Komunitas Budaya Bahari Mandar, Penerima Anugerah Kebudayaan 2016 Kategori Komunitas

0
2584

Mengembangkan Budaya Bahari melalui Penelitian dan Perahu Pustaka

Komunitas Budaya Bahari Mandar lahir dari generasi yang dibesarkan lingkungan nelayan Mandar, Sulawesi Barat. Komunitas ini memadukan penelitian, pelestarian dan peningkatan pengetahuan bahari melalui riset, advokasi dan keterlibatan dalam berbagai perumusan konsep terkait kemaritiman Mandar. Komunitas ini juga giat mengikuti berbagai festival perahu di tingkat internasioanal. Juga mendirikan Museum Bahari Mandar dan program  layanan perpustakaan. Dari mulai program beca, bendi, motor hingga perahu pustaka yang memberikan layanan hingga 1.000 kilometer pelayaran ke Pulau Sagori di Sulawesi Utara. Melalui program-programnya, komunitas ini membantu proses pewarisan nilai-nilai ulet, inovatif dan optimis yang diajarkan oleh tradisi nelayan Mandar.

Muhammad Ridwan Alimuddin dalam bukunya,Mengapa Kita Belum Cinta Laut, menuliskan bahwa terdapat enam etnis di Nusantara yang terkenal ketangguhannya di laut. Keenam etnis tersebut adalah Bajau atau Bajo, Buton, Bugis, Makassar, dan Mandar. Kecuali Bajau, lima etnis tersebut tinggal di darat dan bekerja di laut. Ridwan adalah salah satu  putera Nusantara yang lahir dan dibesarkan oleh suku pelaut itu, tepatnya suku Mandar. Mandar adalah satu suku yang tersebar pesisir di Sulawesi Barat, mencakup Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Manuju, dan Manuju Utara. Jumlah suku Mandar sekitar 1 juta jiwa dan hidup berdampingan dengan suku Bugis, Makassar dan Toraja yang tersebar di wilayah tetanganya, Provinsi  Sulawesi Selatan. Sebagian orang Mandar tinggal di Ujungjero, Kabupaten Pinrang, yang masuk wilayah Sulawesi Selatan.

new-picture-1Ridwan kecil tumbuh di pesisir Pantai Tinabung, Polewali Mandar. Meskipun ayahnya, Alimuddin,  seorang pandai emas, lingkungan Ridwan tumbuh adalah lingkungan nelayan. Ibunya, Siti Rahmanasiar, seorang pegiat koperasi yang memperkenalan Ridwan pada bacaan sejak dini. Ridwan mengenang,  di rumahnya selalu tersedia majalah Amanah dan Panji Masyarakat. Ibunya juga membolehkan Ridwan untuk mengebon—mengambil barang dan membayar kemudian—buku-buku bacaan di toko koperasi, tanpa meminta persetujuannya.  Asuhan orangtuanya itu membentuk Ridwan gemar membaca, sementara lingkungannya mendekatkan ia pada dunia bahari.

Saat Ridwan melanjutkan pendidikan ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, ia mulai memikirkan untuk membuat penelitian-penelitian terkait kemaritiman di Indonesia, termasuk di kampung halamannya. Tetapi ketika mencari bahan rujukan untuk mendukung  penelitiannya, ia prihatin karena tidak menemukan referensi yang memadai. Apalagi referensi yang dihasilkan oleh orang Mandar sendiri. Satu-satunya buku terkait bahari yang ditulis orang Mandar adalah Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan Selawesi Selatan karya (almarhum) Baharuddin Lopa. Ridwan kemudian memulai penelitian pada komunitas nelayan suku Mandar di Balanapia, Tangnga-Tangga, Timabung dan Pambusuang. Bersama nelayan ia memelajari teknik penangkapan ikan dengan rumpon,yaitu tempat  mengumpulkan ikan untuk berkembang biak yang dipasang nelayan di tengah laut.

Dalam perjalanannya menggali pengetahuan bahari Mandar, Ridwan berjumpa dengan Horst H Liebner, peneliti maritim Nusantara asal Jerman yang menginisiasi Sandeq Race sejak tahun 1995. Sandeq adalah perahu tradisional karya nelayan Mandar yang memiliki kecepatan tertinggi di Nusantara. Sandeq Race merupakan ajang balap perahu Sandeq  dengan rute Mamuju-Makassar. Peserta berlayar sejauh 300 mil laut atau 540 kilometer selama 10 hari.  Perjumpaannya itu juga mengetuk hatinya untuk semakin menggali kekayaan bahari Mandar. Selanjutnya Ridwan pun membantu Horst dalam penyelenggaraan Sandeq Race yang diselenggarakan setiap tahun.

