Johanna Maria Pattinaja Seda: Mencintai Indonesia melalui Kain Tenun

0
1348

“Sepanjang pengetahuan saya, mulai mengoleksi kain tenun ketika awal menikah dengan ayah saya, yaitu tahun 1961. Selain memang tertarik pada tenun ikat, ia mengoleksi kain-kain itu supaya tetap berada di Indonesia, tidak keluar, ke tangan orang asing. Selain untuk melestarikan, ia juga punya harapan agar generasi yang akan datang dapat belajar banyak dari koleksi ibu.”

Begitulah salah satu sisi dari sosok mendiang Johana Maria Pattinaja Seda—lebih dikenal khalayak dengan sapaan Bu Jo Seda (12 Mei 1937-23 Maret 2015)—dalam ingatan salah satu putrinya, Yoanessa Maria Yosea Seda. Ribuan kain tenun (sebagian besar dari Nusa Tenggaran Timur, NTT) yang dikumpulkan Jo Seda dari berbagai pelosok Nusantara itu, selama berpuluh tahun, kini tersimpan rapi di lantai dua rumah warisan almarhumah

dan suaminya (Frans Seda, juga sudah berpulang) di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kain-kain tenun itu merupakan bukti sejarah bahwa di Indonesia pernah lahir sosok yang sangat tekun mengumpulkan kain-kain dari berbagai daerah. Hampir seluruh hidupnya didedikasikan guna mengumpulkan kain-kain tenun tersebut.

Sesuai cita-citanya agar kain tenun—terutama yang bermotif unik dan langka—tetap berada dan tinggal di Indonesia, Jo Seda tidak pernah hitung-hitungan secara material. Seperti tidak pernah lelah, ia pergi ke berbagai pelosok di Indonesia dengan biaya sendiri dari hasil tabungannya. Pernah sekali waktu anak-anaknya bertanya, “Mengapa Ibu rela mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya untuk membeli satu kain yang sudah robek? Ia pun menjawab bahwa ia membeli kain itu supaya ia tetap tinggal di Indonesia.”

Menurut Yoannessa, proses mengoleksian kain-kain tenun Nusantara itu mulai dilakukan oleh ibu mereka tidak lama setelah menikah dengan sang bapak, Frans Seda, pada 1961. Terlebih setelah Frans Seda diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966), kesempatan untuk banyak berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, mengikuti kunjungan sang menteri, semakin terbuka. Termasuk, tentu saja, keliling ke pelosok NTT, tanah kelahiran Frans Seda.

“Sudah menjadi kebiasaan orang NTT, baik di Flores, di Timor, Rote dan sebagainya, ketika ada tamu datang akan diberikan kain. Jadi, sirih-pinang dan kain itu merupakan cara orang NTT menyambut tamu yang datang. Di saat Ibu mendampingi Bapak, Ibu sering diberi kain,” kata Francisca Xaveria Sika Seda—putri sulung Jo Seda—ikut menimpali perbincangan.

Alhasil, yang tadinya disimpan untuk koleksi sendiri lama-kelamaan menjadi banyak. Dari sana Jo Seda mulai tertarik mendalami informasi tentang kain dan secara otodidak ia pun mempelajarinya. Dengan latar belakang guru SMA Bahasa Perancis dan Bahasa Jerman di Santa Ursula di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, kecintaan tersebut mendorongn Jo Seda untuk terus belajar mengenal kain dengan baik. “Dia memang dari SD sampai SMP menyelesaikan pendidikannya di Ursula. Bahkan setelah lulus pendidikan B1 (1957-1960) ia menjadi guru di sana. Sesudah itu, tahun 1961, menikah dengan Bapak dan tidak lama setelah mereka menikah Bapak menjadi pejabat. Dari sana, Ibu membaca sendiri, mendalami sendiri, mulai dari motifnya yang beragam. Seperti di Flores sendiri memiliki lima suku yang berbeda, di mana kainnya walaupun tekniknya sama-sama tenun ikat tetapi motifnya berbeda,” tutur Fransisca dengan tenang.

Meskipun tidak memiliki sanggar tenun sendiri, Jo Seda tidak pernah berputus asa. Ia melanjutkan kecintaan pada kain tenun dengan cara membantu para pengrajin di NTT. Ia pun menjadi donator, selain—tentunya—merawat koleksinya sendiri selama bertahun-tahun. Ia pun bergelut di Wastraprema, organisasi “pecinta kain adati”, mulai dari pengurus sampai menjadi ketua selama dua periode. Selama aktif, ia banyak berinisiatif membuat pameran-pameran kain bekerja sama dengan pemerintah, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti Pameran Kain Ikat Gringsing Bali.

Ketika itu, beberapa pengurus pergi ke sana sendiri, termasuk Jo Seda, bahkan mereka sampai masuk ke kampung-kampung untuk mempelajari langsung dari para penenun. Mereka kemudian membuat katalognya, selain untuk dikoleksi juga sebagai persiapan jika di masa depan ada pertanyaan tentang wastra tradisional dari generasi muda. Jo Seda sangat senang jika sedang pameran atau di museum, terutama saat anak-anak sekolah datang untuk melihat-lihat.

