.
Kain iket yang sebelumnya menutupi wajah pengibing, pada sesi ini kain iket dikenakan untuk menutupi bagian kepala dan menyisakan wajah pengibing. Caranya adalah dengan melipat kain iket hingga membentuk posisi segitiga. Bagian terpanjang dari segitiga tersebut dilingkarkan dari bagian atas wajah hingga kedua ujung bagian panjangnya bertemu di bagian leher sementara ujung satunya lagi berada di bagian belakang kepala. Kedua ujung kain iket yang berada di leher tersebut kemudian diikatkan agar kain iket tidak terlepas saat melakukan gerakan tarian.
Sesi tersebut merupakan sesi terakhir dari keseluruhan tarian ronggeng gunung. Pada lagu terakhir, peronggeng utama yang tanpa didampingi oleh peronggeng kedua kemudian melantunkan lagu “raja pulang” yang menandakan akhir pertunjukan ronggeng gunung.