Maria Yovita Meta-Bastian, Pelestari Seni Tenun Ikat Biboki

0
4993

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. Berawal dari membantu seorang janda yang kesulitan ekonomi melalui keterampilan menenun kain ikat tradisional, Maria Yovita Meta-Bastian—seorang  ibu paruh baya—menjadikan sosok dirinya mendunia. Perhatiannya yang besar terhadap pengembangan seni tenun tradisional Biboki mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak di dalam maupun di luar negeri. Sebut saja penghargaan Upakarti Tahun 2992 dari Presiden Soeharto, menjadi bukti atas kiprahnya dalam mengembangkan “industri rumah” kain tenun tradisional. Bahkan, pada tahun 2004, ia menerima penghargaan Prince Claus Award, sebuah penghargaan bagi pelestari seni tradisional dan kebudayaan yang diberikan oleh Prince Claus Fund, lembaga nirlaba yang berpusat di Den Haag, Belanda. Lebih hebat lagi, ia orang pertama dari Indonesia yang menerima penghargaan itu.

Sosok yang penuh semangat dan inspiratif ini sangat memegang teguh amanat orangtuanya agar kehidupan yang dijalani memberi manfaat bagi sesama, memberdayakan kaum kecil agar dapat menolong diri mereka sendiri dan memperbaiki status sosial kaum perempuan, serta melestarikan budaya leluhur. Atas dasar itu, ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai seni tenun tradisional Biboki.

Biboki sendiri adalah nama suku yang bermukim di Desa Temkessi, tempat Yovita lahir. Berada di atas pegunungan—sekitar  2-3 jam dari pusat kota Kefamenanu, Biboki  dulunya adalah sebuah kerajaan. Namun, saat ini Biboki merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

new-picture-1Pada Tahun 1990, Yovita mendirikan Yayasan Tafean Pah (Rumah Dunia) di Kefamenanu, Ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Menurut dia, dorongan untuk mengembangkan usaha tenun ikat biboki sebenarnya pertama kali muncul saat melakukan studi banding ke Pulau Sabu (salah satu pulau di NTT) atas biaya NADP, sebuah lembaga internasional. “Pada tahun 1989 kami diajak NADP untuk studi banding ke kelompok tenun ikat milik Raja Haba yang ada diwilayah Sabu. Setelah studi banding, saya merasa tertantang: mengapa Raja Haba bisa melakukan pendampingan terhadap kelompok tenun ikat bisa sukses sedangkan saya tidak?” katanya penuh semangat.

Yovita menuturkan bahwa setelah lembaganya terbentuk, masih di tahun 1990, dia menjalin kerjasama dengan NTT-IADP atas kebaikan Cecilia Ng, wanita kelahiran Singapura yang bekerja di Australia. Dia menyurati temannya kurator di Museum Northern Territory  Museum of Arts and Science Bulocky Poit, Fannie Bay Darwin, Australia. Hasilnya, pihak museum tersebut mengirimkan uang sebesar 1.000 dollar Australia. “Saat itu kami tukar dengan uang Indonesia menjadi Rp 1.445.000,” ujar Yovita tentang cikal bakal modal usaha yang membuat kain tenun Biboki mendunia.

Pada titik ini ia termotivasi lebih kuat untuk mengembangkan tenun Biboki. Berawal dari satu penenun dengan delapan anggota di satu desa kini berkembang menjadi 12 desa dengan 406 anggota dan 34 kelompok usaha. Setiap kelompok berkisar antara 10-20 anggota, hampir seluruhnya perempuan. Kelompok-kelompok ini dikoordinasikan dalam sanggar yang bernama Biboki Art Shop di bawah Yayasan Tafean Pah. Setelah tergabung dalam kelompok yang dikoordinasi Yovita, perempuan-perempuan ini mampu bangkit baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, saat ini mereka dapat memperoleh penghasilan yang dipergunakan untuk menopang kehidupan keluarga, baik  untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan anak-anak. Sementara secara sosial, mereka lebih berani mengemukakan pendapat dan juga pola pikirnya lebih maju karena mereka memiliki keinginan kuat untuk berubah. Mereka kini lebih bangga terhadap diri mereka sendiri, terutama secara fisik tampak dalam berpakaian/berbusana. Dengan berbusana khas adat ini mereka merasa telah membantu melestarikan warisan leluhur dan kekayaan budaya.

new-picture-2Dari hasil tenunan semua berbahan baku lokal dari kapas, akar mengkudu, daun tarum, daun kunyit, dan sejenis lumpur berwarna biru. Lumpur ini digunakan sebagai pewarna, sedangkan bahan lainnya berfungsi sebagai pengawet, penambah warna dan pelekat. Bahan-bahan inilah yang menjadikan tenun dengan motif asli Biboki sangat khas. Selama tiga tahun terakhir, suku Aborogin—suku  asli di Australia—belajar  kepada Yovita tentang cara pemanfaatan bahan-bahan alam sebagai pewarna. Mereka memperhatikan setiap tahapan kegiatan pembuatan kain tenun di mana  keahlian tersebut mereka gunakan sekembali ke negaranya. Peralatan yang digunakan untuk membuat kain tenun ini masih sederhana dan tradisional. Umumnya terbuat dari kayu dan bambu yang diperoleh dari daerah sekitar, serta beberapa peralatan pendukung.

