Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta: “Barapan Kebo”, Simbol Kebersamaan

0
2290
Komunitas Barapan Kebo di Desa Lamenta, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mendapat Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019. Komunitas ini dinilai setia mempertahankan dan mengembangkan tradisi “barapan kebo” atau karapan kerbau yang merupakan warisan secara turun-temurun dari nenek moyang.

Haji Jibril yang menjadi pemimpin komunitas itu merasa amat bahagia atas penghargaan
yang sungguh di luar dugaannya. Ia mengaku mempertahankan tradisi “barapan kebo” karena itu warisan nenek moyangnya. Sebagai kuturunannya, ia dan komunitasnya berkewajiban untuk melanjutkan tradisi tersebut.

“Kami sangat bahagia mendapat anugerah ini dari pemerintah. Kami berharap pemerintah terus mendukung barapan kebo karena tradisi ini hanya satu-satunya di dunia dan dapat mengharumkan nama tidak saja Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, tetapi juga Indonesia di mata dunia,” ujar Haji Jibril yang tampak sumringah mendengar kabar tersebut.

Ia menjelaskan, barapan kebo tidak hanya menjadi upacara bagi para petani di desanya menjelang musim tanam tiba, tetapi juga menjadi sarana untuk bersilaturahim untuk menjalin persaudaraan di antara masyarakat di Kabupaten Sumbawa. Kegiatan tersebut dapat menghimpun orang dari berbagai tempat dan kemudian bersama-sama menggelar
barapan kebo. Dengan demikian, barapan kebo telah menjadi simbol persaudaraan. Dulu, barapan kebo diselenggarakan untuk menyambut awal musim tanam.

Barapan kebo harus diselenggarakan di atas sawah yang berair dan kerbau
yang ikut dalam lomba selalu berpasang-pasangan. Namun dengan majunya irigasi saat ini, lomba ini sudah bisa diselenggarakan tiap pekan, berpindah dari satu tempat ke lain tempat berdasarkan zona-zona. “Kita selenggarakan seperti F-1 (balapan mobil Formula 1), berpindah dari satu tempat ke lain tempat,” jelas Syamsu Ardiansyah, Kurator, Direktur Literasi Sumbawa Institute dan Direktur JKPI Kabupaten Sumbawa. Desa Lamenta cukup disegani dalam lomba ini karena desa ini memiliki dua pasang kerbau yang selalu menang pada berbagai ajang barapan. Kedua pasang kerbau jagoan itu adalah “Angin Paris” dan “Arjuna”. Pasangan yang terakhir milik Haji Jibril.

Barapan kebo memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Sumbawa. Ia bisa menjadi permainan rakyat yang dapat menjadi sarana untuk integrasi sosial, pertunjukan budaya, ikut memperkuat kemandirian ekonomi, dan spiritualitas sosial. Haji Jibril, ketua Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta, menjelaskan, kerbau memiliki peran penting dalam kehidupan petani di desanya, khususnya untuk mengangkat kehidupan perekonomian masyarakat desa. Selain untuk membajak sawah, kerbau juga digunakan untuk membantu menggiling tebu. “Kerbau yang ikut barapan biasanya harganya langsung melonjak tinggi. Ada saja yang mau beli. Kerbau balapan tidak dipakai untuk membajak sawah,” ujarnya.

Kerbau juga memungkinkan seseorang untuk bisa berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. “Dengan menjual lima ekor kerbau, seseorang sudah bisa mengongkosi perjalanannya untuk ibadah haji,” jelasnya. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa, Haji Sahril, mengungkapkan banyak hal yang bisa dipetik dari komunitas balapan kerbau yang dikembangkan secara turun-temurun oleh masyarakat Sumbawa, khususnya di Desa Lamenta. “Banyak nilai historis dan religius yang terkandung di dalam barapan kebo,” katanya.

Sahril menjelaskan, dari segi ekonomi, kerbau akan membantu perekonomian masyarakat Sumbawa, khususnya masyarakat petani dan peternak. Dari segi religiositas, barapan kebo menyatukan semua komponen masyarakat Sumbawa. Di sini terjadi silaturahim, transaksi- transaksi berlangsung. Karena itulah, sangat pantaslah pemerintah memberikan apresiasi terhadap budaya ini agar bisa dikembangkan terus karena di dalamnya terkandung nilai budaya dan adat istiadat yang tidak boleh dilupakan.

Melihat peran itu, masyarakat di Desa Lamenta, dan juga masyarakat pada umumnya berlomba-lomba memelihara kerbau. Bahkan sejak kanak-kanak masyarakat Sumbawa sudah diperkenalkan dengan kerbau seperti diajarkan bagaimana memegang tali kerbau. Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta yang dipimpin Haji Jibril memainkan peran penting untuk memperkenalkan tradisi memelihara kerbau dan segala kegiatan berkaitan dengan itu. Di Desa Lamenta kini penduduknya aktif mengikuti kegiatan barapan kerbau dan menyiapkan diri dengan baik untuk perlombaan tersebut.

“Kerbau yang ikut barapan diberi makanan bergizi agar kuat berlari saat berlomba,” katanya. “Kerbau-kerbau kami di sini yang mau ikut berlomba harus berlatih setiap Kamis. Dengan alat pengukur kecepatan, kami mencatat rekor larinya dan terus memacu agar rekornya makin tajam,” katanya.