Ridwan kemudian mendalami pembuatan perahu sandeq dari para nelayan. Dari perjalanannya berguru pada nelayan, pengetahuannya bertumbuh, termasuk suasana terancam punahnya perahu sandeq. Sedikitnya dua faktor yang membuat nelayan semakin tidak menggunakan perahu sandeq. Pertama,  semakin tingginya permintaan ikan tuna segar yang menuntut nelayan untuk menggunakan perahu motor. Sebab, meskipun sandeg perahu tercepat, sebagai perahu tanpa mesin ia membutuhkan waktu tiga hari untuk mengumpulkan tuna dan diawetkan dalam es dalam perjalanan melaut. Karena itu, nelayan semakin banyak yang beralih dari perahu sandeq ke perahu motor. Kedua, kebijakan pemerintah setempat yang membangun tanggul di sepanjang pantai. Pembangunan tanggul ini bertujuan untuk mengurangi abrasi tetapi di sisi lain mengancam kebudayaan maritim Mandar, termasuk budaya perahu sandeq.  Sebelum ada tanggul, nelayan cukup mendorong perahu sandeq mereka ke pantai. Setelah ada tanggul mereka membutuhkan sekitar 20 orang untuk mengangkat perahu sandeq melalui tanggul. Situasi itu juga mendorong nelayan untuk meninggalkan perahu sandeq dan menggunakan perahu-perahu yang lebih kecil. Perahu sandeq yang dulu ratusan memenuhi pesisir pantai di Sulawesi Barat, kini hanya tersisa di Pantai Pambusuang. Ridwan khawatir lima tahun ke depan, perahu sandeq sudah benar-benar punah.

Temuan-temuan dalam penelitiannya itu kemudian menggugah Ridwan untuk mengajak lebih banyak orang untuk terlibat dalam menggali dan merawat budaya bahari Mandar. Ia bersama beberapa orang yang memberikan perhatian kepada bahari mandar kemudian mendirikan Komunitas Bahari Mandar. Komunitas ini merupakan forum komunikasi beberapa komunitas dan individu di Kabupaten Polewali Mandar, khususnya Kecamatan Tinambung dan Kecamatan Balanipa, yang memberi perhatian besar terhadap kebudayaan bahari Mandar. Awalnya organisasi ini bernama Forum Lopi Sandeq, didirikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, Suradi Yasil, Horst Liebner, Tashan Burhanuddin (almarhum) pada tahun 2006. Kepengurusannya dikoordinasi oleh Ridwan.

Meski baru didirikan pada 2006, para pendirinya sudah lama bergerak dalam pelestarian kebudayaan bahari Mandar. Suradi Yasil adalah penulis dan peneliti kebudayaan Mandar dan pernah melakukan penelitian perahu sandeq. Horst Liebner seorang antropolog Jerman yang sejak akhir 1980-an melakukan penelitian kebaharian Mandar, khususnya perahu sandeq dan teknologi rumpon. Tashan Burhanuddin, pejabat (waktu itu Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat) yang memiliki perahu sandeq yang sering diikutkan berlomba. Ridwan sendiri sudah melakukan penelitian kebaharian Mandar dan menulis buku-buku bertema kemaritiman juga terlibat dalam Sandeq Race (sejak 2002), pembuatan film dokumenter maritim, dan terlibat dalam beberapa proyek yang mengusung kebudayaan bahari Mandar.

new-picture-2Ridwan kemudian menikah dengan Khadijah, yang berasal dari pesisir Pambusuang. Ia kemudian memutuskan membangun Museum Maritim Mandar, sekaligus pusat edukasi komunitas di desa istrinya yang juga salah satu lokasi penelitiannya. Bersama komunitasnya, Ridwan mulai bekerja dengan anak-anak pesantren dan mahasiswa, terutama dari universitas terdekat di wilayah tetangga, Majene. Mereka mulai mengumpulkan bangkai-bangkai perahu sandeq yang terbengkalai di depan rumah para nelayan. Keluarga istrinya memberikan dukungan pada komunitas yang mencintai budaya  bahari Mandar ini, dengan meminjamkan lahan kebun pisang mereka untuk lokasi pembangunan museum. Komunitas ini pun mulai membangun Museum Maritim Mandar yang dipadukan dengan perpustakaan untuk meningkatkan pendidikan anak-anak nelayan. Mereka membuat bangunan untuk pertemuan dan perpustakaan yang furniturnya menggunakan bangkai perahu sandeq. Meja untuk  buku-buku bacaan anak  terbuat dari lambung perahu sandeq untuk menangkap ikan yang cukup besar. Demikian juga beberap rak bukunya.

