ROHAYA, MAKYONG HARUS MAJU!

0
781

Kesenian makyong di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, masih ada dan kini malah berkembang. Adalah Rohaya, seniwati makyong yang namanya sudah tak asing lagi di dunia teater tradisional di Pulau Bintan. Ia bersama keluarganya mampu mempertahankan dan mengembangkan kesenian tersebut, serta memperkenalkannya sampai penjuru dunia.

Meskipun bukan asli warga Melayu, Rohaya yang lahir di Cikarang, 1 Juli 1944, sangat antusias bercerita tentang awal mulanya berkecimpung dalam kesenian makyong. Ia bergabung dengan kesenian makyong sejak 1975. “Saya terjun ke makyong karena ikut suami,” tuturnya. Suaminya, Tengku Atan Rahman (alm) atau biasa dipanggil Pak Atan, seorang tokoh makyong yang sangat terkenal dan disegani. “Waktu itu pemain makyong adalah mayoritas masih dalam lingkup keluarga,“ tutur Rohaya.

Sebagai istri kedua Pak Atan, Rohaya diajak setiap kelompok makyong pimpinan Pak Atan manggung. Pada saat itu Rohaya adalah pemain yang paling muda. Dalam penampilan pertamanya, di TIM Jakarta (1975), ia mendapat peran sebagai dayang. “Waktu itu saya tidak mengerti harus bagaimana di panggung, karena memang baru pertama kali saya ikut ke panggung. Saya masih demam panggung,“ ungkap Rohaya di rumahnya, di Kampung Baru Keke, Bintan, Kepulauan Riau.

Rohaya memerani dayang selama kurang lebih tiga tahun. Karena terus-menerus bermain di makyong, lama-kelamaan jadi senang. “Kalau saya ingat lagi ke belakang, karena hobi itulah asal saya bisa menari. Tidak dibayar saja saya merasa senang, dibayar sedikit juga tidak masalah. Yang penting mendapat kesempatan main makyong ke mana-mana,“ ujar Rohaya.

Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang pada awalnya diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen. Makyong berkembang di Indonesia melalui Riau, Lingga, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor. Berbeda dengan makyong di Kelantan yang tidak menggunakan topeng, makyong di Batam dan Bintan menggunakan topeng. Pada akhir abad lalu, makyong bukan saja sebagai pertunjukan harian, melainkan juga sebagai adat-istiadat raja yang memerintah.
Makyong juga digunakan untuk orang yang sakit. Praktik ini tidak lagi dilakukan termasuk pula di Indonesia. Di antara orang terakhir yang mempraktikkan makyong untuk merawat pasien adalah Tuk Atan di Bintan dan Pak Basri di Batam, keduanya telah meninggal. Kini, makyong sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional.

Pada tahun 2004, lebih kurang 10 tahun dikarenakan perubahan dan perpindahan anggota serta penambahan pemain, akhirnya Rohaya mencoba untuk terjun ke bagian musik. “Itulah awalnya saya memegang alat musik mong-mong, sepeninggal Pak Atan,“ kenang Rohaya sambil menunjukkan alat musik mong-mong-nya .

Rohaya tetaplah bangga, belasan anak remaja usia 16 tahunan, saat ini telah mempelajari makyong dan berlatih dengan serius. Anak-anak ini berlatih dengan keluarga alm. Pak Atan di Kampung Baru Keke. Saat ini makyong di Bintan ada dua kelompok, yakni Makyong Keke dan Makyong Mantang. Rohaya bersama keluarganya mengembangkan makyong di Kampung Baru Keke, Bintan.
Rohaya berharap makyong tetap maju. “Saya sudah tua, sudah tidak mampu. Makyong itu untuk anak-anak, semoga tetap maju dan pemerintah bisa membantu. Kalau tidak ada bantuan dari pemerintah, mana bisa maju makyong itu,“ ujar Rohaya, lirih dan bergetar.