Hassan Mataraja, Penutur Tradisi Lisan Kias dari Lampung Peminggir, Kalianda

0
2219

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi tahun 2016. Hassan Mataraja lahir pada 17 April 1947 di Desa Kedaton, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Dia adalah sosok penutur tradisi lisan Kias yang tidak ada bandingannya. Ketekunannya dalam menjaga tradisi lisan Kias tidak dapat diragukan lagi. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mengembangkan tradisi ini. Baginya, seni Kias adalah napas hidupnya. Guna mewariskan tradisi lisan Kias tersebut ia mendirikan Sanggar Sumokh Jekhing dengan semangat bahwa seni ini akan terus dipelihara secara turun-temurun oleh generasi muda selanjutnya.

Kecintaannya pada tradisi lisan Kias bermula dari masa remaja, Hassan Mataraja kerap mengikuti seorang tukang Kias bernama Ain Abdulrahman. Ke mana pun Ain Abdulrahman pentas, Hassan Mataraja selalu rajin menyertainya.  Dengan tekun ia mempelajari bagaimana sang guru tampil di hadapan penonton: mulai dari cara berkomunikasi, membuat panggung hidup, dan memunculkan interaksi dengan para penonton. Secara perlahan Hassan pun menjelma menjadi sosok remaja yang pandai bertutur dan mencontoh gurunya tersebut.

Dari awalnya mencontoh, Hassan Mataraja pun bertransformasi menjadi sosok yang piawai dalam tradisi lisan Kias. Ia bukan hanya mengulang-ulang teks yang diberikan para seniornya, ia bahkan mencipta teks-teksnya sendiri. Dalam proses penciptaan teks tersebut, Hassan mengandalkan kepekaan hati dan kejernihan pikiran, sekaligus keindahan bait-bait yang disampaikannya. Perhatikan cuplikan teks ciptaan Hasan Mataraja berikut:

            Ikan anjak muakhi khatong di dija

            Kharena di dudi tekhasa mak bangik

            Khepagoh beno ina juga pikheran

                        terlunta-lunta

            Mekingok pikhekan api-api

Kami dari sekeluarga datang dari sini

Karena di sana terasa lemah badan

Bagaimana nantinya pikiran selalu

terlunta-lunta

Lupa memikirkan apa-apa

(Kias “Ditinggal Anak Mati”)

new-picture-1Selain Kias di atas, Hasan Mataraja juga mencipta Kias-kias lainnya, seperti Kias “Khukik Semanda” dan Kias “Sanak Hakhuk”.  Ada juga kias lain seperti Kias “Dijajah Belanda”, Kias “Perjuangan Raden Intan”, dan Kias “Pekhjalanan Zainuddin Hasan”. Masih banyak kias lainnya yang lahir dari sosok pria yang hangat dan penuh humor ini. Banyak nilai yang ingin disampaikan melalui tradisi Kias ini, mulai dari nilai-nilai ketahanan hidup ketika berjumpa dengan kematian atau penderitaan, nilai-nilai kepahlawanan sebagaimana dicontohkan oleh Raden Intan, termasuk nilai-nilai cinta dan kasih sayang.

Sejak saat itulah kehidupan Hasan Mataraja berpindah dari satu panggung ke panggung yang lain. Ia pun menjadikan seni tutur Kias sebagai profesi. Dalam satu kesempatan, ia bercerita bahwa seni Kias pada masa kejayannya dulu sungguh dinanti-nantikan masyarakat. Tidak jarang masyarakat mau menunggu berjam-jam agar dapat menyaksikan tradisi lisan Kias ditampilkan di atas panggung. Para pekerja seni Kias pun merasakan kebahagiaan yang amat besar karena apresiasi masyarakat begitu tinggi. Mereka pun dapat berkias bahkan sampai dini hari. Para penonton  terhanyut dalam bait-bait Kias yang disampaikan sang penutur. Mereka menangis tatkala Kias yang disampaikan berbicara seputar kematian. Sebaliknya,  para penonton dapat tertawa terbahak-bahak ketika yang disampaikan adalah cerita-cerita yang menyenangkan. Sejalan dengan tingginya apresiasi masyarakat itu, para pekerja seni tradisi Kias pun mendapatkan imbalan yang cukup.