Perpustakaan ini mengoleksi 6.000 buku tentang kemaritiman, jurnalisme,  lingkungan hidup, advokasi, sejarah dan  novel. Termasuk juga  23 buku tentang kemaritiman yang ditulis oleh Ridwan. Banyak mahasiswa, tidak hanya dari universitas di Majene, bahkan dari Makassar, yang datang ke perpustakaan ini untuk mempelajari budaya Maritim, lantaran  koleksi di Museum Maritim Mandar lebih memadai dibandingkan dengan perpustakaan di kota mereka. Beberapa mahasiswa juga melakukan penulisan skripsi dan penelitian di komunitas ini, antara lain penelitian tentang perahu penangkap ikan pukat cincin, sistem bagi hasil dalam kerja nelayan Mandar dan aspek mistis pada budaya bahari Mandar. Tak jarang, dari mahasiswa-mahasiswa itu kemudian menjadi  relawan di komunitas ini yang menggerakkan program perpustakaan  komunitas secara sukarela.

Terdapat beberapa program perpustakaan yang dikembangkan komunitas ini. Pertama, Beca Pustaka dan Bendi  yang memberikan layanan pustaka keliling di kampung-kampung nelayan menggunakan beca dan bendi. Becak pustaka menyasar sekolah dasar (SD) pada jam istirahat dan sore hari. Kemudian Perahu Pustaka yang menyasar anak-anak nelayan di pesisir pantai. Perahu Pustaka ini berlayar menyusuri pantai-pantai dan pulau-pulau kecil dari Sulawesi Barat hingga yang terjauh ke Pulau Sagori yang ditempati suku Bajau di Sulawesi Utara. Untuk jarak tempuh 1.000 kilometer tersebut, para relawan membutuhkan waktu 20 hari berlayar sambil singgah di pantai-pantai dan pulau-pulau kecil yang mereka lalui.

new-picture-3Program ini bertujuan untuk memadukan pelestarian dan pengembangan budaya bahari dan peningkatan pendidikan anak-anak nelayan melalui perpustakaan. Komunitas ini, di satu sisi ingin mendekatkan para relawan yang mahasiswa akan pengetahuan  bahari dengan cara langsung berlayar untuk tugas pustaka dan mengabdi pada komunitas nelayan. Di sisi lain, nelayan sebagai sumber pengetahuan didokumentasikan melalui penelitian dan penerbitan buku-buku tentang mereka. Dan, anak-anak nelayan dapat menikmati buku-buku bacaan.

Tahun 2016 komunitas ini meraih Juara I Gramedia Reading Community Competition untuk regional Indonesia timur. Uang yang didapat dari kejuaraan ini kemudian mereka belanjakan beberapa motor gunung, ATV, untuk memperluas jangkauan layanan perpustakaan di wilayah pegunungan. Menurut Ridwan, laut dan gunung itu seperti sepasang kekasih. Nelayan tak dapat berlayar tanpa didukung pohon-pohon di gunung yang menyediakan kayu untuk bahan perahu mereka. Karena itu, komunitas ini juga bertekad untuk memberikan perhatian yang sama pada anak-anak di pegunungan.

Komunitas terus mengembangkan programnya mengikuti kebutuhan masyarakat. Suatu hari, Ridwan mengamati anak perempuan yang bolak-balik ke perpustakaannya sambil membuat catatan. Ternyata, ibunya penjual kue, dan anak ini mencatat resep-resep masakan untuk ibunya. Hal ini mengguggah komunitas ini untuk menitipkan buku-buku resep masakan dan cara pengasuhan anak di warung-warung kampung nelayan. Saat ini komunitas juga sedang merancang program menitip buku  pada perahu-perahu besar penangkap ikan seperti pukat cincin. Mereka berlayar sekitar tiga hari dengan 11 awak. Komunitas ini meminjamkan satu  box plastik yang berisi majalah olahraga dan parenting untuk menemani awak perahu di saat rehat. Komunitas ini memang harus pandai-pandai memilihkan tema yang sesuai dengan minat dan tingkat baca para nelayan dan anak-anaknya. Mereka tidak bisa langsung memberikan bacaan-bacaan yang berat. Walaupun untuk buku-buku hasil penelitian, yang berguru pada mereka, selalu disediakan pada setiap layanan. Para nelayan sangat senang dan terharu mengetahui foto dirinya dan pengalaman mereka sehari-hari menjadi sumber pengetahuan yang dibukukan.

