Kartolo: Pelawak Kawakan, Tapi Belum Berani “Stand Up Comedy”

0
1402

Provinsi Jawa Timur, khususnya Surabaya, merupakan lumbungnya pelawak. Tokoh-tokoh banyolan di pentas lawak Tanah Air banyak yang berasal dari kota rujak cingur ini. Di antara pelawak kawakan asal Surabaya yang masih eksis sampai sekarang adalah Kartolo.

Tolo, begitu nama lahirnya, merupakan pelawak panggung. Dia melawak dari satu pentas ke pentas ludruk sejak 1960-an. Sampai saat ini, di usianya yang sudah 70 tahun, Kartolo masih sering manggung untuk mengocok perut masyarakat.

Di awal kariernya, setelah ikut beberapa panggung ludruk, pelawak kelahiran Pasuruan, 2 Juli 1947, ini kemudian mengisi acara ludruk

di RRI. Namanya pun kian moncer. Di wilayah “Tapal Kuda”, Jawa Timur, nama Kartolo terus berkibar lewat profesinya sebagai pelawak dengan banyolan-banyolannya yang khas. Hingga kini! Saking aktifnya dia membawakan lawakan di pentas ludruk, saat ini karya banyolannya mencapai 112 judul.

’’Setiap judul lawakan durasinya satu jam,’’ kata bapak tiga anak ini.

Sebetulnya, panggung ludruk yang ia isi dengan lawakan- lawakan segar yang bikin “geerr” penonton tersebut bukanlah profesi pilihan pertamanya. Semula Kartolo terjun di dunia karawitan. Selain itu, Kartolo muda juga pernah ikut mengiringi pertunjukan wayang. Tapi, setelah beberapa kali ikut bermain ludruk, terutama ketika menikmati begitu riuh sambutan penonton lewat sesi banyolan- banyolan yang tampilkan, Kartolo akhirnya memutuskan dunia lawak-lah sebagai pilihan hidupnya sebagai seniman.

Menurut dia, kunci penampilan lawakannya adalah dibumbui kidungan. Tidak sembarang kidungan yang dia bawakan. Sebisanya mungkin kidungan harus memiliki makna positif yang harus disampaikan. Ketika tampil di tengah-tengah pelajar, misalnya, Kartolo membawakan kidungan yang berisi tentang ajakan mencari ilmu untuk kepentingan dunia dan akhirat.

Kartolo terus mengikuti dunia komedi Tanah Air. Dia juga mengamati perkembangan lawakan modern seperti stand up comedy. Ternyata, meskipun berstatus pelawak alias komedian, Kartolo mengaku tidak berani manggung di acara stand up comedy. ’’Biar itu bagiannya Cak Lontong dan teman-temannya,’’ jelasnya.

Dalam membawakan komedi, Kartolo mengatakan memiliki pakem yang harus dia terapkan, yakni pakem lawakan yang tidak me-bully partner bermainnya. Dia mengaku tidak suka gaya komedi yang cenderung mengolok-olok rekan setim. Komedi yang dibumbui adegan kekerasan juga dia hindari.

Pada masa jawanya, tim panggung Kartolo memiliki komposisi enam orang. Selain Kartolo, ada Cak Supari, Ning Tini, Cak Baseman, Cak Slamet, dan Cak Munawar. Kartolo juga menurunkan kemampuan melawaknya itu ke putrinya, Dewi Tianti. Terkait dengan masa depan pentas-pentas kesenian tradisional di Jawa Timur, khususnya Surabaya, suami Kustini ini berharap pemerintah daerah ikut serta melestarikannya. ’’Jangan sampai malah habis terkena gempuran budaya dari luar negeri,’’ ujarnya.

Bagi Kartolo, tidak masalah bila masyarakat mengetahui budaya luar negeri. Akan tetapi jangan sampai mereka lalu meninggalkan budaya tradisional setempat. Sebab, dia melihat bahwa salah satu ancaman eksistensi budaya tradisional adalah minimnya minat dari generasi muda saat ini untuk menggelutinya.

Menurut Kartolo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melestarikan serta mewariskan kesenian tradisional ke generasi muda. Di antaranya adalah memasukkan kesenian tradisional sebagai muatan lokal di sekolah. Kemudian, secara berkala dilaksanakan perlombaan atau kompetisi lintas sekolah. Dengan cara ini Kartolo optimistis kesenian tradisional bisa terus tumbuh dan tidak hilang terlindas zaman.