Jember Fashion Carnaval: Mengangkat Busana Nusantara ke Tingkat Dunia

0
7169
Tak ada yang menyangka mimpi Dynand Fariz menggagas dan melahirkan Jember Fashion Carnaval (JFC) bakal jadi hebat seperti sekarang. Sampai tahun 2019, JFC masih menjadi karnaval terbaik di Asia dan menempati peringkat ketiga di dunia setelah Rio de Janeiro Carnaval di Brasil dan Pasadena Flower Carnaval di Los Angeles, Amerika Serikat.

Di Indonesia sendiri, JFC sudah tiga kali berturutturut masuk sebagai Top 10 dari Daftar 100 CoE Kementerian Pariwisata. Mimpi Dynand agar kota kelahirannya, Jember, bisa terkenal ke seluruh dunia lewat JFC terwujud sudah. Semua itu didapatnya dengan peluh dan pengorbanan yang tidak kecil.

Adapun yang membuat karnaval JFC ini mendunia ialah tema busana yang tegas dirujuk dari kenusantaraan dan dikombinasikan dengan hal-hal yang sedang viral dan trending di dunia nyata maupun dunia maya. Lebih uniknya lagi, semua busana yang dibuat dalam bentuk kostum terbuat dari bahanbahan seadanya, yang menunjang nilai estetika dari busana itu sendiri. JFC ini membawa karakter fashion busana yang tegas, cerah, menarik, dan berumbai-rumbaisesuai dengan kota tercintanya yaitu Kota Jember. Budi Setiawan, yang sekarang menjadi Deputi Event Director di Yayasan JFC, menuturkan bahwa tahun 2001 Dynand memulainya dengan kecil-kecilan bersama stafnya di rumah modenya di Jember. Saat itu, setahun sekali ia meminta komunitasnya untuk mengenakan baju sesuai dengan tema yang ditentukannya. Baju-baju itu tidak perlu baju baru, tetapi bisa modifiksi dari apa yang ada.

Kemudian, di tahun ketiga, timbul pemikiran gaimana agar mereka tidak hanya menampilkan fashion yang mereka pakai di rumah mode saja, tetapi di jalan umum, bahkan di alun-alun kota Jember. Semua sepakat. Dynand yang harus bolak-balik Jakarta-Jember karena harus mengajar di Sekolah Mode Esmond, mengajari sekitar 20 anggota komunitasnya bagaimana cara berjalan. Dia berjalan di depan dan yang lain
mengikuti dari belakang.

Respons masyarakat ternyata bagus. Dynand memutuskan untuk menggelar karnaval pada 2003, meskipun tak semua anggota komunitasnya setuju. Ia jalan
terus. Pokoknya, mulai dulu. Prinsipnya, karnaval itu akan sukses kalau dipersiapkan dengan baik dan matang. Maka, ia turun tangan sendiri untuk mendidik komunitas-komunitas yang ingin ikut dalam karnaval. Maka, lahirlah Jember Fashion Carnaval yang terus meroket dari tahun ke tahun, meskipun cukup banyak juga tantangan yang harus dilalui.

JFC jadi besar dan tak hanya melahirkan banyakkomunitas yang mendukung karnaval, tetapi juga mulai menggerakkan sektor kehidupan lain, seperti ekonomi, wisata, kuliner, perhotelan, transportasi di kota Jember dan sekitarnya. Bahkan banyak kota kabupaten dan pemerintah kota di Indonesia mulai meniru dan belajar bagaimana menggelar karnaval karena dianggap bisa menjadi pintu untuk memajukan suatu daerah.

David K Susilo, yang kini menjadi Program & Development Director di Yayasan JFC, baru saja melakukan kajian dampak ekonomi dan sosial kemasyarakatan selama JFC, khususnya untuk penyelenggaraan tahun 2018 dan 2019. Even JFC yang merupakan parade karnaval yang menempuh run way etape pertama sepanjang 1,8 km dan etape grand / penutup menempuh jarak 3,6 km, telah membuka potensi yang luar biasa sebagai even budaya kreatif tingkat nasional dan internasional.

Menurut David, JFC bagi masyarakat Jember bukan hanya soal sisi ekonomi saja. Akan tetapi pada sisi jendela budaya dan dari sisi ekonomi, saat ini Jember memiliki sekitar 700 pelaku karnaval yang sudah berkembang dan tersebar merata di setiap kecamatan
Kabupaten Jember, “Setiap peserta karnaval mampu memproduksi berbagai jenis kostum karnaval, yang meliputi bahan baju kostum, sepatu karnaval, asesoris karnaval, make up
karnaval, tukang las dalam membuat konstruksi kostum karnaval, pengukir ukiran
karnaval yang menjadi ciri khas Jember Fashion Carnaval. Selain itu, setiap pembuat kostum karnaval melibatkan beberapa sektor keahlian/pekerja, toko kain, toko asesoris, penjahit, pengrajin sepatu, tukang las, pengukiran cat, salon
make up,” kata David.

JFC telah meningkatkan jumlah wisatawan Nusantara datang ke Jember. Tahun 2018 jumlahnya 100.000 orang, dan naik jadi 150.000 pada tahun 2019. Sementara wisatawan mancanegara yang datang tahun 2018 berjumlah 325 orang, dan meningkat jadi 385 pada tahun 2019. Mereka tinggal di Jember raya-rata tiga hari dua malam. Kebutuhan akan kamar hotel juga meningkat drastis. Tahun 2018 jumlah kamar yang dibutuhkan 1.900 kamar dan behasil menyerap Rp 1,95 miliar, dan tahun 2019 jumlah kamar meningkat jadi 2.200 kamar dan menyerap Rp- 2,53 miliar. Usah kuliner juga meningkat dari 67 lokasi tahun 2018 dengan omset Rp 601 juta, pada tahun 2019 jumlahnya menjadi 78 lokasi dan menyerap Rp 793 juta. Secara keseluruhan, JFC tahun 2019 berhasil menyerap pendapatan Rp 7, 077 miliar hanya dalam tempo empat hari karnaval berlangsung. “Oleh karena itu, peserta karnaval ini bisa menjadi salah satu lahan untuk menyerap tenaga kerja.

