Penerima Tanda Kehormatan Kategori Bintang Budaya Parama Dharma 2016. Pemerintah Indonesia menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada mendiang KGPAA Mangkoenagoro VII atas jasanya dalam bidang kebudayaan, khususnya memelopori seni pertunjukan genre baru yang disebut langendriyan, yaitu drama tradisional Jawa. Kanjeng Raden Ayu Atilah Soeryadjaya, cucu Mangkeonagoro VII, mengungkapkan bahwa eyangnya itu punya perhatian besar dalam bidang kebudayaan dan pendidikan, selain bidang politik, ekonomi, irigasi, higienitas, lingkungan hidup, dan pengadaan fasilitas umum.
Berkaitan dengan penghargaan yang diterima eyangnya, Atilah yang sukses menjadi produser dan sutradara pertunjukan “Matah Ati” mengungkapkan, “Kami sangat bangga dan senang. Kami benar-benar berterima kasih kepada pemerintah, kakek kami dapat penghargaan tertinggi di bidang kebudayaan. Prestasi beliau di bidang kebudayaan banyak sekali.”
Atilah mengungkapkan semua leluhurnya adalah budayawan. Mangkoenagoro IV adalah seorang sastrawan. Eyangnya pun banyak memberi perhatian pada kebudayaan dan menciptakan banyak tarian. Mangkoenagoro VII yang terlahir dengan nama Raden Mas Soerjo Soeparto pun melakukan diplomasi budaya pada tahun 1937 dengan membawa putrinya, Gusti Noeroel, untuk menari di depan Ratu Juliana di Belanda.
Gusti Noeroel membawa tarian Srimpi Pandelori diiringi permainan gamelan yang disiarkan langsung dari Solossche Radio Vereniging (SRV) yang didirikannya pada 1 April 1933 di Solo. SRV ini merupakan perintis siaran radio amatir pertama di Indonesia.
“Pas tengah menari, ada angin. Radio ini berhenti. Jadi penarinya itu diiringi dengan ketukan bunyi cincin Eyang yang diketuk di kursi. Akhirnya, radio jalan lagi, kembali menyiarkan musik gamelan,” tutur Atilah.
Mangkoenagoro VII yang menggantikan pamannya, Mangkoenagoro VI, pada 11 Januari 1916 ikut terjun langsung mengajar tari di dalam istana. Ia tidak hanya sebagai sutradara, tetapi juga sebagai koreografer. Menurut Atilah, eyangnya sangat disiplin dalam melatih tari.
Mangkoenagoro VII yang meresmikan berdirinya Sono Budoyo di Yogyakarta itu terjun ke dunia pers dengan duduk sebagai direktur dalam majalah “Djawa”. Salah seorang anggota redaksinya adalah rekannya, yaitu C. Hooykas, yang kemudian menjabat sebagai dekat di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) yang merupakan fakultas sastra pertama yang ada di Indonesia. Ia banyak memberi kontribusi dalam pembangunan FSUI. Saat berkunjung ke Jurusan Indologi di Leiden, ia terinspirasi untuk mendirikan fakultas yang sama di Indonesia.
Perhatiannya pada lagu juga besar. Ia menciptakan lagu anak-anak seperti “Menthog-menthog” dan “Montor-montor Cilik”. Ia juga menggiatkan produksi tanduk di Manyaran, Wonogiri, untuk bahan baku gapit wayang kulit.
Kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa, yaitu Java-Instituut. Ia juga menulis buku tentang simbolisme wayang, yakni Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).
Ia membuka perpustakaan umum, mengadakan kursus-kursus keterampilan kerja dan memprakarsai serta mendukung organisasi kepanduan Jawa dan organisasi kepemudaan. Selain menciptakan lapangan kerja dan tenaga-tenaga terlatih, beliau juga menggerakkan perempuan di sektor pendidikan, olahraga, dan kepemudaan.
Mangkoenagoro VII dijuluki “Mangkoenagoro Kalen” karena sangat memerhatikan kebersihan dan berfungsinya kali, parit, got dan lainya di wilayahnya. Secara berkala ia melakukan inspeksi terkait dengan masalah kebersihan. Jika dalam inspeksinya ia masih melihat ada orang tidak membuat air di tempat yang benar, maka akan diberi peringatan dengan diketapel. Beliau membangun sarana dan prasarana MCK.
Tata kota Mangkunegaran pun dirancangnya. Kota itu tampak seimbang dan harmonis. Tiap perempatan, perlimaan, dan lainnya selalu dilengkapi dengan taman sebagai penyeimbang ekosistem.
Dalam bidang politik, Mangkoenagoro VII turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java.
BIODATA KGPAA MANGKOENAGORO VII
Lahir: 12 November 1885
Wafat: 1944
Menjabat sebagai Mangkunegaran dari tahun 1916 – 1944
PENDIDIKAN
- Universitas Leiden, Belanda selama tiga tahun
PENGHARGAAN
- 2016: Tanda Kehormatan Bindang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI
BUKU
Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920)