Berangkat dari tingginya minat masyarakat terhadap seni tradisi lisan Kias, Hassan Mataraja merintis pendirian Sanggar Sumokh Jekhing. Di dalam sanggar tersebut, proses kreatif seni tradisi berjalan. Di sini murid-murid dilatih kemampuan untuk “berkias”, Segata (berbalas pantun), gambus tunggal (menyanyi lagu-lagu berbahasa Lampung dengan iringan gambus), Diker Baru (keterampilan bermain rebana dengan lagu-lagu berbahasa Lampung), dan Tuping (membuat topeng untuk keperluan acara adat. Di dalam sanggar inilah variasi seni tradisi diwariskan  kepada para murid berasal dari berbagai wilayah, tidak hanya berasal dari desanya. Ia pun terbiasa mengeluarkan biaya dari koceknya sendiri untuk mengongkosi murid-muridnya datang ke sanggar. Harapan Hassan Mataraja hanya satu: seni tradisi lisan Kias tidak punah dan ada yang dapat melanjutkannya.

new-picture-2Berbeda dengan masa kejayaannya dulu, kini kondisi tuturan tradisi lisan Kias sangat memprihatinkan. Hasan Mataraja sedikit gelisah karena anak cucunya tidak ada yang melanjutkan tradisi lisan Kias tersebut. Ratna Juwita (45 tahun), putrinya yang pertama, menjadi guru SD, sedangkan Hasballah (43 tahun) bekerja sebagai petugas keamanan. Meski ada keponakannya yang belajar Kias, tapi itu pun dilakukannya hanya sebagai sambilan saja. Murid-muridnya yang dulu banyak berkumpul di Sanggar Sumokh Jekhing pun kian menyusut. Saat ini tinggal beberapa gelintir saja yang masih tersisa mengaktifkan kegiatan di sanggar tersebut. Generasi muda, tuturnya, sudah tidak lagi tertarik mendalami seni tradisi lisan Kias. Tentu ia sangat menyayangkan kondisi tersebut, tapi ia pun tidak bisa berbuat banyak karena menggeluti suatu tradisi adalah bagian dari pilihan hidup seseorang.

Undangan untuk mengisi acara pun kian berkurang. Meskipun ada acara pementasan, penontonnya itu-itu saja. Bahkan dapat dikatakan penonton yang hadir sama meski jenis acara yang diselenggarakan berbeda-beda. Kondisi ini berbanding terbalik dengan masa kejayaan dulu ketika ia masih remaja dan ikut pentas dengan Ain Abdulrahman.

“Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin”, barangkali prinsip yang tepat disematkan kepada Hassan Mataraja. Ia sedikit pun tidak pernah berpatah arang dengan kondisi saat ini di mana masyarakat Lampung semakin tidak apresiatif terhadap seni tradisi lisan Kias. Ketika terbetik kabar bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bermaksud untuk memberikan anugerah Maestro Seni Tradisi, matanya terlihat berbinar-binar, penuh suka cita. Ia pun merasa mendapat dukungan penuh bahwa ternyata bangsa ini masih memperhatikan seni tradisi yang hampir karam tersebut. Ia berharap, semoga generasi muda dapat melanjutkan seni tradisi yang semakin jarang ini.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Syahrial (2016) untuk disertasinya, Tradisi Lisan Kias dalam Masyarakat Lampung Peminggir Kalianda: Bentuk, Fungsi dan Konteks, diungkapkan bahwa masyarakat Kalianda memiliki tradisi lisan Kias yang tidak dimiliki oleh orang Lampung lainnya. Tradisi ini dikembangkan dari empat tradisi lisan kesusastraan yang ada di Lampung, yaitu Wacana, Sakiman, Pepacokh, dan Hehiwang. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa masyarakat Lampung Peminggir Kalianda melakukan inovasi dengan menyatukan empat tradisi itu dalam satu bentuk, yaitu Kias. Dan, di antara yang paling berjasa dalam menjaga tradisi Kias sampai saat ini adalah Hassan Mataraja.

new-picture-3

Biodata

Nama : H. Hassan Mataraja

Lahir : Kedaton, 17 April 1947

Alamat : Dusun IV Merbau, RT 002, RW 06, Desa Kedaton, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Penghargaan

2016: Penghargaan Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.