Sementara dari jendela budaya, upaya ini juga menjadi art fashion yang menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai sumber inspirasi yang kaya akan makna,” kata David yang melakukan pengkajian tentang dampak JFC. Komunitas JFC terhenyak ketika pada 17 April 2019, Dynand Fariz berpulang untuk selama-lamanya. Apakah JFC bisa berlanjut terus? Itulah pertanyaan yang muncul di masyarakat. Budi Setiawan yang biasa disapa Iwan menjelaskan, almarhum Dynand Fariz bercita-cita JFC menjadi satu perjalanan panjang. Proses regenerasi telah disiapkan Dynand jauh-jauh hari sebelumnya.

“Ketika Mas Dynand berpulang, hampir semua sahabatnya bertanya bagaimana kelanjutannya. Lalu, apa yang mereka bisa bantu atau kolaborasikan. Termasuk Bunda Anne Avantie. Kehadiran Bunda Avantie (desainer) memberikan angin segar kepada generasi baru,” kata Iwan. Iwan dan timnya kemudian membentuk Yayasan JFC untuk meneruskan JFC. Yayasan JFC yang diketuai oleh Suryanto berhasil menggelar JFC 2019, event pertama tanpa Dynand Fariz. JFC dibuka oleh Bupati Jember Hj Fariza, MMR, Anne Avantie, dan Iwan.

Dukungan dari kolega Dynand boleh dibilang luar biasa. Desainer terkenal Anne Avantie menampilkan 20 model profesional yang mengenakan 25 karya terbaiknya, yaitu busana kebaya yang dipadukan dengan batik dominan warna emas dan hitam. Avantie mempersembahkan itu untuk sahabatnya, pendiri dan Presiden JFC, Dynand Fariz. Selain itu juga ikut ambil bagian artis Cinta Laura. JFC ke-18 mengangkat tema “Tribal Grandeur”, yang artinya keagungan suku-suku bangsa dengan delapan defile yang ditampilkan, yakni suku bangsa Aztec (Meksiko), Mongol (Mongolia), Zulu (Africa Selatan), Viking (Norwegian), Karen (Thailand), Polynesia, dan Indonesia.

Selama ini JFC selalu hadir dengan tema-tema khusus. JFC banyak menghadirkan kekayaan budaya Nusantara dan kemudian mengemasnya dengan tampilan modern. Karena itu, setiap tahun selalu hadir tema fashion dari Indonesia. Kali ini diwakili oleh Minahasa (Sulawesi Utara) dan Hudoq (Kalimantan Timur). David yang menangani program JFC mengemukakan, “Budaya Nusantara yang sudah mengakar tak perlu kita cabut, tetapi kita petik buahnya. Itulah Jember Fashion Carnaval.”

Dalam melangkah ke depan, komunitas JFC lewat Yayasan JFC telah merancang program jangka pendek, menengah dan panjang. Program jangka pendek adalah, pertama, melakukan kolaborasi dengan badan/lembaga/ perguruan tinggi untuk melakukan kajian ilmiah terhadap dampak positif JFC. Kedua, melahirkan peraturan daerah (perda), yaitu menggunakan hasil kajian ilmiah untuk mendorong dilahirkannya perda tentang keberlangsungan event JFC. Ketiga, menarik investor untuk berinvestasi mewujudkan kota satelit di kota Jember, yakni Kota Wisata Karnaval.

Adapun program jangka menengah (2019-2024) adalah JFC menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga perguruan tinggi di Jember, Kementerian Luar Negeri, Badan Ekonomi Kreatif, Esmod Jakarta, Indonesia Fashion Week, untuk tampil di karnaval Rio de Jenairo, Brasil, dan menggelar pameran karya seni instalasi dengan inspirasi tema JFC sebagai ikonik kota Jember. Program jangka panjang (2025-2030), yaitu membangun kota karnaval baru sebagai kota satelit Jember yang di dalamnya ada Indonesia Carnaval Institute (ICI), Museum JFC, Workshop JFC, venue karnaval JFC, mewujudkan JFC sebagai trend setter fashion dan karnaval dunia, menjadikan JFC sebagai media untuk menggali tambang kreativitas SDM Indonesia yang memiliki daya saing global, dan membangun hotel, restoran, real estate dan pusat-pusat belanja kelas dunia.

Keberhasilan Komunitas JFC menggelar JFC yang berkelas internasional dan menjadi yang terbaik ketiga di dunia, mendorong Pemerintah RI—dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—untuk memberikan Anugerah Kebudayaan kategori Komunitas tahun 2019. “Ini sejarah bagi kami. Kami merasa bangga karena ini bagian dari perjuangan Mas Dynand mulai dari pertama kali ini diselenggarakan,” ujar Iwan dengan bahagia sekaligus juga terharu.

“Kami sangat berterima kasih. Besyukur ada yang melihat ini sebagai kegiatan yang tidak sia-sia. Ini penghargaan yang luar biasa dan dalam bagi kami, bisa menjadi semangat tambahan untuk perjuangan panjang,” lanjutnya. Iwan berharap anugerah kebudayaan tersebut bisa mengokohkan eksitensi JFC tidak saja di Jember, tetapi juga di Indonesia dan di mata dunia.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019