Diceritakan pula, sekali waktu Jo Seda ingin mengadakan pameran kain batik koleksi Sri Sultan Hamengkubuwomo dari Yogyayakarta. Untuk itu. ia rela datang ke Yogya untuk nyekar terlebih dahulu di Imogiri (tempat pemakaman raja-raja Jawa—Ed) agar kain yang sakral tersebut dapat dibawa ke Jakarta untuk dipamerkan. Pada akhirnya ia pun berhasil membawa kain-kain tersebut ke Jakarta. Dalam pameran itu, dipertontonkan juga bagaimana cara membuat kain. Jo Seda tidak pernah putus asa dalam upaya mengumpulkan kain-kain yang khas, meski tak jarang harus melalui berbagai upacara terlebih dahulu. Ia menyadari bahwa boleh jadi kain yang seperti itu tidak akan dihasilkan kembali, maka dari itu perlu sesegara mungkin dikoleksi untuk dilestarikan.

Bukti kecintaan Jo Seda pada kain tenun terlihat dari sikap dan dedikasi yang ia tunjukkan. Jo Seda bisa berhari-hari menyusun sendiri alias meng-‘katalogisasi’ kain-kain yang ada secara otodidak. Ia mau mengorbankan waktu, tenaga dan uang untuk itu. Ia memiliki passion sangat kuat di sana. Ia juga membangun relasi dengan para pengrajin untuk mendaur ulang motif-motif yang lama agar dapat terus terlestarikan. Itulah cara Jo Seda melakukan konservasi tenun. Guna menambah wawasan terkait tenun, ia mewawancari para penenun dan mencatat apa saja yang disampaikan terkait dengan informasi seputar kain tenun tersebut.

Meski sudah memiliki banyak informasi yang sangat kaya terkait kain tenun, ia tetap saja masih merasa kurang. Anak-anak, bahkan sang suami tercinta, pernah mengusulkan kepadanya agar menulis buku, akan tetapi tetap saja ia masih merasa belum cukup. Itulah barangkali cara dia mendidik dirinya sendiri sekaligus membantu para penenun agar melestarikan wawasannya. “Ibu itu mencatat sampai detail, termasuk benangnya dari apa dan bahan dasarnya dari apa, warnanya dari akar mengkudu dan lain sebagainya.”, tutur Fransisca Xaveria Sika Seda atau lebih dikenal dengan panggilan Eri Seda.

Ada cerita menarik saat satu kali Jo Seda pulang kampung bersama sang suami ke NTT. Ketika pulang kampung itu ia datang ke pasar yang memang buka hanya pada hari-hari tertentu saja. Waktu itu persis di hari Sabtu, saat pasar itu sedang buka. Jo Seda mengajak putrinya untuk main ke pasar. Di sana ia berjumpa dengan seorang penjual yang memakai kain tenun dengan motif yang sangat bagus. Tanpa menunggu lama, Jo Seda memohon dengan sopan kepada penjual tersebut untuk dapat menjual kain yang sedang dipakainya itu. Jo Seda tidak peduli apakah kain itu bekas, dalam arti sudah dipakai lama atau masih baru, selama ia memiliki motif yang unik dan jarang dijumpai pasti akan diupayakan untuk didapatkannya.

Begitu pun ketika berkunjung ke daerah-daerah pedalaman, tak jarang Jo Seda meminta pertolongan kepada para penerjemah agar ia dapat mudah mendapatkan kain yang diinginkan. Ia menggunakan tabungannya sendiri untuk membeli kain. Ia tidak mau bergantung pada sumber donasi apa pun. Ia sengaja menabung selama puluhan tahun untuk melestarikan kain. Jo Seda jarang membeli perhiasan, bahkan untuk baju saja lebih sering jahit sendiri dan tidak pernah beli kecuali bahannya.

Selain menyukai kain tenun, Jo Seda juga berhubungan baik dengan orang-orang yang suka menawarkan barang-barang antik. Tempat tidur dari Putri China dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon misalnya, menjadi koleksinya yang lain. Ia selalu beralasan bahwa dengan membelinya semoga barang-barang tersebut tetap ada di Indonesia. Ia memiliki cita-cita tinggi, yaitu agar koleksi yang ada dirapikan dan masyarakat bisa mengenal budaya Indonesia agar tidak hilang di kalangan generasi muda.

“Pesan bahwa orang itu harus bisa membuat prioritas dalam hidup, lalu yang dipilih oleh Ibu adalah melestarikan warisan budaya Indonesia. Dan, itu tidak sembarangan karena harus bersikap jujur, sederhana serta penuh disiplin,” demikian tutur. Selain dunia kain tenun, Jo Seda juga dikenal sebagai aktivis pendidikan. Ia memiliki kontribusi besar dalam pendirikan Universitas Katolik Atma Jaya pada 1 Juni 1960. Ia pun mampu menggalang dana dan merintis beasiswa di awal-awal pendirian kampus tersebut.

Kini warisan berupa tenun yang nilanya tiada terhingga tersebut sedang dirapikan dan direncanakan akan dijadikan sebagai museum. Pada saatnya nanti, demikian impian mendiang Jo Seda, anak-anak sekolah dapat mengunjugi museum tersebut dan belajar tentang kain tenun di Indonesia. Neneng Iskandar, sahabat Jo Seda, sedang membantu mewujudkan mimpi Jo Seda tersebut. Semoga apa yang telah dirintis akan senantiasa abadi dan berkembang dalam kebaikan bersama.