Menggelar barapan kebo di seluruh wilayah Kabupaten Sumbawa dapat membakitkan semangat masyarakat untuk mencintai karapan kerbau. Hal itu bermanfaat tidak saja untuk pelestarian budaya, tetapi menjadi salah satu nilai tambah bagi kerbau sehingga masyarakat terpacu untuk tetap memelihara kerbau. Lokasi atau arena barapan kebo adalah sawah yang telah basah atau sudah digenangi air sebatas lutut. “Air dan tanah bersatu serta hadirnya manusia dan kerbau adalah gambaran keseimbangan hidup dan kerja sama dua ekor kerbau, yang dituntun oleh ketangkasan joki di atas ‘kareng’, yaitu kayu yang membentuk huruf ‘V’ sebagai simbol perdamaian global,” kata Ardiansyah.

Kerbau-kerbau peserta diukur tinggi dan usianya agar dapat ditentukan dalam kelas apa kerbau-kerbau tersebut dapat dilombakan. Joki yang mengendarai kerbau tidak cukup bisa sampai ke garis finis, tetapi harus bisa menyentuh “sakak”, kayu pancang tanda finis. “Sakak” adalah simbol tujuan hidup yang dicapai dengan semangat berlari kencang secara linier. Bersama kerbaunya, sang joki berusaha melawan berbagai rintangan hidup agar bisa mencapai tujuan yang telah ditargetkan secara yakin dan sadar. Tentu saja butuh kerja keras untuk mencapai “sakak” itu. “Tidak jarang terjadi, kerbau itu mendadak membelok
saat mendekat sakak,” kata Haji Jibril.

Menurut Ardiansyah, barapan adalah ritus perjalanan waktu dari titik awal menuju “sakak”. Hal itu dapat dibaca sebagai bagian dari gambaran dan orientasi dalam mengarungi hidup yang dilakukan secara lurus, bersemangat dan harus mencapai tujuan dari hidup itu sendiri. “Sakak” adalah titik tujuan secara kolektif untuk menggapai cita-cita hidup.

Beberapa istilah yang menarik dalam momen barapan kebo antara lain “noga”, “kareng”, “mangkar”, “sandro”, “lawas”, dan “ngumang”. “Noga” adalah kayu penjepit leher penyatu sepasang kerbau balapan. “Kareng” adalah tempat berdiri atau bilah pijakan kaki sang joki barapan yang dirakit berbentuk segitiga atau huruf “V”. Sementara “mangkar” adalah pelecut atau pecut pemacu kerbau lomba. “Sandro” adalah orang sakti dengan ilmu supranaturalnya. Ia biasanya berpakaian khas berwarna serba hitam yang berkewajiban menjaga kerbau yang ikut lomba agar lepas dari berbagai gangguan atau hambatan.

“Lawas” adalah lantunan syair pantun daerah Sumbawa yang dilakukan di antara teriakan kemenangan sang joki, saat kerbaunya mampu menyentuh dan menjatuhkan “sakak” tanpa sedikit pun terjatuh dari karengnya. Dan, “ngumang” adalah sesumbar kemenangan sebagai pemikat wanita penonton barapan dan merayu-rayu dengan lantunan “lawas” yang dikuasainya.

Barapan kebo yang merupakan salah satu agenda kegiatan Festival Moyo (Fesmo) dilaksanakan setiap tahun. Barapan ini kian menarik perhatian wisatawan. Pada 2019, balapan kerbau yang digelar di Sirkuit Sumer Payung, Karang Dima, Sumbawa, telah mendapat perhatian dari wisatawan dan komunitas yachter dari berbagai negara. Mereka masuk dari Australia dan berlabuh di Teluk Saleh, Sumbawa. Banyak yachter yang bertahan karena tertarik barapan kebo dan bahkan mereka menambah waktu tinggal dari empat hari menjadi enam hari. Kerbau dan Sumbawa ibarat sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam bingkai sejarah, peradaban dan tradisi serta keyakinan dan kepercayaan masyarakatnya. Sebagai satwa, kerbau sangat dekat dengan manusia. “Kita tidak membuat karapan sapi karena sapi tidak sejinak kerbau. Sapi bisa saja menendang kita, kerbau tidak,” jelas Haji Jibril.

Kini masyarakat Sumbawa sedang bersemangat dan gencar memajukan barapan kebo dan mereka tampak sangat bangga dengan tradisi tersebut. Bahkan mereka menggalakkan barapan kebo tidak saja pada tingkat lokal, tetapi juga pada tingkat nasional dan global. Barapan kebo memang satu-satunya yang ada di dunia. Kerbau dipandang sebagai kendaraan untuk berjumpa dalam semangat perdamaian dan kemanusiaan.

Sumbawa kian berjuang menictrakan diri sebagai tempat barapan kebo. Kini di sudut-sudut kota Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa, muncul patung barapan kebo. Dengan demikian Sumbawa tidak saja dikenal karena Pulau Moyonya di mana selebritas dunia mampir di sana seperti petenis dunia Maria Sharapova, tetapi juga karena barapan kebonya, satu-satunya di dunia. Di sini peran komunitas barapan kebo seperti yang ada di Desa Lamenta memainkan peran pentingnya untuk melestarikan dan memajukan karapan kerbau.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019