Setiap bagian dari tahapan pembuatan kain tenun memiliki ciri, fungsi  dan nama tersendiri. Sebagai contoh, peralatan yang berkaitan dengan pembuatan kapas menjadi benang, ada alat untuk memisahkan biji kapas dari serabut-serabut kapas bernama bninis/bninsa.  Adapun alat untuk memintal kapas menjadi benang disebut ike. Dalam hal ini setiap penenun dituntut mengenal seluruh tahapan maupun alat yang digunakan dalam proses penenunan karena akan memudahkan dalam menentukan motif yang akan digunakan. Setiap motif dalam kain tenun dibuat dengan cara yang berbeda dalam menggunakan alat-alat tenun. Motif-motif pada kain tenun umumnya menggambarkan alam lingkungan sekitar dan juga riwayat perjalanan hidup si penenun. Jadi akan ditemui perbedaan motif pada sebagain besar kain hasil tenunan. Inilah yang menjadikan kain tenun tradisional Biboki menjadi unik, khas, dan  eksotis.

new-picture-3Semua hasil tenunan yang sudah jadi ditampung di Biboki Art Shop. Sanggar ini tidak hanya menampung dan memasarkan hasil tenunan, tetapi juga menjadi pusat kegiatan dan pelatihan untuk memberdayakan penenun—baik  anggota yayasan maupun tidak—serta  mengadakan pelatihan bagi anak-anak SD. Sanggar ini menerima kain tenun dari ibu-ibu dari desa, kemudian menyortirnya. Kain berupa lembaran-lembaran dengan kualitas bagus dihargai tinggi. Untuk kain tenun dengan bahan dasar original yang terbuat dari kapas bisa berharga Rp 2,5 juta-Rp 3 juta per lembar. Proses pembuatannya pun cukup lama, memakan waktu 4-6 bulan. Sementara kualitas yang biasa dibuat asesoris berupa tas-tas dengan beragam motif. Harganya pun ber variasi, sekitar Rp 500.000-Rp 1 juta.

Saat ini pembuatan kain tenun tidak hanya berbahan dasar kapas, tetapi juga memakai bahan yang berasal dari pabrikan. Proses pembuatan kain tenun dari bahan bukan kapas tidak membutuhkan waktu yang lama, bergantung pada ukuran dan motif yang diinginkan.  Harganya lebih rendah dibandingkan yang berasal dari bahan dasar kapas. Motifnya juga beragam, bahkan sudah mengikuti selera konsumen.

Kain tenun penting digunakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, kelahiran, kematian, upacara penyambutan tamu maupun kegiatan upacara adat lainnya. Hampir semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat mensyaratkan untuk berbusana tertentu. Kain  dan motif yang dipakai menunjukkan identitas penggunanya.  Bahkan, di zaman dahulu, seorang perempuan baru boleh dipersunting jika sudah memiliki kemampuan menenun, akan tetapi seiring pergeseran waktu hal ini bukan lagi menjadi prasyarat utama.

Seiring perkembangan waktu,  Yovita melihat anak-anak muda kini kurang mengapresiasi kerajinan tenun ini, terutama di tanah kelahirannya. Oleh karena itu, melalui sanggar yang dimilikinya, anak-anak diajak bergabung guna memanfaatkan waktu setelah sekolah. Mereka dilatih dan dibimbing agar menguasai pembuatan kain tenun, dimulai dari motif yang sederhana sampai yang rumit. Ternyata, dalam pengamatan Yovita, anak-anak ini cepat dalam menyerap pengetahuan dan keterampilan pembuatan kain tenun. Saat ini jumlah yang bergabung dengan sanggarnya tercatat 104 anak. Selain mendapatkan keterampilan, mereka juga mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan untuk membiaya pendidikan mereka. Untuk memotivasi anak-anak ini, pihak yayasan memberikan beasiswa pendidikan. Di tahun 2015 ada 30 anak yang mendapat beasiswa, sedangkan di tahun 2016 sebanyak 104 orang yang mendapat beasiswa. Itu artinya, seluruh anak yang tergabung mendapat beasiswa. Agar motif-motif kain tenun ini mengalami perkembangan dan kemajuan, Yovita memasukkan empat anak yang tergabung di sanggarnya ke  SMK, dua anak laki-laki mendalami ilmu komputer dan audio visual, serta dua anak perempuan masuk ke jurusan tata busana.

