PENYELAMAT TERDEPAN BUDAYA SUKU MALAMOI PAPUA

0
2890

DSC_1325
Pria ramah dan murah senyum ini sudah lama dijuluki maestro dalam dunia kesenian Papua, khususnya tari tradisional Papua. Jan Malibela bisa dianggap melebihi julukan maestro itu sendiri apabila melihat ia merupakan sosok terakhir yang mampu menyelamatkan kesenian dan nilai-nilai budaya suku Malamoi, yang sebagian besar sudah atau nyaris punah.

Menari sejak awal tahun 1970, Jan Malibela menguasai gerakan tari-tari dan syair-syair suku Malamoi yang saat ini dianggap telah punah. Bahkan pria bertubuh tinggi ini telah mencipta lebih dari 180 syair-syair dan lagu-lagu suku Malamoi. Tarian Jan Malibela adalah tarian rakyat yang saat ini sulit untuk ditemukan, bahkan di tengah-tengah suku Malamoi sendiri. Tarian yang dikuasai oleh Jan Malibela adalah tarian adat yang bisa dikatakan telah ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

Beberapa puluh tahun terakhir ini, dari hasil gajinya yang sudah pas-pasan sebagai seorang guru, Jan Malibela rela menyisihkan penghasilannya untuk mendirikan sanggar berupa bangunan rumah kayu berukuran 3×4 meter persegi. Kendati sudah berdiri bangunan sanggar itu, dalam beraktivitas, Jan dan kelompoknya sebagian besar dikerjakan di luar rumah, terutama di bawah pohon rindang.

Namun hal tersebut bukanlah hambatan bagi Jan Malibela untuk mewariskan ilmunya kepada puluhan anak didiknya yang sangat antusias dan giat dalam mengikuti materi-materi pengajaran yang diberikannya. Materi bahasa Moi (kamus) dan cerita rakyat atau dongeng diajarkan oleh Jan Malibela setiap hari Selasa.Untuk menggambar serta melukis diajarkannya setiap hari Rabu, sedangkan materi mengukir atau memahat, menganyam atau menjahit serta menghafal syair-syair dan menyanyi diadakan setiap hari Kamis.

Pria lulusan Dorop School ( SR ), J.V.V.S (Joungens Ver Voolk Schools), dan Sekolah Guru (O.D.O) ini adalah saksi sejarah masuknya dunia pendidikan formal di Papua Barat. Orangtuanya adalah salah satu murid pertama dari Sekolah Rakyat yang didirikan pemerintah Hindia Belanda saat itu. Jan Malibela tumbuh dan besar dari keluarga pemuka adat suku Malamoi yang tersebar di kepulauan Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Tambrauw dan sebagian Maybrat. Pengalamannya membuat ia sangat memahami berbagai unsur budaya dan adat istiadat Malamoi Raya.

Pada tahun 1978, Jan Malibela mengabdikan hidupnya sebagai guru di pedalaman Papua Barat. Dengan suara lantang ia mengaku sebagai pencipta mata pelajaran muatan lokal bagi murid-murid SD di Papua Barat, mulai bahasa daerah, syair,dan adat, serta tarian. Pada tahun 2002, Jan Malibela yang pernah bekerja di Yayasan Pendidikan Kristen dan puluhan tahun berprofesi sebagai pengajar ini. Ia pun diangkat sebagai penasihat Lembaga Masyarakat Adat Suku Malamoi di Papua Barat. Tahun 2006, Jan Malibela pensiun dari mengajar, akan tetapi ia masih terus membina kebudayaan, terutama di daerah atau tempat yang pernah ditinggalinya.

Pada tahun 2015, Jan Malibela diundang ke Surakarta, Jawa Tengah untuk mengisi acara “Solo 24 Jam Menari”. Acara yang dimeriahkan oleh tiga ribu penari ini dihadiri penari-penari legendaris, di antaranya Suwitri (Tegal), Temu (Banyuwangi), Mulyani (Surakarta), Nyi KRT Sasminta Murti (Yogyakarta), dan Bulan Trisna Jelantik (Bali).

Sebagai saksi sejarah dan budayawan suku Malamoi, kehadiran Jan Malibela saat ini sangat penting untuk keberlangsungan budaya dan adat Papua yang sangat beragam dan penuh dengan dinamika. Perannya sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar kebudayaan bagi masyarakat suku Malamoi.

Jan Malibela sudah melakukan pewarisan kebudayaan kepada ratusan generasi muda yang sudah tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Ia terus berkarya dan semangatnya dalam berkarya seolah tak pernah padam. Hal itu terlihat dan terpampang dengan indah puluhan ukiran, lukisan, dan kerajinan tangan di bangunan lembaga masyarakat adat suku Malamoi.