“PELESTARI BUDAYA DAERAH SEBAGAI PUNCAK BUDAYA NASIONAL”

0
1598

DSC_0446
Semuel Laufa, kelahiran Atoita, Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Sem dikenal sebagai “kamus budaya” Alor. Ia mendokumentasikan pengetahuan budaya Alor ke dalam buku-buku yang ditulisnya. Sem juga menjadi tempat bertanya masyarakat, pemerintah, peneliti dari dalam dan luar negeri guna menggali pengetahuan budaya Alor. Pensiunan Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas PPO Alor ini juga membentuk kelompok budaya dan mewariskan pengetahuannya kepada kelompok-kelompok anak muda. Menurut Sem budaya penting untuk merawat daya cipta dan nilai luhur bangsa. Ia juga mendokumentasikan rumpun bahasa daerah Alor untuk menghindari dari ancaman kepunahan.

Sem menghayati budaya Alor sejak ia masih anak-anak. Di usia belum masuk sekolah, Sem sudah sering diajak ayahya (alm) Karel Falau menghadiri acara adat. Tugas Sem saat itu menenteng saima, wadah sirih pinang. Makan sirih pinang adalah bagian interaksi sosial di budaya Alor, sebagaimana budaya NTT lainnya. Rupanya menenteng saima bukan satu-satunya hal yang dihayati Sem. Di acara adat itu, Sem mengamati, memelajari budaya leluhurnya. Sem mulai belajar memainkan alat musik tradisional, sehinggadi usia SD ia sudah mampu melatih teman sebayanya meniup kani, sejenis suling kecil untuk nada melodi, dan menabuh gong.

“Kepekaan pendengaran saya pada bunyi gong, sudah terasah sejak saya belum sekolah,” kenang Sem. Bapak empat anak ini juga mengenang ibunya yang sering menyanyikan lagu-lagu daerah di kampung mereka, yang juga mendekatkannya pada seni.

Lulus dari SD, Sem melanjutkan pendidikan ke SMEA dan mengikuti program setahun Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Kemudian, pekerjaannya sebagai PNS di Bagian Kesenian, Kanwil Depdikbud NTT, di Kupang, selanjutnya menjadi Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas PPO Alor yang mempermudah jalan kecintaannya pada budaya Alor. Di masa dinasnya itu, Sem menyusun buku Mengenal Obyek Situs dan Benda Sejarah Purbakala Alor (2008) dan Moko Alor: Bentuk, Ragam Hias dan Nilai Berdasarkan Urutan (2009) yang kemudian menjadi rujukan di Museum Jakarta.

Moko, sebuah benda kuno mirip gendang yang terbuat dari perunggu telah menjadi ikon kebudayaan Alor. Bila kita mengunjungi Museum 1000 Moko di Pulau Alor, kita akan mendapatkan koleksi moko dari ukuran besar hingga kecil yang berasal dari negara-negara tetangga yang dibuat berabad lampau. Menurut Sem, moko masuk ke Alor antara abad 18 dan 19. Hal itu dimungkinkan karena di masa itu Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya menjadi bagian dari jalur pelayaran perdagangan internasional, yang menghubungkan Asia dengan kawasan Samudera Pasifik. Masyarakat Alor mengelompokkan moko menjadi dua jenis. Pertama, moko awal peninggalan zaman perundagian dari kebudayaan Dongson. Kedua, kelompok moko hasil pengrajin Gresik, Jawa Timur (awal abad 20) yang didatangkan Belanda guna memperkokoh posisinya di jajahan baru, Alor. Fungsi moko juga dibedakan menjadi dua, yaitu moko adat yang bersifat sakral dan mokobelis yang dapat dipertukarkan, digunakan sebagai mas kawin secara turun-temurun.

“Tidak ada orang Alor sejak leluhur hingga sekarang yang pernah menjadi pengrajin moko. Tapi moko telah menjadi status sosial, benda sakral hingga menjadi ikon Alor. Keberadaan moko sebagai belis atau mahar tidak tergantikan sampai sekarang,” tutur Sem.

Sem juga memberikan perhatian pada rumpun bahasa daerah di Alor. Bersama Dr. Anthonetha Sapar dari Universitas Leiden, Belanda, Sem menyusun Kamus Bahasa Daerah Kemang(2014) dan menjadi editor buku Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Abui untukSekolahDasardan Madrasah Ibtidaiyah kelas IV (2013). Minatnya pada bahasa daerah berangkat dari keprihatinannya akan ancaman punahnya bahasa-bahasa tersebut. “Anak zaman sekarang bicara dengan suku yang sama saja menggunakan bahasa Indonesia. Karena, bapak mamanya ajarkan mereka bahasa Indonesia. Untuk itu perlu ada penulisan bahasa daerah sehingga bahasa daerah tetap ada. Dikhawatirkan 10 tahun ke depan bahasa daerah ini akan hilang,” tutur Sem.

Selain mendokumentasikan pengetahuan budaya Alor dalam buku-buku tersebut, Sem juga sering menjadi tempat bertanya masyarakat, pemerintah, dan para peneliti dari dalam dan luar negeri. Antara lain peneliti Emilia, asal Swedia yang melakukan penelitian antropologi budaya Alor (2013). Sem juga menjadi narasumber buku: Sistem Pemerintahan Tradisional Alor (Bidang Arkeologi, Sejarah dan Nilai Budaya NTT, 2005), Moko dalam Tatanan kehidupan Masyarakat Adat Alor, karya Made Purna (2013).

Sem sangat telaten membentuk kelompok yang merawat adat budaya Alor. Bersama pemangku adat di kampungnya, Sem membentuk Lembaga Perunggu Budaya, yaitu kelompok adat yang memungkinkan masyarakat dan generasi selanjutnya untuk melestarikan dan terlibat dalam upacara adat belanja moko. Juga menari Lego-lego, sebuah tarian massal rakyat yang dipentaskan pada berbagai syukuran atau saat masyarakat mendapatkan berkat yang lebih dari biasanya. Sem juga mewariskan pengetahuan dan kecintaannya terhadap budaya Alor dengan mempersiapkan generasi muda, termasuk salah satu putranya untuk membentuk kelompok seni. Antara lain kelompok suling melodi di Alor dan Kupang yang kini sering tampil mengiringi lagu di gereja-gereja. Kelompok binaanya juga sering tampil dalam acara-acara penting, antara lain menjemput Sultan Palembang pada Pertemuan Raja-raja Nusantara di Kupang; pementasan musik bambu dan perangkat gong untuk penyambutan kunjungan Mendikbud Fuad Hassan di Kupang (1998).
Atas anugerah kebudayaan yang ia terima, Sem menyatakan “Berterima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena ini merupakan perwakilan dari negara Indonesia. Kami tidak pernah pergi ke Jakarta tapi berbahagia karena bawahannya mengunjungi kami di Timur. Kami bersyukur.”