new-picture-4Sementara itu, peminat dan konsumen kain tenun ikat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jika semula hanya meliputi daerah sekitar NTT dan beberapa kota di Indonesia,  saat ini sudah merambah ke mancanegara. Untuk meningkatkan pangsa pasar, setiap tahun Yovita selalu mengikuti pameran maupun even-even baik di  NTT, Yogyakarta maupun Jakarta. Bahkan Australia secara rutin mengundang Yovita untuk menampilkan karya-karyanya.

Dari sisi literasi, Yovita mendokumentasikan motif-motif asli Biboki ke dalam buku. Saat ini lebih dari 43 motif kain tenun ikat Biboki, 22 motif Buna, dan empat motif Sotis yang sudah terdokumentasi. Dalam proses pendokumentasian ini Yovita dibantu oleh sekitar 70 seniman yang tersebar di Kecamatan Biboki Selatan dan Kecamatan Biboki Utara. Informasi yang ada dalam buku ini akan disimpan sebagai koleksi yang sangat berharga bagi generasi yang akan datang. Yovita berharap, ke depan, di daerah NTT terdapat museum tekstil yang dapat menampung setiap koleksi motif asli Biboki pada khususnya dan NTT pada umumnya sebagai kekayaan budaya dan sejarah. Kepada pemerintah setempat, Yovita mengharapkan agar keterampilan pembuatan kain tenun masuk dalam muatan lokal di setiap sekolah agar proses pelestarian kain tenun dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya.

Keterangan

Profil

Nama Lengkap             :   Maria Yovita Meta-Bastian

Tempat/Tanggal Lahir   :   Kefamenanu, 4 Desember 1955

Suami                          :   Drs. AJ Meta (Alm)

Penghargaan

1992  :     Menerima Penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto atas jasa kepeloporan

2003  :     Memenangkan hadiah “Prince Claus Award”  dari Negeri Belanda

2005  :     Terpilih sebagai Kartini 2005 memperoleh pin emas dari Menteri Pemberdayaan Perempuan

2008  :     Metro TV pada acara Kick Andy (29 November 2008)

2008  :     Pemenang NTT Academia Award 2008, bidang Humaniora, Budaya dan Politik

2011  :     Pemenang Kartini Award sebagai Perempuan Inspiratif 2011, dalam bidang Seni dan Budaya.

Karya Buku

2007  :     Budayaku Bukanlah Kemegahan

2009  :     Mengenal Kain Tenun Ikat Motif Biboki

Pameran dan Workshop

1990,1991,1992,1993, Weaving from Biboki

Pameran yang diadakan ole Museum and Art Gallery of the Northern Territory, Darwin, Australia

1992, Trading Partners

Pameran diadakan di Adelaide, Australia dan Pondok Indah Mall, Jakarta, Indonesia

1994, Binding Culture into Thread-Textile Arts of Biboki, West Timor

Pameran yang diadakan ole Museum and Art Gallery of the Northern Territory, dan Center for Southeast Asian Studies, Northern Territory University, Darwin, Australia

1995, Juara II Penampilan Terbaik pada Pameran Pembangunan, Kafemenanu, West Timor TTU, Indonesia

1995, The Textile Art of Biboki

Pameran yang diadakan oleh Gallery East, Pert, Australia

1996, Biboki Textiles

Pameran yang diadakan oleh East and West Art Gallery, Melbourne, Australia

1996, Juara Harapan III, untuk penampilan terbaik dan Juara Harapan II, penampilan Terbaik pada Pameran Pembangunan, Kefamenanu, West Timor NTT, Indonesia

2002, Compass Netherland Internasional Workshop, Chenai, India

2002, Tali Ikat/Fiber Connections

Pameran yang diadakan oleh Cementi Art Foundation dan Kompetisi Batik Internasional Yogyakarta ke-2 dan Festival di Taman Budaya, Yogyakarta, Indonesia

2003, Pameran yang diadakan oleh Threads of Life

  • Bali di Territory Craft Gallery, Darwin, Northern Territory, Australia
  • Bali di Mary Place Gallery, Paddington, Sydney, New South Wales, Australia

2004, Pameran Monet Tok Tan’ni Erasmus Huis, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta

2008, Juara II Stand Terbaik pada Pameran Pembangunan Kab. TTU

2009, Evolusi-Fiber Face 2 Yogyakarta, di Taman Budaya Yogyakarta.