Selain terus belajar untuk memberikan layanan pada masyarakat nelayan, Komunitas Budaya Bahari Mandar ini juga terbuka terhadap kalangan akademisi. Saat ini mulai banyak dosen dari universitas di Majene dan Makassar yang membawa mahasiswanya ke  Museum Pustaka ini untuk melaksanakan perkuliahan langsung di kampung nelayan.  Museum ini juga menyambut para peneliti dari Jakarta dan mancanegara untuk memberikan diskusi kepada relawan dan masyarakat sekitar.

new-picture-4Menurut Ridwan, seluruh upaya komunitas ini membawa misi sederhana, yaitu agar  generasi selanjutnya mencintai dan menghormati budaya bahari nenek moyangnya. Meminjam istilah Presiden Joko Widodo, agar laut menjadi halaman depan rumah kita. Bagi kampung nelayan, laut memang sudah di depan halaman mereka, tapi komunitas ini berharap agar anak-anak nelayan kelak menjadi generasi penerus yang menghayati dan melestarikan budaya bahari. Komunitas ini juga ingin mengajak generasi penerus untuk berguru pada keuletan dan inovasi nelayan Mandar. Meskipun perahu sandeq menjelang kepunahan, nelayan Mandar saat ini melakukan inovasi perahu mesin yang diadopsi-dikembangkan dari  tradisi perahu sandeq. Juga sikap optimistis yang diwariskan para nelayan. Mereka memiliki peribahasa,“Jangan berangkat kalau belum tiba”, dalam praktik sehari-hari, dalam cuaca laut yang tak menentu “jangan pergi melaut kalau tidak memiliki keyakinan akan kembali ke daratan”. Dalam berlayar nelayan juga pamali untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang pesimistis. Sikap optimistis ini juga yang patut diwarisi oleh generasi penerus Indonesia.

Mengenai penghargaan kebudayaan  kategori Komunitas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diberikan kepada komunitas yang didirikannya, Ridwan menyampaikan terima kasih karena sudah mengapresiasi apa yang dilakukan Komunitas Bahari Mandar. Ridwan juga berharap, penghargaan yang mereka terima dapat  menginspirasi komunitas bahari di Bugis, Papua dan lainnya. Sebab, Ridwan menyadari, kerja-kerja merawat kebudayaan bahari Nusantara membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Pediri:

Muhammad Ridwan Alimuddin

Suradi Yasil

Horst Liebner

Tashan Burhanuddin (almarhum)

Berdiri:

2006

Alamat:

Desa Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat

Karya Konsep, Riset dan Advokasi:

  • Terlibat dalam pembuatan konsep “Sipamandaq untuk Indonesia” yang diusung Provinsi Sulawesi Barat pada Pawai Budaya Nusantara. Dalam pawai tersebut, Sulawesi Barat masuk sepuluh besar (2011)
  • Terlibat dalam menggagas festival “Kappung Passandeq” pertama yang dilaksanakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandarm bekerja sama dengan Komunitas Sossorang dan Inditia Community (2011)
  • Melakukan advokasi Pulau Lere-lerekang bersama Pemerintah Kabupaten Majene dan Provinsi Sulawesi Barat (2011)
  • Terlibat dalam riset dan skenario pementasan Punggawa Loa oleh Dalif Palipoi (Komunitas Sossorang) di Festival Monolog di Taman Budaya Solo, Jawa Tengah (2010)
  • Terlibat dalam penyusunan konsep tema “Perahu Sandeq dan Sibaliparriq” yang diusung Provinsi Sulawesi Barat di Pawai Budaya Nusantara. Sulawesi Barat masuk tiga besar bersama Bali dan Jawa Timur (2009)
  • Riset Ekspedisi The Sea Great Journey Mandar – Jepang (2008)

Festival yang diikuti:

  • Festival Maritim Brest, Prancis (Juli) pemberangkatan tim dari Mandar didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar dan Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat (2012)
  • Ekspedisi Johor, bersama Lembaga Perahu (2012)
  • Sandeq Race (2010)
  • Sandeq Race (2007)
  • Sandeq Race (2006)

Penghargaan

  • Penghargaan Kebudayaan Kategori Komunitas dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)
  • Juara I Gramedia Reading Community Competition 2016 Regional Indonesia Timur (2016)