INDUSTRI GERABAH KASONGAN

0
12369

Kasongan merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional yang berada di wilayah Yogyakarta. Pada masyarakat umum, Kasongan dikenal dengan nama gerabah, namun penyebutan kerajinan ini menjadi Kasongan sangat terkait dengan wilayah yang mengembangkan kerajinan ini menjadi sebuah komoditas. Gerabah yang terkenal umum dalam masyarakat kemudian berubah nama menjadi kasongan seiring dengan aktivitas masyarakat Kasongan yang aktif mengembangkan kerajinan ini di wilayah Yogyakarta. Keaktifan masyarakat Kasongan dalam memproduksi dan menjual gerabah membuat Desa Kasongan menjadi daya tarik pariwisata Yogyakarta dengan mengusung kerajinan gerabah sebagai komoditasnya. Memasuki Desa Kasongan kita akan disuguhkan dengan sederet rumah yang dijadikan pusat penjualan gerabah. Gerabah-gerabah yang dijual berupa perkakas alat rumah tangga hingga aksesoris genting-genting untuk rumah joglo. Masyarakat memproduksi sendiri gerabah yang kemudian dijual atau didistribusikan ke wilayah-wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Hal inilah yang mendatangkan banyak sekali orang untuk membeli ataupun hanya melihat Desa yang sudah terkenal hingga keluar wilayah Yogyakarta.
Gambar 2. Contoh produk industri gerabah Kasongan

Setiap rumah dalam Desa Kasongan turut memiliki peran aktif dalam memproduksi Gerabah. Rumah-rumah penduduk berubah fungsi sesuai dengan kegunaannya seperti, halaman rumah yang difungsikan sebagai toko atau galeri untuk memamerkan atau menjual gerabah yang mereka buat. Pada belakang rumah dibuat dapur-dapur gerabah yang memproduksi secara langsung gerabah-gebarah tersebut. Masyarakat sekitar mempercayakan bahwa pembuatan gerabah ini telah dilakukan sejak zaman nenek moyang meraka dahulu. Walaupun mereka tidak mengetahui secara pasti kapan gerabah kasongan ini pertama kali diproduksi, namun mereka mempercayai bahwa gerabah Kasongan merupakan keahlian masyarakat asli Kasongan yang diturunkan secara turun temurun kepada mereka untuk dapat melangsungkan kehidupan dalam memperoleh penghasilan.
Salah satu pengrajin dan penjual Kasongan yang bernama Bapak Meraja (24 tahun) mengatakan bahwa beliau merupakan generasi ketiga dalam keluarga yang mengembangkan gerabah Kasongan. Bapak Meraja mengatakan bahwa di zaman dahulu wilayah Kasongan memiliki bahan baku untuk pembuatan Gerabah yaitu tanah liat yang berlimpah. Tanah-tanah yang berlimpah tersebut kemudian difungsikan untuk pembuatan gerabah. Awal pembuatan gerabah di Desa Kasongan hanya diperuntukkan untuk pembuatan perkakas rumah tangga. Mereka membuat sendiri untuk kebutuhan masing-masing yang kemudian dijual keluar desa. Permintaan yang tinggi untuk perkakas rumah tangga dari gerabah ternyata membuat sebagian besar penduduk Kasongan memanfaatkan keahlian mereka dalam membuat gerabah. Gerabah yang semula dibuat untuk kebutuhan pribadi menjadi daya tarik ekonomi dalam mencari penghasilan. Masing-masing kepala keluarga pun pada akhirnya berbondong-bondong memproduksi gerabah untuk dijual kembali. Hal inilah yang lantas membuat bahan baku pembuatan gerabah – tanah liat – menjadi berkurang jumlahnya. Tanah liat yang biasa mudah didapat pada sekitar rumah kini harus dicari disekitar wilayah pegunungan. Hal ini terus berlanjut hingga pada akhirnya di hari ini masyarakat Kasongan harus membeli tanah liat sebagai bahan dasar pembuatan Gerabah karena tanah liat yang sudah terbatas jumlah maupun kualitasnya.
Proses pembutan gerabah tidaklah semudah yang dibayangkan. Membuat satu buah gerabah bisa memakan waktu tiga hingga empat hari. Lamanya pembuatan gerabah sangat ditentukan oleh keadaan cuaca di sekitar. Bila matahari sedang bersinar terik di sekitar Kasongan maka pembuatan gerabah bisa lebih cepat bila dibandingkan dengan cuaca bila sedang hujan. Pembuatan gerabah dilakukan pertama kali dengan memilih tanah liat yang dicampur dengan pasir. Mereka tidak lagi memilih dan mencari tanah liat terbaik, namun mereka mendapatkannya dengan membeli tanah liat di daerah Mangunan, Imogiri ataupun Kulon Progo. Satu truk colt tanah liat dihargai dengan harga tiga ratus hingga lima ratus ribu rupiah. Tanah liat yang sudah bercampur dengan pasir kemudian ditambahkan dengan air lalu diaduk hingga berbentuk padat. Setelah benar-benar padat, campuran tanah liat itu kemudian dicetak atau dibentuk sesuai dengan keinginan.
Pada sebuah aksesoris rumah joglo membentuk gerabah dilakukan dengan mencetakan tanah liat tersebut dalam sebuah cetakan. Cetakan dibuat satu persatu lalu disambung ketika sudah menjadi lebih kering. Setelah dicetak, tanah liat tersebut lalu dijemur hingga kering. Menjemur dapat dilakukan hingga berhari-hari tergantung dengan keadaan cuaca. Bila matahari bersinar dengan terik, maka penjemuran dapat dilakukan satu sampai dua hari, namun sebaliknya, bila musim hujan tiba maka proses penjemuran bisa dilakukan hingga empat hari.
Setelah penjemuran proses berikutnya adalah pembakaran. Sebelum dibakar tanah liat ini di oleskan oleh minyak tanah atau solar agar warnanya menjadi mengkilat sebelum dibakar pada suhu 150°C. Proses pembakaran dilakukan pada waktu tiga hingga sembilan jam. Perubahan warna menjadi lebih cokelat menandakan bahwa tanah liat tersebut telah berubah menjadi gerabah yang kemudian siap untuk diangkat dan didinginkan pada suhu normal. Dengan di angin-anginkan pada suhu normal, maka pembuatan gerabah sudah mencapai akhir. Bila ingin menambah warna pada gerabah tersebut, maka dapat dipoleskan cat sesuai dengan warna yang diinginkan.
Pembuatan gerabah yang memakan waktu berhari-hari ternyata dijual dengan harga yang sangat murah, misalnya saja aksesoris rumah joglo yang besar hanya dihargai dua belas ribu rupiah, teko-teko dihargai lima belas ribu rupiah saja. Ketika kami tanyakan mengapa harga gerabah yang dibuat berhari-hari sangat murah maka penjual gerabah hanya mengatakan bahwa bila terlalu mahal mereka khawatir gerabah yang telah mereka buat tidak laku di pasaran. Biasanya setelah gerabah selesai diproduksi tengkulak-tengkulak dari luar Desa Kasongan memborong hasil produksi mereka dengan harga yang mereka sepakati. Tengkulak biasanya memborong gerabah yang telah selesai diproduksi. Salah satu pembuat gerabah menyatakan bahwa keterbatasan alat terutama cetakan membuat proses pembuatan gerabah menjadi lambat. Seorang pengrajin mengatakan bahwa ia berharap agar bisa memiliki cetakan yang lebih baik agar bisa lebih produktif dalam menghasilkan gerabah setiap harinya.